23

3.8K 656 17
                                    

Pertanyaan mulai bermunculan dalam kepalaku, mendesak dan membuatku pusing tujuh keliling.

Kenapa Owen terlihat seolah ingin menjeratku dalam perangkap cinta? Yang jelas tidak benar karena aku takut terlalu banyak baca cerita romantis dan berharap bisa mengalaminya.

Mengapa suara Owen jadi mematikan begini? Setidaknya bagiku sih begitu. Tahulah.... Seperti siren yang perlahan membuai pelaut ke tepi jurang kematian dengan nyanyian indahnya.

Apa aku mulai kurang ajar karena berharap Owen sungguh naksir diriku? Inilah yang paling kutakutakan. Diriku sendiri. Ekspektasiku. Bagaimanapun juga tidak ada senjata yang paling mematikan bagi seseorang melebihi ekspektasi. Terlalu senang hingga lupa daratan. Ujung-ujungnya saat jatuh, menghantam bumi, tidak siap. Jelas aku nggak mau terjerat hal semacam itu, tapi....

Bolehkah aku berharap Owen naksir? Sedikit saja.

Oh lupakan. Jantungku mulai bersikap tidak sopan dengan cara berdetak tidak karuan, sementara pipiku terasa panas, dan oh aku tidak berani berbalik! Aku takut menatap Owen yang ada di belakangku. Bagaimana kalau ternyata semua kegalauan khas remaja dimabuk asmara ini, yang kini kurasakan, ternyata hanya ada dalam kepalaku saja? Alias, aku berkhayal.

Oke, berapa nomor rumah sakit jiwa? Sepertinya aku mulai gila.

“Ma-makan malam?” Bahkan kosakata yang sempat keluar dari mulutku saja tidak sepenuhnya lengkap. “Kita? Ma-makan malam berdua saja?”

“Aku ingin mengajakmu makan malam,” Owen menjelaskan. Sumpah embusan napas yang menerpa telingaku begitu mematikan. Kedua kakiku gemetar dan rasa-rasanya sebentar lagi akan meleleh jadi genangan air. “Barangkali kamu punya ide lain? Makan di mana pun, oke. Kamu boleh pilih.”

“Aha ... ha.”

Tawa yang terlontar dariku pun terdengar amat getir dan menyedihkan. Susah payah aku mengendalikan diri agar tidak terlihat begitu menyedihkan di mata Owen. Usaha semacam itu ternyata sulit!

Oke oke oke oke oke. Demi menjaga kesehatan jantung, aku pun berusaha membuat jarak di antara kami. Secara perlahan aku berjalan ke sisi lain, pura-pura tertarik mengamati buku bersampul merah, dan bersyukur Owen tidak melakukan kabedon atau aku akan kehilangan kesadaran detik itu juga.

“Bo-boleh,” aku mengiakan ide Owen, “kamu yang pilih saja.”

Kudengar suara langkah kaki Owen yang sepertinya mengekoriku.

‘Tenang, Vi,’ kataku kepada diri sendiri. ‘Tenang.’

Owen hanya ingin mengajakku makan malam. Bukan perkara sulit. Mudah. Tinggal pergi ke restoran, duduk, pilih sesuatu dari menu makanan, pesan, dan makan. Cukup mudah dan nggak perlu tenaga ahli.

“Apa nggak sebaiknya kita menyusul yang lain?”

Aku mulai celingukan. Tengok kanan dan kiri. Oke, tidak ada yang aneh. Takutnya sih aku menemukan kotak kayu mungil berisi jari manusia. Bukan sembarang jari, melainkan jari milik dukun sakti. Aduh ada apa denganku, sih?

“Barangkali mereka terjebak bersama Mama dan Milo,” Owen menjawab pertanyaanku. “Biasalah. Mama kadang terlalu bersemangat memamerkan bermacam hal yang ia sukai kepada seseorang.”

“Emm aku cuma takut kakakmu berantem dengan Carl.”

“Dulu sepertinya mereka selalu terjebak dalam pertikaian kecil.”

“Benarkah?” Kali ini aku langsung berbalik, menatap Owen yang tengah memamerkan senyum manis yang memikat itu. “Kok kamu tahu?”

“Milo yang cerita sih,” ia menjelaskan. “Apa kamu tahu kalau kakakmu cukup populer di kalangan cewek?”

TARGETNYA SALAH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang