1. Hujan Pukul Satu

2.7K 301 38
                                    

Cerita hanya fiksi, berdasarkan imajinasi. Jika ada kesamaan tokoh, alur, dan tempat, hanya kebetulan semata.
•_•

    Kepada yang terus berkelana, langit membisikkan sebuah kata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

    Kepada yang terus berkelana, langit membisikkan sebuah kata. Tiap teduh datang memeluk, tapi engkau menolak singgah.

  Berakhir dimana langkahmu? Tanyanya.

Apakah engkau menjadi tiang bagi langit agar tetap perkasa di atas. Atau memaku di tanah agar tak goyah? Kemanapun dirimu berakhir, keduanya akan menjadi sempurna jika bersama.

  Itu adalah bukti, keagungan akan takdirmu.


____

  Byur!

  Prabu be

  Prabu benci semua orang di dunia ini kecuali ayah terhebatnya.

  Kebenciannya itu juga termasuk kepada makhluk tak jelas, tak berakal budi, tak bermoral dan perilakunya sangat tidak senonoh. Orang yang Prabu maksud sekarang tengah asyik bernanyi nyanyi sambil berlari lari.

  "Raden!"

  Mata Prabu yang biasanya sayu kini melotot garang, buku berisi kumpulan puisi kontemporer miliknya sudah digulung gulung siap menjadi senjata untuk memukul. Tidak peduli tatapan aneh Anna yang berdiri disebelahnya dengan segelas coklat hangat, Prabu dengan langkah tegas berdiri di depan rumah dengan tangan di pinggang.

  "Masuk! Sebelum gue aduin semua yang Lo buat ke Ayah!" Teriaknya lantang.

  Raden—oknum yang membuat Prabu marah besar— tidak terganggu dengan ancaman kucing itu. Dia malah asyik mengobok ngobok kolam ikan di halaman depan rumah yang notabenya di buat Ayah mereka untuk Prabu. Pemuda itu hanya menoleh sekilas, "siapa Lo ngatur gue?"

  Prabu menggeram, dengan kasar menepuk nepuk bajunya yang basah kuyup. Siapapun yang melihat kejadian tiga menit lalu pasti akan maklum dengan emosi Prabu yang meluap luap sekarang. Bayangkan, lagi duduk adem anyem tiba tiba di siram air seember. Ulangi, seember!

  Prabu tidak mengerti visi misi Raden melakukan hal itu. Seluruh tubuhnya sekarang basah, buku puisi yang dibeli Ayah untuknya juga basah. Bukannya merasa dingin, deburan emosi di dadanya membuat tubuh Prabu memanas hingga wajahnya merah. Rasanya dia ingin menerjang Raden sekarang juga kalau saja bocah itu tidak sedang hujan hujanan di halaman.

  Raden terkekeh melihat rona wajah Prabu yang merah padam, "lagian gue tau Lo belum mandi, seharusnya berterima kasih."

  "Sok tau banget Lo, sat!" Prabu dengan jari tengahnya.

  Raden menghela nafas, memilih duduk di atas rumput basah, "sama sama."

  Di telinga Raden, omelan Prabu yang hanya di balas anggukan lembut oleh Anna bagaikan kicauan burung gagak. Ya, tidak salah. Jadi, Raden dengan rendah hati bergerak menjauh dari pintu rumah.

LILBROTHER 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang