Dengan bodohnya ia masih membentur-benturkan kepalanya pada permukaan meja, tampangnya pun meringis walau penyebab mimik wajah itu timbul bukan karena kesakitan. Agaknya pemicu terbesar kelakuan absurdnya adalah penolakan yang dilayangkan oleh Senpai Nakamura.
“Maaf, aku menyukai orang lain. Dan aku tak terlalu mengenalmu.” Ungkapan singkat, padat, dan jelas dari Senpai lebih dari cukup untuk menghancurkan keping terakhir pertahanan dirinya.
Cukup mengherankan, apa selama ini dia salah mengira bahwa Senpai juga menyukainya? Tapi roti krim dan susu itu lebih dari cukup sebagai bukti bahwa Senpai Nakamura memang menyediakan perhatian khusus untuk Sachi.
Ditambah ketika mereka tanpa sengaja berjumpa, Senpai selalu melemparkan senyum terkulum ke arahnya. Jadi apa artinya itu? Mengapa isi hati laki-laki sangat rumit melebihi seorang gadis?
Benturan-benturan itu masih berlanjut dengan harapan kekacauan yang mengendap dalam kepalanya menguap menjadi serpihan terkecil. Hingga sesuatu yang entah itu apa menahan dahinya yang telah bersiap mendarat pada benturan selanjutnya.
Ketika ia mendongak, matanya dapat menangkap bahwa sesuatu yang menghalau niatannya adalah telapak tangan Ryuichi Hiro.
“Hei, jangan bertindak bodoh. Dahimu bisa memar jika dibenturkan terus-terusan seperti itu,” sarannya sambil melepaskan sentuhan itu.
Sachi mengangkat bahu enggan, “Biarkan saja, aku tak peduli,” sahutnya tak bersemangat. “Dan jangan ganggu, aku sedang tidak mood bertengkar.”
Kedua telapak tangannya menangkup wajahnya erat, telinganya dapat mendengar dengusan berat mengalir dari bibir Hiro. Sepersekian detik kemudian deritan antara kursi dan lantai mengisi pendengarannya, yakin sekali laki-laki itu telah menempatkan diri di kursinya.
Jikalau laki-laki itu hendak mengusik ketenangannya seperti biasa, ia tak akan peduli, benar-benar akan mengabaikan. Lantaran rasa terpukul itu masih menyita seluruh energinya, hingga tak memiliki segudang tenaga untuk meladeni tingkah usilnya. Tapi, setelah menit demi menit bergulir, sama sekali tak ada tindakan usil yang biasa laki-laki itu layangkan.
Ketenangan yang melingkupi Hiro benar-benar janggal, ia pun memutar kepalanya ke belakang dan mendapati Hiro yang menumpukan dagu pada lengannya, manik matanya pun menatap lurus ke arahnya. Sementara telinganya disumpal oleh earphone.
Mendapati Hiro yang tak menggeser arah pandangnya barang satu inci, Sachi pun segera bersuara, “Apa yang kau lihat?”
Laki-laki itu hanya mengambil satu tarikan napas dan menggeleng.
Belum puas, Sachi melanjutkan, “Apa yang kau dengarkan? Bolehkah aku memakai satunya?”
Padahal suara yang mengalir dari mulutnya cukup lirih, namun Hiro merespon cepat dan menyerahkan salah satu earphone padanya. Agaknya suara yang dilantangkan dari benda mungil itu tak menghambat suara Sachi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bring Me Back ✔️
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki penggemar rahasia? Menyukai seseorang karena dia selalu mengirimkan roti krim dan susu? Tapi mungkin penggemar rahasia itu bukan orang yang dia duga. Kesalahpahaman demi kesalahpahaman mewarnai masa SMA dan kisah romansa...