Bagaimana aku bisa mencela-Mu, Ya Allah?
Sedangkan Engkau begitu baik padaku.
Ampuni segala dosaku.
Ampuni segala kekuranganku.— Syafira Anindhita —
☔☔☔
“Lho, Syafira mana? Syafira belum bangun?” tanya Bunda saat melihat Banyu turun sendirian. Ia sedang menyiapkan sarapan, karena biasanya Syafira ikut membantu ia keheranan. Namun, mengingat Banyu baru pulang mungkin mereka masih ingin melepaskan rasa rindu.
Banyu menatap Yumna. Sebenarnya, Syafira sudah bangun. Namun, sepertinya Syafira belum mood untuk turun. Karena jadwal ke Klinik siang, Banyu pun tidak bertanya banyak. Ia sudah mengajak Syafira untuk sarapan bersama. Meski Banyu sedang marah akibat perkataan Syafira, namun dia tetap mempedulikan kesehatan istrinya.
“Mungkin Syafira kecapean, Bun. Biarin aja, jangan di bangunin. Lagian nanti ke Klinik siang,” ujar Banyu. Banyu tidak mengatakan masalahnya dengan Syafira pada Bunda. Ia tidak ingin memperkeruh suasana. Ia tidak ingin Yumna justru kepikiran. Biarlah, dia dan Syafira yang menyelesaikan semua masalah rumah tangga mereka.
“Oh yasudah,” ujar Yumna, memaklumi.
Banyu pun sarapan seadanya, kemudian berpamitan untuk pergi ke rumah sakit.
***
“Lo ada masalah apaan, deh? Ngajakin nongkrong tapi diem terus. Mending pulang nih gue,” Adimas yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara.
Adimas keheranan karena sepupunya itu mengajak nongkrong setelah pulang kerja. Padahal, Adimas sudah ingin cepat-cepat pulang karena merindukan istrinya yang sedang hamil. Namun, dia merasa tidak enak hati karena sepertinya Banyu memang sedang ada masalah.
“Muka lo kusut banget, setrika dulu gih,” ujarnya, berusaha mencairkan suasana. Namun, Banyu yang biasanya ceria itu masih saja murung sambil mengaduk-aduk kopinya.
“Lo ngajak nongkrong karena mau cerita, 'kan?”
Sejujurnya, Banyu malas bercerita pada Adimas menginga dulu pria ini yang membuat Syafira sakit hati. Jika saja Adimas tidak berkhianat, mungkin saja sekarang Syafira sudah menikah dengannya. Namun, kini Adimas sudah banyak berubah. Pria yang dulu diragukan kesetiannya itu justru yang paling antusias ketika tahu istrinya hamil. Banyu merasa lega karena memang sudah seharusnya Adimas menghargai keberadaan Jihan sebagai istrinya.
“Masalah apaan? Rumah sakit?”
Banyu menggeleng.
“Syafira?” tebak Adimas.
Banyu mengangguk.
“Kenapa? Bukannya kalian selalu kelihatan romantis? Belum lama kan kalian datang ke acara tujuh bulanan Jihan,” ucap Adimas.
“Gue juga bingung harus cerita dari mana, tapi serius kayaknya baru kali ini gue merasa depresi. Dulu waktu ngurus Mega sendirian aja, nggak seberat ini rasanya,” Banyu mengeluh.
Adimas tidak terlalu mengenal Mega. Akan tetapi, dia tahu ceritanya bahwa Banyu lah yang selalu menjaga Mega setelah kepergian Abimana.
“Pernikahan emang nggak selalu mudah, Nyu. Apalagi setelah bertahun-tahun hidup bersama. Gue sama Jihan juga masih sering berantem, perkara gue pulang nggak bawa jajanan aja dibahas sampe tujuh turunan,” kata Adimas, mulai membongkar rahasia umum di sebuah pernikahan yang tidak selalu indah yang dibicarakan orang-orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
On Your Wedding Day
SpiritualDelapan tahun menunggu seseorang nyatanya tidak membuat Syafira lelah. Ia tetap menunggu kembalinya Adimas dan janji mereka untuk bersama. Saat Adimas kembali, nyatanya bukan janji yang ia tepati melainkan sebuah pengkhianatan. Bukannya Syafira yang...