11. The Crown Prince

46 24 0
                                    

Ini seharusnya sudah menjadi hari, di mana Anneliese telah diasingkan ke gunung es abadi yang lantas membuatnya bertemu pangeran misterius dari negeri Rubella. Namun, yang terjadi sekarang justru jauh dari bayangan Rose.

Bagaimana ia yang sepenuhnya sudah menggantikan eksistensi Anneliese, malah harus berakhir terdampar di pantai antah-berantah dan benar-benar clueless tentang tempatnya berpijak saat ini.

Lalu, bagaimana ia yang kembali luntang-lantung seorang diri, setelah ditinggalkan kawanan putra mahkota tadi.

Rose mendengus. Buah kelapa muda yang baru saja ia pungut dan bawa untuk sekedar duduk diam di atas pasir putih yang menghampar dekat dengan garis pantai, kini tergeletak tak berguna. Entah, perutnya saja yang memang belum lapar atau perasaan malasnya yang muncul lebih besar, ia biarkan buah kelapa itu tetap utuh di sisi tubuh. Tidak berniat memakan dagingnya, atau meminum airnya sama sekali.

"Ini aneh. Orang yang habis tidak sadarkan diri, dalam kurun waktu yang mungkin sudah lumayan lama sepertiku, setidaknya akan merasa lemas dan lapar. Tapi, kenapa justru aku tidak merasakannya sama sekali? Haus pun, tidak. Aku juga tidak memiliki keinginan untuk buang air. Apa ini hanya efek, karena raga Anneliese sudah sempat terbangun semalam?"

Rose tahu, asumsinya terlalu dini untuk dibenarkan. Saraf otaknya bahkan masih terlalu macet untuk memutar ulang, bagaimana perasaan de javu bisa muncul, hanya karena melihat buah kelapa muda yang jatuh.

Lagipula kemampuannya yang tiba-tiba saja meluas, bukan hanya sanggup mengendalikan pergerakan zat cair dan justru bisa sampai mengubahnya ke dalam bentuk padat, itu terlampau aneh. Kebanyakan dalam cerita fantasi menyebutnya sebagai kelebihan untuk memanipulasi air. Namun, Rose sendiri bahkan ragu, benarkah ia sudah menjadi salah satu pemiliknya?

Kalau ingatannya tidak meleset, es yang dia hancurkan semalam, butuh setidaknya tekanan udara yang benar-benar besar. Terlebih, ukurannya yang nyaris tiga kali lipat dari diameter bola basket dan memiliki jarak cukup jauh dari batu karang tempatnya terbangun. Itu jelas tidak akan terjadi, kecuali aku mampu mengubah tekanan udara secara drastis dalam waktu sesingkat mungkin, sesukaku.

"Kukira, kau mau menurut untuk kembali ke tempat asalmu."

Rose bergeming, suara langkah lelaki yang sudah berdiri tepat di sampingnya kini, terlalu jelas untuk diabaikan. Tapi, sedikit pun Rose bahkan tidak ingin peduli akan keberadaannya, atau alasan laki-laki itu yang tiba-tiba saja muncul kembali.

"Hei, Wanita Asing. Tidak sopan mendiamkan orang yang sedang mengajakmu berbicara."

"Kalau begitu, pergilah. Jangan ajak wanita asing yang tidak punya sopan santun ini berbicara."

"Bahkan, setelah tahu siapa diriku, kau masih berani bertingkah selancang ini?"

Rose menoleh, mengangkat pandangan hanya untuk memberi sebuah tatapan yang maknanya; haruskah aku takut kepada orang sepertimu, Pangeran?

"Kau memang luar biasa," Lelaki itu mendengus, membuang pandangan hingga tatapannya dengan Rose terputus. Entah, saat ini dia sedang merasa paling berkuasa, atau izin orang lain memanglah tidak sepenting pangkatnya, putra mahkota itu memilih duduk bersisian tanpa beban. Mengabaikan tatapan penuh judgement yang berhasil ujung netranya tangkap. "Hatimu yang tidak ada rasa takut sama sekali itu, sepertinya patut kuberi apresiasi."

Samar, Rose mengulas senyum separuh penuh ejekan, sebelum meluruskan pandangan kembali. "Benar-benar seorang pangeran."

"Kau masih mengira aku bukan pangeran sungguhan?"

"Tidak juga," Rose berpikir sejenak. "Dari caramu berbicara dan pakaian yang kau gunakan saat ini, pun sudah cukup menegaskan bahwa kau seorang bangsawan. Hanya saja, statusmu yang ternyata setinggi itu ... masih sedikit mengejutkan. Kukira, kau hanyalah sosok pangeran biasa, atau setidaknya anak dari salah satu menteri."

Login to PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang