20 menit berlalu, pintu masih belum terbuka yang artinya operasi masih berlangsung. Dering telfon Jerome mengalihkan perhatian mereka sejenak. Hingga Jerome melangkah sedikit menjauh untuk mengangangkat panggilan itu, namun...
Brakk
Deg
"Apa yang terjadi!"
"Cepat!"
"Minggir dulu!"
"Ada apa suster? " Jefri segera bangkit menghampiri salah satu suster yang keluar tergesa.
"Pasien membutuhkan darah, bapak mohon tenang, kami akan mengurus nya." Suster tersebut langsung berlari dengan cepat untuk mengambil stok darah.
Untungnya golongan darah Rendis memiliki stok yang cukup, sehingga tak perlu mencari tranfusi darah.
Jefri, Citra, Marcel dan Jerome kembali mengalihkan perhatiannya kepada dua orang suster yang kembali berlari dengan 4 kantong darah diatangan mereka. Hingga ruangan operasi kembali ditutup.
Mereka semua kembali duduk dengan lemas. Hati mereka semua berasa melompat keluar tadi. Bahkan bayang - bayang buruk telah melingkar apik dikepala mereka.
Hingga 1 jam berlalu dan lampu ruang operasi telah berubah hijau.
"Bagaimana Fadli?"
"Huhh.... Operasinya berhasil Jef, tapi tadi kondisi Rendis sempat menurun menyebabkan pendarahan internal sehingga membutuhkan tranfusi darah, gumpalan cairannya sudah berhasil diatasi, sekarang dia sudah baik-baik saja. Tinggal kita rawat luka dan perkembangan selanjutnya. Untuk jadwal check up akan kukirim nanti padamu. Sekarang Rendis akan dipindahkan ke ruang rawatnya."
"Terimakasih Fadli... " Lirih Jefri kemudian memeluk Fadli yang dibalas tepukan di bahu seorang ayah itu.
"Sudah tugasku." Dokter Fadli kemudian berlalu. Disusul brangkar Randis yang keluar. Jefri menatap anaknya itu dengan sendu.
__________________________________________
"Marcel dan Jerome sebaiknya kalian pulang dan istirahat ya." Perintah Jefri melihat wajah kedua anaknya yang tercetak lelah.
"Marcel saja, aku mau disini." Ucap Jerome lalu kembali fokus menatap Rendis. Matanya sejak tadi terpaku pada Rendis disana, selang intubasi ventilator yang menutup mulut mungil itu cukup mengganggu pandangannya. Intinya dia tidak suka karena khawatir. Bukankah itu sakit?
"Ayah? Apa itu sakit?" Ucap Marcel dengan mata yang lurus menatap Rendis. Jefri dan Citra saling berpandangan lalu tersenyum tipis.
"Tidak papa, adikmu kuat, nanti setelah semuanya stabil itu akan dilepas, lebih baik kalian pulang dan istirahat, bukankah kalian besok harus kuliah dan kau Jerome harus sekolah kan?." Jelas Jefri.
"Aku... Akuu ingin disini." Ucap Marcel lalu merebahkan tubuhnya disofa. Ruangan rawat Rendis merupakan ruangan VIP sehingga cukup luas dengan fasilitas yang memadai.
Jefri hanya menghela nafas melihat tingkah dua anaknya, sedangkan Citra tersenyum maklum. Anak-anaknya itu memang keras dan dingin namun sebenarnya mereka itu seorang yang penyayang.
"Tidak papa mas, nanti aku suruh pak Usman buat antar bi Siti kesini bawa keperluan kita." Ucap Citra menengahi. Sedari tadi Citra mengompres tangan dan kaki Rendis dengan air hangat, karena cukup bengkak dan itu wajar karena efek obat yang dimasukkan secara berkala.
"Baiklah. Jerome ikut ayah ke kantin kita beli makanan." Ajak Jefri yang diangguki oleh Jerome. Mereka semua memang belum sempat makan, dan sekarang Jefri harus menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga yang melindungi semua anggota keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati Rendis
Teen Fiction"Ayah maaf, tapi disini rasanya sakit. Ibu tolong dekap aku. Mengapa semuanya jahat? Apakah aku pendosa? Adilkah aku mendapatkan ini semua? Haruskah aku terima? apakah aku egois?" Rendis. Malam ini sejuk tak biasa, bahkan embun ikut menetes menggena...