25

3.6K 586 17
                                    

Owen mengantarku pulang. Dia bersikeras menawarkan diri sebagai pendamping-eh ... maksudku, dia ingin memastikan aku sampai dengan selamat di rumah. Padahal sih nggak masalah andai dia tidak melakukan itu. Mengantar pulang, maksudku. Namun, uwooo suara hatiku terus saja berdendang, “Owen mengantarku pulang! Mengantar pulang lalala.” Riang seolah esok bisa menang undian senilai jutaan saja.

Nah masalah yang tidak kuantisipasi ialah, begitu keluar dari mobil ... hmm alih-alih mengucapkan terima kasih kepada Owen, justru Carl datang. “Vivi!” teriaknya dengan suara yang bila kuibaratkan dengan benda tajam, maka sudah pasti menyaingi pisau dalam urusan menyayat dan menyakiti gendang telinga.

“Carl!”

“Kenapa kamu keluar dengan dia?” tunjuknya, tepat kepada Owen. “Kan sudah kubilang agar berhati-hati dengan siapa pun. Terutama, cowok.”

“Mama bilang boleh kok,” kataku mencoba memberi penjelasan. “Kalau nggak percaya, silakan tanya kepada yang bersangkutan.”

Kerutan di dahi Carl pun perlahan terurai. Sepertinya dia mulai bisa mengendalikan emosi yang liarnya melebihi banteng di arena matador. “Kamu ada maksud apa mendekati adikku?”

Pertanyaan ini Carl lontarkan kepada Owen. Lucunya, ya? Dia sempat menarikku, dengan lembut, dan menyembunyikan diriku di belakang tubuhnya. Berhubung Carl tinggi menjulang, sementara aku mungil menyedihkan, diriku pun sukses terlindungi dari pandangan Owen.

Akan tetapi, aku tetap mengintip. Entah mengapa rasanya sesuatu dalam diriku tidak rela dipisahkan dari Owen.

“Carl, kamu berlebihan.” Owen sama sekali tidak ciut menghadapi Carl yang siap melancarkan aksi terjang, menyeruduk! Dia justru menampilkan senyum, yang begitu manis sih menurutku, seolah kelakuan Carl tidak ada bedanya dengan balita menggemaskan. (Carl nggak menggemaskan. Dia menyedihkan dalam artian yang amat mengenaskan.)

“...” Ada yang salah dengan Owen. Dia sepertinya butuh pertolongan seorang psikolog. Soalnya Carl nggak manis. Carl pahit. (Sekali lagi, abangku nggak menggemaskan. Dia menyedihkan. Tolong putar lagu sendu mengenai rutinitas seorang jomlo nggak bahagia.)

“Nggak usah sok manis,” balas Carl, sengit. “Adikku bisa kamu kelabui, kecuali aku.”

“Carl, siapa yang ingin mengelabuhi adikmu?” Salah satu alis Owen terangkat, ujung bibirnya membentuk seulas senyum ... mengejek?

“Kamu! Dasar serigala berbulu domba!”

Oke. Carl mulai berlebihan. “Carl, kami hanya keluar sebentar kok. Lagi pula, jangan berlebihan gitu deh. Kamu, kan, tahu dia bukan orang asing. Owen adik temanmu, Milo. Oke?”

“Sejak kapan kamu memihak Owen?”

“Sejak kakakku kelihatan seperti ingin jadi orang ketiga. Tipe yang senang menghalangi kebahagiaan orang lain.”

Sejenak Carl pun membatu. Dia pasti merasa mendengar suara piring pecah khas film-film saat tokoh merasa tertampar. Di anime ada, ‘kan? Pecahkan saja piringnya, gelasnya, sekalian mangkuknya! Biar gaduh dan mengaduh.

“Vi, jangan menyeberang ke kubu musuh.” Lantas Carl pun melemparkan tatapan sengit kepada Owen, setelahnya ia pun menyeretku masuk rumah.

“Belanjaanku!” rengekku, tidak terima.

“Nanti aku ganti!”

Sial! Bukan ini yang kuinginkan!

***

“Ma, Carl keterlaluan!”

... hingga aku pun tidak kuasa menahan perbuatan Carl yang menurutku mulai keterlaluan. Di meja makan, ketika makan malam, kami sekeluarga pun mulai melakukan pembicaraan khas orang dewasa.

TARGETNYA SALAH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang