13. Closer

11 14 0
                                    

"Tidak kusangka, kau benar-benar jadi lebih pendiam setelah mengetahui namaku, Anneliese."

Rose melirik sekilas, memilih mengabaikan Saint yang baru ingin bergabung dengannya melihat pemandangan luar istana dari sudut balkon lantai dua. Tentu dia tahu, barusan saja, Saint hanya sedang menyarkasinya secara terang-terangan. Salahnya juga sebenarnya, mau menerima jamuan makan siang yang Saint tawarkan usai interograsi singkat selesai, hingga membuat beberapa orang penting di istana jadi mengenalinya.

"Apa aku berbicara dengan patung?"

"Diamlah saja," Rose menyahut tajam. "Lagipula, namaku memang Roseline. Orang-orang hanya tidak tahu, jika Anneliese telah tiada. Anneliese Jeveirre sudah mati."

"Jadi, kau saudari kembarnya, begitu?"

"Kau tidak akan mengerti maksudku."

"Kalau begitu, beritahu."

Rose mengalihkan atensi sepenuhnya. Namun, hal itu sepertinya harus jadi sesuatu yang ia sesalkan. Netra biru jernih milik lelaki di sampingnya langsung menghunus pandangan. Kontan membuat jantung Rose merasa tak nyaman.

"Kenapa aku harus? Memangnya, siapa kau?"

"Memang bukan siapa-siapa," Rose jelas mampu merasakan nada tersinggung yang berusaha Saint tahan. "Tapi, kau sendiri yang memancing. Jika kau serius bilang begitu, aku bisa saja menganggap kau memang bukan Anneliese dan hanya seseorang yang berusaha menyerupainya belaka. Entah apa tujuanmu, tapi jika kau benar-benar melakukan sihir semacam itu—"

"Wow-wow! Tunggu dulu, sebentar! Sepertinya, ada salah paham. Aku memang bilang Anneliese sudah mati dan itu fakta. Tubuh ini bukan miliknya lagi. Tapi, aku bukan seseorang yang mampu meniru wujud orang lain."

"Apa maksudmu?"

"Kubilang, namaku Roseline. Ketika tubuh ini tewas karena cambukan, saat itu juga aku tewas dengan kepala yang berlubang. Sayangnya, jiwaku benar-benar terperangkap di dalam raga ini. Membuat orang-orang beranggapan bahwa Anneliese masih hidup."

"Itu mustahil."

"Memang iya, mustahil. Sampai kau mengalaminya sendiri."

"Mulutmu—"

"Untuk bicara, makan, dan tentu minum." Rose mengulas senyum samar, sangat berbeda jauh dengan sorot matanya yang kian menajam. "Lagipula, bukankah tadi kau terus menanyaiku agar aku tidak jadi anak yang pendiam? Sekarang, mau memprotes lagi?"

Saint menghela napas. "Baiklah. Kau menang!"

Rose kembali meluruskan pandangan. Namun, pertanyaan lirih Saint selanjutnya, membuat netra kelamnya memandang jauh ke langit cerah selama beberapa saat. Begitu saja, sorot tajamnya ikut melunak.

"Kenapa Anneliese sampai harus mendapatkan hukuman cambuk hingga berakhir merenggut nyawanya?"

"Dia bertengkar dengan Daniella di tepi sungai dan tidak sengaja mendorongnya. Tentu, kau tahu, apa yang selanjutnya terjadi. Hari itu, dia sudah menangis ketakutan dan terus memohon pengampunan, tapi hukuman dari raja harus tetap berlanjut."

Rose coba menarik napas panjang, memberi jeda agak lama. Jujur saja, masih ada rasa sesak di dadanya yang tertinggal hingga sekarang, setiap kali mengorek kembali luka lama Anneliese.

"Dari dulu memang begitu, setiap kali dia berbuat salah, selalu ada hukuman fisik yang menanti. Setidaknya, sepeninggal sang Ratu-lah, semua itu bermula."

"Saat itu, Anneliese masih sangat kecil. Aku sempat mendengar berita mengenai tewasnya Ratu Lonetha sekilas."

"Ya, memang masih sangat kecil."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Login to PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang