1 | Struktural, Strunggle, Strange

153 21 0
                                    

┈─
© 𝟮𝟬𝟮𝟰, 𝙖𝙧𝙡𝙤𝙟𝙞𝙙𝙞𝙥𝙪𝙩𝙖𝙧

Tetesan air hujan yang sedari tadi membanjiri balkon kafe. Hujan turun dengan deras di kota kecil sedari dini hari. Di sudut kafe yang tenang, seorang perempuan duduk sendirian di meja pojok. Matanya terus memandang keluar, mencari sosok yang diyakininya akan datang.

Dari balik jendela berembun, ia memandang setiap tetes hujan yang merosot dari atas kaca. Secangkir kopi hitam tak berdaya menemani keheningannya, embunnya semakin menipis ketika hujan mulai mereda.

Namun, di antara suara hujan yang pelan, ada keheningan dalam dirinya yang penuh makna. Perempuan itu membawa buku catatan, menulis setiap bait, setiap kata yang tersimpan di benaknya. Hujan seolah menjadi teman yang setia mendengarkan rindu yang terpendam.

Waktu berjalan, tapi perempuan itu tetap setia menunggu. Mungkin itu adalah kesabaran atau harapan yang membuatnya bertahan di sana. Hingga akhirnya, ketika hujan mulai reda, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum. Meski sosok yang dinanti belum juga datang, ada ketenangan di hatinya yang sulit dijelaskan.

Perempuan itu memutuskan bangkit dari kursinya, di depan pintu ia membuka payung untuk berlindung dari hujan lalu berjalan meninggalkan kafe.

Di tengah langkahnya yang mantap, perempuan itu dikejutkan dengan kehadiran seorang pemuda jangkung yang tak sengaja menabraknya dengan keadaan basah kuyup karena hujan. Rambutnya dibiarkan menempel di dahi karena basah sehingga membentuk jejak air di pipinya.

"Sorry, gue telat," ucap pemuda itu sambil tersenyum geli. Mata sayunya itu bisa menerangi wajahnya yang basah.

Perempuan itu tertegun, tetapi senyum di wajahnya muncul begitu menyadari siapa yang menghampirinya. "Hei, apa kabar?" tanyanya, mencoba menyembunyikan kelegaan dalam kata-kata.

Pemuda itu menjawab sambil merangkulnya, "Long time no see, Rachel?"

Rachelle Monroe, atau sering dikenal Producer-Rach di publik.

"Bagaimana kerja di kota metropolis?"

"Mmm ... enak nggak enak!"

Keduanya tertawa, dan dalam tawa itu, hujan seolah menjadi musik latar yang indah. Mungkin penantian Rachelle menunggu di kafe telah membuahkan hasil, atau mungkin ini adalah takdir yang akhirnya menggabungkan mereka dalam pelukan pertemuan yang tak terduga di tengah rintik hujan.

Dalam perjalanan, sambil mengendarai mobilnya, Daniel dan Rachel masih saling mengobrol serta bercanda untuk mengisi ruang hampa di jar memories mereka yang mungkin sudah terdapat sarang laba-laba.

"Semenjak pindah dari Semarang ke Jakarta ... gue sadar, Niel, kalau semua orang ada masanya."

Daniel hanya bisa tersenyum kikuk, sesekali melirik wajah perempuan di sebelahnya.

"Gue pusing soal utang bokap!" lanjut Rachel yang kini menatap ke samping jendela mobil. Melirik setiap pergerakan sosok ayah pekerja keras yang berdagang di pinggiran jalan kota Jakarta.

"Gue butuhnya duit, bukan popularitas." Sedari tadi Rachel mendumel tentang karirnya yang mungkin diambang kehancuran, tapi bukannya emang dia yang bikin itu sendiri?

'Itu?' Maksudnya, karirnya hancur itu karena dia sendiri. Siapa yang nyuruh berhenti di jalan cuma karena Daniel? Cuma karena Daniel?

"Apa karena gue, ya ....?"

Daniel dipenuhi dengan pertanyaan tentang bagaimana dia bisa memberikan pengalaman yang tak terlupakan untuk comeback Rachel serta comeback-nya. Dalam kediaman pikirannya, rencana dan ide-ide kreatif terbentuk, menciptakan dasar untuk comeback yang akan diingat oleh para penggemar.

Revolusi Rasa, HaeryuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang