5

5.3K 852 32
                                    

Di telingaku sih lagunya terdengar seperti IDOL yang dinyanyikan YOASOBI. Setiap gerakan kaki, tangan, dan pinggul mengikuti irama imajinasi. Khayalan. Tidak nyata. Namun, dari sekian ketololan yang kuperbuat di atas panggung ... oke, sangat tolol. Maksudku, bisa-bisanya diriku mengikuti kemauan orang asing? Semudah itu? Tanpa sogok? Mengapa tidak ada yang memberiku permen? Murah sekali diriku ini!

Lantas yang paling menyebalkan dari sekian rentetan keanehan ialah, ekspresi penontonku. Ada yang melongo, tersipu, sementara yang lain tersenyum. Semua respons tidak berbahaya kecuali dua orang: Milo dan Owen.

Aku bersiap menerima olokan, hinaan, bahkan cacian dari si “pak” ini. Namun, dia berdiri dan memberiku tepuk tangan. Terlalu bersemangat seolah dia seorang bocah delapan tahun yang terpukau oleh atraksi sirkus keliling. Barangkali dia menyamakan penampilanku dengan atraksi anjing laut bermain bola.

“Bagus,” katanya memujiku, serius itu mata berbinar teraaaang, “kamu cocok jadi karakter yang kubutuhkan.”

Tanganku terangkat, menyentuh dada, dan kurasa sebentar lagi aku jadi artis nih!

“Kamu cocok! Sangat cocok!”

Sudah deh. Cepat katakan aku jadi pemain utama di film.

“Kamu pas! Pas! Kamu bisa perankan penari latar!”

Kodok buduk! Aku jadi penari latar doang? Ingin kusambit si bapak ini menggunakan sandal sakti. Dia tidak tahu saja keahlianku dalam menggiring kekuatan menuju sandal, menjadikannya pusaka, dan senjata.

“Cocok! Cocok!”

Tanpa sengaja aku melihat Gauthier bersaudara. Milo sibuk bermain dengan ponselnya, sama seperti Owen. Anggap saja mereka tidak tertarik menjadikanku diva!

Aku tidak mengatakan apa pun. Si pria berkacamata menyuruhku turun. Dia meminta nomor kontakku dan berkata bahwa proses pengambilan gambar sama sekali tidak merepotkan.

Akibat patah hati ditolak jadi tokoh utama, aku pun melampiaskan kemarahan dengan cara makan. Keripik pisang rasa cokelat. Haha aku makan sendirian karena terlalu kesal menghadapi orang-orang yang sepertinya mendapatkan peran yang lebih menggiurkan daripada milikku. Ada yang jadi teman tokoh utama, ada yang jadi figuran penting ... sementara aku? Apa aku? Penari latar? Apa aku perlu menari dan bernyanyi, “Zakia. Zakiaaaa! Penari gurun pasir ternamaaaaa!”?

Kupikir aku jadi peri, ternyata penari latar! Apa mereka nanti akan merekamku sedang joget edan? Gitu? Sekalian dengan ular?

Ketika hendak menikmati bungkus kedua keripik pisang, ponselku bergetar. Aku membuka pesan, yang ternyata berasal dari keluargaku. Saat kubilang keluarga itu artinya bukan hanya Carl, Mama, dan Papa, melainkan sejumlah kerabat.

Mama: Kamu sedang ngapaian sih, Nak?

Papa: Papa akan menjadikan fotomu sebagai profil utama kontak Papa.

Carl: Kenapa kamu joget aneh gitu? Jelek!

Itu belum termasuk sejumlah pesan yang menyatakan betapa konyol dan menggemaskannya diriku.

Oh.... OOOOOOH! Ternyata ketika aku sedang menari jelek di panggung, ada seseorang yang merekam dan menyebarkannya di grup keluargaku! Dimulai dari Carl. Bukannya menyimpan rekaman dan sejumlah potretku itu untuk dirinya sendiri, abangku justru menyebarluaskan aibku ke sepenjuru dunia! Dia membuat semua anggota keluarga besar Kaiser menyaksikan penampilanku!

Mampus aku! Mampus! Harga diriku tinggal sejarah. Apa aku sama sekali tidak memiliki hak melindungi diri sendiri dari gosip?

Aku menunduk, mengentak-entakkan kaki, dan menyumpahi Carl!

TARGETNYA SALAH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang