Kapan waktu terbaik bagi kalian? Bagiku waktu tersebut ialah pada saat malam hari. Menurutku malam memberikan ketenangan tersendiri, saat malam tiba aku seolah bisa meluahkan seluruh emosiku selama seharian beraktivitas. Melihat bulan dan bintang bintang dilangit menjadi kebiasaanku tiap sedih ataupun bahagia.
"Bulan, mama panggilin kamu dari tadi loh. Kamu turun dulu gih, dari siang kamu belum makan kan? Nanti maghnya kambuh lagi" teriakan ibuku memecah lamunan yang tanpa kusadari entah berapa lama sudah bersandar dijendela kamarku.
Kalau kalian bingung kenapa ia memanggil aku Bulan, itu karena namaku ialah Bulan Anandara. Sejujurnya aku tidak terlalu suka dipanggil Bulan karena aku merasa tidak sesuai dengan diriku. Bulan itu sangat indah tidak sebanding dengan diriku yang bukan apa apa ini. Oleh karena itu panggilan Bulan hanya dipakai oleh keluargaku saja. Jika diluar teman temanku selalu memanggilku Dara.
"Iya ma, sebentar" aku pun memutuskan untuk keluar kamar dari pada tubuhku bergetar lagi pertanda maghku sudah kambuh.
Saat meraih gagang pintu aku melihat pergelangan tanganku yang tidak tertutupi kain. Aku tersenyum miris melihat goresan goresan luka ditangan akibat perbuatanku sendiri, aku langsung mengganti baju yang memiliki lengan panjang kemudian turun menemui ibuku yang sudah makan terlebih dahulu sambil nonton drakor yang merupakan salah satu kesukaannya.
"Lagi nonton apa ma? Kasi tau dong judulnya" aku melirik hp-nya sambil mengambil nasi dan lauk pauk yang sudah tersedia diatas meja.
"Ini loh lagi nonton drakor baru. Judulnya Scarlet Heart, drama kerajaan gitu" antusias ibuku saat menceritakan tentang apa yang sedang ditontonnya membuatku tersenyum kecil.
Baru saja aku ingin duduk dan makan dengan tenang, seekor makhluk bulu sudah datang kemudian menggesekkan tubuhnya ke kaki kursi. Itu adalah kucingku yang kupelihara sedari Sekolah Menengah Pertama, namanya Bubu.
Saat aku pergi ke sekolah dan ayahku pergi kerja, Bubu lah yang menemani ibuku dirumah. Setidaknya aku tidak perlu khawatir ibuku kesepian saat kami tidak ada bersamanya sementara. Bubu merupakan kucing jalanan yang sekaligus menjadi kucing pertama yang mampu meluluhkan hati ayahku.
Ayahku bukan pecinta kucing, bahkan saat melihat kucing saja ia bisa menendangnya tanpa sebab. Namun saat pertama kali Bubu datang ia tidak terlalu berkomentar banyak, sampai yang tidak kusangka saat ini ayahku menjadi orang kesukaan Bubu.
Bubu yang awalnya hanya bisa diteras rumah pun perlahan mulai masuk kedalam rumah, dan sampai sekarang sudah menjadi bagian dari anggota keluarga.
Ibuku yang sedari tadi fokus terhadap tontonannya tersadar akan kehadiran Bubu. "Astaga, lupa mama kamu belum makan ya nak" kata kata itu bukan untukku melainkan untuk anak bulunya si Bubu. Saat ibuku berjalan kearah dapur ia pun mengekori seakan mengerti akan diberikan makanan.
Aku melanjutkan kegiatan makan malamku yang sempat tertunda. Malam ini dirumah kami hanya ber-tiga termasuk si kucing, ayahku sedang pergi ke rumah nenek dikarenakan tadi sore ia menerima telepon bahwasannya nenekku sedang sakit. Namun aku dapat bertaruh nenekku tidak sakit serius, ia hanya ingin perhatian lebih dari anak anaknya. Aku sudah hapal akan kelakuannya dan hanya bisa memaklumi karena usia nenekku yang sudah tua.
"Beli eskrim yok di Indoalfa di depan gang nanti" ibuku kembali duduk disampingku setelah selesai memberi makan Bubu.
Eskrim merupakan salah satu tawaran yang tidak pernah aku tolak. "Ayok, bentar ya mau cuci tangan dulu" aku langsung meng-iyakan ajakannya tanpa pikir panjang, dan menyudahi makanku yang memang sudah habis.
Aku dan ibuku berjalan kaki sambil bergandengan ke depan gang, karena jarak antara rumah dan tempat yang dituju tidak terlalu jauh. Saat menyusuri jalan aku mendongakkan kepalaku kelangit, entah sudah berapa kali aku mengagumi keindahan bulan dan langit malam ini.
"Ma langitnya cantik" kataku sambil menunjuk ke atas. Ibuku pun ikut menoleh ke arah yang ku tunjuk. "Iya malam ini cerah, untung saja tidak mendung. Kalau tidak papamu bisa kehujanan saat pulang nanti" yang dikatakan ibuku benar, namun dari pada menyukuri karena ayahku tidak akan pulang dengan basah kuyub, aku lebih bersyukur karena bisa melihat bulan dan bintang tanpa terhalang awan.
Aku dan ibuku pun sampai ditempat tujuan dan membeli eskrim. Tanganku langsung terjulur kedalam mesin pendingin tersebut untuk mengambil eskrim vanilla berbalut coklat.
Aku memakan eskrim tersebut sambil berjalan pulang. Aku dan ibuku saat inj seperti anak kecil yang membeli eskrim secara diam diam dan harus menghabiskannya sebelum sampai dirumah, karena bisa gawat jika kami sampai dirumah sambil memegang eskrim dan ternyata ayahku sudah pulang. Ayahku selalu saja mengomel apabila ia melihat kami membeli snack ataupun makanan dari luar, pemborosan katanya. Namun yang paling boros dirumah tentu saja adalah ayahku, ia menghabiskan hampir 2 bungkus rokok setiap harinya.
Masih mending kami yang membeli sesuatu dan bisa dicerna oleh perut dari pada dia yang menghabiskan uang hanya untuk menghisap racun, begitulah pikirku. Namun pikiran itu tidak bisa terlontarkan dengan kata kata, karena ayahku adalah orang yang keras kepala. Ia akan membantah semua perkataan walaupun itu adalah suatu kebenaran. Aku tidak menyukai sifatnya itu, namun apa boleh buat sifat keras kepalanya menurun kepadaku.
Hal itu yang menyebabkan apabila kami berdua saja dirumah maka tidak heran jika akan terjadi pertengkaran, rumah tersebut membutuhkan sosok ibuku untuk melerai dan memadamkan emosi kami.
Aku pernah berfikir jika aku memiliki adik apa yang akan terjadi. Bisa saja jika ia memiliki sifat yang percis sepertiku, ibuku akan kesulitan untuk mengatur keadaan didalam rumah.
Benar, aku adalah anak tunggal. Aku tidak memiliki sosok abang, kakak, ataupun adik yang sering diceritakan oleh teman temanku. Jika aku memberitahu mereka bahwasannya aku adalah anak tunggal, tatapan iri mulai datang dari mata mereka.
"Enak banget jadi anak tunggal, pasti dimanja, pasti dituruti semua kemauannya" itulah yang ada dipikiran mereka. Namun seandainya mereka tau jadi anak tunggal tidak seindah yang mereka bayangkan. Memang manusia akan berkata seenaknya jika belum merasakan hal yang sebenarnya.
Malam ini, aku bersyukur tidak ada suara suara yang memenuhi kepalaku. Aku tidak perlu meraih benda tajam untuk menyakiti diriku sendiri. Malam ini aku tidak menangis, dan aku ditemani oleh bulan.
Saat aku tertidur dan membuka mata pagi nanti apakah akan setenang malam ini?
Aku bulan, yang sudah kehilangan sinarnya. Aku bulan yang kelam dan tidak bersinar. Bisakah aku menjadi bulan selayak bagaimana mestinya? Aku juga ingin memancarkan cahaya dan menerangi sekitarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinar Bulan
Teen Fiction"Liat apa?" aku tersentak saat suara berat itu terdengar disampingku, namun setelah mengetahui pemilik suara tersebut akupun tersenyum lalu kembali mendongakkan kepala. "Bulan, indah ya? sinarnya begitu terang padahal ia tidak sempurna dan selalu di...