🐼🐨🐰 : War Wer Wor

277 35 2
                                    

Sambil membaca Bismillah Dean membuka pintu ruangan bertuliskan bimbingan konseling yang ada didepannya perlahan. Kemudian reflek menyengir saat melihat Bu Fatma yang kini menatapnya datar.

Dean nggak tau kesalahannya apa sampai siang ini harus dipanggil ke ruangan yang menurut sebagian siswa— seperti neraka, katanya. Dia jadi deg degan teringat kejadian waktu itu. Tapi untuk sekarang daripada pusing mending nyengir dulu aja nggak sih? Toh nggak ada yang melarang Dean buat nyengir 'kan?

Dean menyalami tangan Bu Fatma dengan sopan, lantas duduk saat guru BK itu mempersilahkan.

"Terang teu kesalahan Dean naon?" tanya Bu Fatma. Menanyakan perihal kesalahan Dean. Tapi Dean sendiri justru bingung dan malah menggaruk-garuk kepalanya yang anehnya mendadak gatal. Perasaan Dean nggak melanggar aturan? Contohnya, seperti merokok disekolah, atau manjat tembok belakang karena kesiangan pun nggak, lalu apa kesalahannya?

"Teu terang Ibu." jawab Dean sambil senyum kikuk. Dia bilang dia nggak tau sama kesalahannya.

Bu Fatma menghela nafas lalu menyodorkan buku catatan berisi peraturan-peraturan tertulis sekolah ini. Lalu menunjuk ke point tujuh belas menggunakan bolpoinnya. "Teu kenging ngawarnaan rambut."

Sial.

Dean nyengir, dalam hati merutuki dirinya sendiri perihal kelupaannya soal peraturan sekolah yang satu itu. Oalah jancok.

"Engkin siang Dean ngiring sareng Ibu ka tukang cukur. Sakintenan sareng si Indra oge." lanjut Bu Fatma mengajak Dean untuk pergi ke tukang cukur yang sontak membuat mata Dean melotot dengan kepala menggeleng keras.

"Ih, Ibu alimmmm! Teu kenging ayeuna atuh Bu! Ibu, kan kedap deui bade lebaran, upami abi botak henteu keren atuh engkin hasil foto lebaranana." Protes Dean yang membuat Bu Fatma jengah.

[ "Ih, Ibu nggak mauuuu! Jangan sekarang dong, Bu! Ibu, kan bentar lagi mau lebaran, kalau saya botak nggak keren dong nanti foto lebarannya." ]

"Ibu teu ngurus. Botak atawa henteu ge Dean masih bisa tetep foto lebaran pan?" tanya Bu Fatma yang membuat Dean mati kutu.

[ "Ibu nggak peduli. Botak atau nggak juga Dean masih bisa tetap foto lebaran kan?" ]

"Bu, punten iyeu mah, pasihan abi waktos." Dean duduk dikursinya dengan gusar. Terus berusaha membujuk Bu Fatma bagaimanapun caranya.

[ "Bu, maaf, ini mah, kasih saya waktu." ]

"Jeung naon? Peraturan tetep peraturan, Deandra." tegas Bu Fatma mutlak yang membuat Dean frustasi.

[ "Buat apa? Peraturan tetap peraturan, Dean." ]

Mata Dean membola kesana kemari mencari solusi. Setelah ketemu dia membenarkan posisi duduknya siap untuk membujuk Bu Fatma lagi.

"Atuh kie we Bu, engkin ku abi iyeu rambutna diwarnaan deui ciga mimiti. Kumaha?"

[ "Yaudah gini aja Bu, nanti sama saya ini rambutnya diwarnain lagi kayak semula. Gimana?" ]

"Di agama urang teu menang ngawarnaan rambut make warna hideung." jawab Bu Fatma yang membuat Dean tambah frustasi.

[ "Di agama kita nggak boleh mewarnai rambut pakai warna hitam." ]

Tapi Dean tentu nggak kehabisan akal.

"Muhun Dean teh poho. Tapi upami kitu, engkin ku Dean diwarnaan make warna anu poek, asal Ibu ulah nyukur rambut Dean." ekspresi Dean dibuat memelas dengan mengatupkan kedua tangannya memohon.

[ "Iya, Dean itu lupa. Tapi kalau begitu, nanti sama Dean diwarnai pakai warna yang gelap. Asal Ibu jangan potong rambut Dean." ]

Dean melihat kalau Bu Fatma hanya menatapmya tanpa ekspresi. Mungkin memikirkan keinginannya? Dia sih berharapnya begitu.

Siblings [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang