Cerita hanya fiksi, berdasarkan imajinasi. Jika ada kesamaan tokoh, alur, dan tempat, hanya kebetulan semata.
>-<
Ribuan cara untuk tumbuh, seperti kita dibesarkan dengan tragedi. Mungkin di kehidupan lainnya, kita dapat memilih cara kita sendiri untuk hidup.
---
"Seriusan, gak papa gue tinggal?" Gempar menampilkan ekspresi khawatir yang sangat ketara. Setelah mengantar Prabu ke rumah sakit untuk meminta obat dari luka-lukanya, cowok itu tidak berhenti mengerutkan alis sampai bercap di dahinya yang mulus. Prihatin, Gempar melanjutkan, "setidaknya gue harus jelasin dulu ke Om Agung kenapa kondisi lo bisa kayak gini pulang main sama gue."
Prabu berhenti meringis, "serius. Ayah gue juga gak ada di rumah."
Gempar mengacak rambut gelombangnya, "masa' gue gak bertanggung jawab gitu langsung pergi? Siapa yang di rumah? Raden? Biar gue bicara sama dia."
Prabu refleks melempar bantal sofa ke arah Gempar, "sok iya. Pergi sana, lupa sama Ola?"
Gempar tersentak, teman perempuannya itu masih berada di kantor polisi untuk memberikan kesaksian sebagai korban atas pencopetan yang tiga jam lalu terjadi. "Oh, iya! Anak gadis sendirian, njir." Dia buru-buru bangkit dan merogoh kantong celananya untuk mengambil kunci mobil.
"Beneran, nih?"
Wajah Prabu berkerut kesal, "beneran gue tendang keluar lo dari sini."
"Hadeh.." Gempar spontan menggeleng, "kabarin gue kalau ada apa-apa, misal gilanya Raden kumat lagi marah-marah ke lo, gue pasti langsung dateng."
Prabu berdehem ringan, bersandar di sofa memperhatikan Gempar yang melangkah pergi menuju pintu depan. Pintu tertutup bersamaan dengan Prabu yang bangkit berdiri berjalan perlahan ke dapur. Kakinya sakit, tapi tidak sampai membuat langkahnya pincang.
Dokter bilang, dia harus minum obat dengan perut terisi baru boleh tidur.
Getar ponsel menyita perhatiannya yang sedang memasukkan potongan roti tawar ke dalam mulut. Handphone retak itu menunjukkan pesan pop up yang lupa Prabu balas, tentunya dengan beberapa panggilan tidak terjawab dari orang yang sama.
'angkat.'
'Prabu'
'Gue di pusat jajanan'
'Dimana sekarang?'
'Satu menit, atau hancur muka temen lo.'
Pesan terbaru itu lantas memompa kencang jantung Prabu, buru-buru dia membalas. 'Gue baru sampai di rumah'. Pesan itu langsung terbaca.
'Gue pulang.'
Tuk. Gelas kaca kosong diletakkan ke atas meja, isinya tandas diminum Prabu. Dia menoleh ke arah dua daun pintu besar dengan ukiran liar yang dihiasi sedikit warna emas. Dibaliknya, ada sebuah mobil yang baru saja melewati gerbang rumah otomatis, dan berhenti di halaman. Suara bedebam pintu mobil sudah ciri khas sekali saat pemiliknya sedang marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
LILBROTHER 2
Ficção AdolescenteSetelah berbaikan, kehidupan Prabu seperti lagu dari Tegar Septian, Aku Yang Dulu Bukanlah Yang Sekarang. Tapi dengan versi sedikit berbeda, "Aku yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu ditendang sekarang ku disayang, dulu dulu dulu ku menderita, sek...