21

4.1K 669 16
                                    

Di meja makan. Oh kupikir otakku akan terbakar dan membuatku kesulitan lantaran tertekan oleh aura membunuh, yang Carl lemparkan secara terang-terangan kepada Milo, dan tatapan yang membuatku terperangkap ... iya, salahkan Owen. Caranya tersenyum dan memandangiku sungguh meresahkan. Aku tidak paham alasanku mendadak salah tingkah dan sumpah ingin sembunyi di belakang abangku. Pokoknya begitu saja.

Papa dan Ivan Gauthier sibuk berbincang mengenai sesuatu yang berhubungan dengan bisnis. Aku tidak mau tahu. Kapasitasku tidak mencakup memperbanyak uang ala pemimpin kapitalis. Lalu, Mama dan Hana Gauthier justru yang makin membuatku ingin menggaruk kepala seolah ada kutu di rambut!

“Wah, Vivi dulu mungil,” celetuk Mama, “sekarang juga masih kelihatan mungil. Di antara sepupunya yang mayoritas cowok, Vivi jadi mirip kurcaci.”

Aku disamakan dengan kurcaci. Disamakan dengan kurcaci? Oleh ibuku sendiri?

“Vivi manis kok,” sahut Hana Gauthier. “Dulu aku ingin punya anak cewek, tapi sepertinya cukup sulit.”

Hei! Aku tidak ingin mendengar pembicaraan berbau 21 plus!

Kulirik Carl, memastikan dirinya belum mengamuk.

“..” Ternyata Carl masih sibuk adu pelototan dengan Milo. Enggak tepat disebut adu pelotot, sebab hanya Carl saja sih yang melotot. Milo sih santai. Pasang senyum dan sepertinya dia tidak peduli Carl akan berubah jadi monster atau zombie.

Lantas ketika mataku bertatapan dengan Owen, yang duduk tepat di seberangku, jantungku kembali berulah. Dia melempar senyum semanis gulali. Sekarang ketika aku melihat langsung Owen dan Hana Gauthier, bisa kupahami warisan sentuhan lembut dan manis yang Owen miliki diperoleh dari sisi siapa.

Eh tunggu sebentar deh. Owen mewarisi tubuh tegap Ivan Gauthier dan wajah manis Hana Gauthier. Lantas dari mana aku dapat tinggi segini? Maksudku, tinggi badan yang jelas akan dicoret bila daftar sebagai peserta ratu kecantikan?

Mama dan Papa tidak sependek diriku. Wait Papa, kan, memang terbilang cowok nggak tinggi. Di keluarga kami, dari keluarga Papa, memang Papa yang terpendek. Ketika kubandingkan dengan Ivan Gauthier.... Aduh! Terbanting! Sekarang aku mengerti alasan tubuhku nggak tinggi.

Kali ini kupelototi Carl. Dalam hati kusumpahi abangku yang teganya merampok seluruh sel “tinggi” ketika berada dalam kandungan Mama. Aku tidak peduli nama tepat untuk sesuatu yang seharusnya membantuku bertumbuh dalam kandungan. Pokoknya, yang jelas, aku tahu sesuatu: Carl bersalah. Setidaknya dia menyisakan beberapa sel untukku, bukan dirampok semua. Dasar kejam!

Carl, sialnya, menoleh tepat ketika aku masih melotot. “Apa?”

“Kamu merampok semua sel tinggi badan dalam kandungan Mama,” desisku. “Perhatikan tinggi badanku. Mengapa aku nggak setinggi Mama? Apa alasan yang paling logis selain kamu merampok semua gizi baik itu dariku?”

“Itu yang kamu pikirkan, Vi?” Ekspresi di wajah Carl sulit kugambarkan. Seakan ada seseorang yang berani menempelkan limbah permen karet, bekas iler dan mungkin jigong, ke jidatnya. “Serius, Vi?”

“Memangnya apa yang kupikirkan?” Aku juga tidak mau kalah. Mulai kupamerkan ekspresi ingin menggigit. Grrr! Awas aku galak!

Milo dan Owen sepertinya mati-matian menahan keinginan untuk tertawa. Barangkali mereka takut menyakiti harga diri Carl.

Setelah mengembuskan napas, seolah Carl telah menyerah menyadarkanku mengenai sesuatu yang lebih penting daripada memikirkan tinggi tubuh, ia pun meletakkan sepotong ayam ke piringku. “Makan,” katanya, “demi tinggi tubuh impianmu.”

Andai saat ini tidak sedang berada di kediaman Gauthier, sudah pasti kuadukan Carl kepada Mama. Akku akan teriak, “Maaaaaa, Carl mencuri tinggi badanku!” Dengan suara lantang, mengalahkan pukulan panci pengusir setan, dan membawahan sampai ke langit tujuh lapis.

Akan tetapi, makanan enak selalu bisa mengubah suasana hatiku. Entah sejak kapan, aku sibuk makan dan menikmati semua sajian. Makan saja. Makan! Hatiku senang, kakiku terasa ringan. Begitu ringan hingga rasanya aku nggak keberatan menendang Carl.

“Tambah,” Carl menawarkan. Kali ini dia meletakkan tumisan sayur dengan tahu. Aku baru mengetahui bahwa tahu bisa seenak ini kalau dimasak dengan benar. Eh bukan dimasak dengan benar, melainkan dimasak dengan bumbu lengkap. Uang bicara. Uaaaang!

“Wah baru pertama kali ini aku melihat kakak cowok perhatian ke adiknya,” Hana Gauthier memuji. “Sayang,” katanya kepada Ivan Gauthier, “Milo dulu rebutan perhatian. Ke adiknya seperti saingan.”

Kali ini Milo dan Owen, mendadak tubuh mereka kaku. Berbeda dengan Carl yang siap meletupkan cemooh dan hinaan. Curiga dia memendam lama rasa ingin balas dendam.

“Soalnya sedari dulu Carl ingin punya adik cewek,” Papa menjelaskan. “Nggak mau cowok, harus cewek. Ck ck ck, memangnya kami bisa mengabulkan permohonan semacam itu dengan tepat?”

“Beruntung kami bisa,” sahut Mama, penuh percaya diri. Sesekali dia pamer senyum kemenangan seolah punya anak cewek itu butuh sihir ajaib yang tidak dimiliki semua orang. Tolong beri tahu aku, di mana letak perlu pamernya?

Lantas Hana Gauthier pun menatapku, awalnya senyum sedih kemudian perlahan berubah jadi cerah. “Vivi, kamu sering main ke sini, ya?”

Aku yang sedang enak mengunyah makanan pun hanya bisa membatu.

“Eh, jangan Tante,” ujar Carl. “Nanti merepotkan.”

“Nggak masalah,” kata Ivan Gauthier. “Lagi pula, istriku suka kalau ada tamu cewek.”

‘Dih jangan bohong!’ seruku dalam hati. ‘Tamu cewek? Aku baca perjalanan cinta kalian dari awal sampai akhir! Kalau ada teman, aha teman, maksudnya teman apa? Yang mana? Bukankah kamu membangun sangkar emas? Mohon maaf, aku nggak mau!’

Aku merasa seperti Alice yang terjebak di pesta minum teh yang dihadiri seekor kelinci gila, pembuat topi dengan emosi meletup, kucing penuh tipu daya, dan oh ratu tukang penggal. Semoga perutku baik-baik saja. Kumohon!

“Boleh,” Mama mengamini, “lagi pula, sekalian Vivi memperluas pengetahuan mengenai seni. Benar, Pa?”

Papa? Dia pasti berpihak kepada Mama!

“Iya, Ma.” Tuuuuuuuh Papa nggak peduli pendapatku! “Nyonya, dulu Vivi pernah hampir jadi korban penculikkan.”

Ivan Gauthier begitu mendengar kata “penculikan” raut wajahnya pun berubah kaku. Seakan ada ingatan tidak menyenakan yang terpicu akibat kata tersebut. Mampus! Semoga Papa nggak masuk dalam daftar hitam milik Ivan Gauthier.

“Ceritakan,” Ivan Gauthier meminta ... kedua tangannya kini bertaut seolah cerita yang akan Papa tuturkan perlu perhatian ekstra.

Mama pun berdeham. “Sebenarnya agak mengerikan. Jadi, dulu ada perempuan yang langsung jatuh hati kepada Vivi. Maklum sih, sewaktu balita Vivi manis sekali.”

Padahal sampai sekarang pun aku masih manis, gerutuku dalam hati.

“Perempuan itu menuntut kami menyerahkan Vivi sebagai anaknya,” lanjut Papa. “Dia bersikeras ingin membesarkan Vivi dengan alasan kami masih muda dan bisa punya anak lagi. Satu anak dilepaskan nggak akan jadi masalah.”

Hana Gauthier pun menutup mulutnya menggunakan tangan. “Kejam sekali dia?”

Papa mengangguk. “Kami berjuang mempertahankan Vivi.”

“...” Aku? Ternyata diriku ini memang terlalu mengagumkan sampai ada orang gila mau menculikku! Kenapa nggak ada yang ingin mencuri hatiku saja, sih? Kemana perginya romantisme bagiku? Aku, kan, butuh cinta ala drama Korea juga! Dramanya cinta, bukan cobaan cinta!

Uwaaaaaaaa!

***
Selesai ditulis pada 15 Desember 2023.

***
Saya bermimpi. Pokoknya sedikit aneh. Mimpi jadi pembasmi dinosaurus yang dikendalikan oleh profesor jahat. Senjata saya pun juga aneh. Seperti tongkat, hanya saja ujungnya ada laser yang bisa digunakan untuk memenggal dinosaurus. (0_0) Mimpi yang aneh.

Kalian hati-hati, ya. Kemarin saya sempat kena pilek yang bikin kepala pusing. Di saya sih cukup air putih dan vitamin C. Meski begitu, tetap saja merepotkan.

Salam cinta dan kasih sayang.

LOVE.
P.S: I love youuuuuu, teman-teman.

TARGETNYA SALAH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang