Sepasang kekasih itu sedang berusaha melarikan diri. Tidak mendapat restu orang tua salah satu dari mereka, jadi alasan.
Tangan mereka saling bertautan. Erat. Mereka berlari, tergesa-gesa. Perahu ke pulau seberang akan segera berangkat. Juga,
beberapa orang sedang mengejar.
Tukk..
Sebuah anak panah dilepaskan dari busurnya.
Baru saja menusuk seseorang.
Tukk..
Itu anak panah kedua. Masih mengenai orang yang sama. Tepat di dada sebelah kiri.
Pria itu dengan sigap menahan kekasihnya yang akan jatuh ke tanah. Satunya terduduk, satu lagi terbaring dalam pangkuan.
"J-jaemin," susah payah lelaki itu berucap. Ia mengangkat tangannya yang mulai bergetar untuk elus lembut pipi kekasihnya.
Pria itu menggeleng rasakan usapan tangan kekasihnya. Matanya memerah, juga bibirnya bergetar. "T-tidak, tolong," mohonnya.
"K-kamu j-jangan marah. T-tolong mmaafkan m-mereka, uhuk," ia terbatuk, mulutnya mulai keluarkan darah.
"m-mereka t-tetap orang tuamu, uhuk" lanjutnya, dengan darah yang keluar semakin banyak.
Bahkan di ujung kematian lelaki itu, dia meminta kekasihnya untuk maafkan kedua orang tuanya, yang jadi alasan panah itu bisa tertancap di tubuh lelaki itu. Orang-orang tadi, suruhan orang tua Jaemin. Kekasihnya.
Jaemin anggukkan kepala, lalu dengan cepat ia menggeleng ribut. "A-aku tidak akan marah, selama kamu masih disini."
tess...
tess...
Entah sudah tetesan ke berapa air yang turun dari matanya, jatuh tercampur dengan air mata lain yang juga sedang mengalir di pipi sang kekasih hati yang terbaring tak berdaya dalam pangkuannya.
"Tolong bertahan." mohon Jaemin lagi.
Kalimatnya bahkan tidak lagi mengudara, padahal ia ingin katakan kalau ia sangat mencintai pria itu. Ingin ia katakan untuk bertemu kembali di kehidupan selanjutnya jika kesempatan itu ada.
Tapi tidak bisa, kalimatnya tertahan di ujung bibir. Ia tidak bisa suarakan kata-katanya.
Maka, ia berikan senyum terakhirnya. Senyum manisnya. Semoga, Jaemin akan selalu ingat.
Haechan pergi. Kekasihnya, pergi. Lalu Jaemin bagaimana jika kekasihnya tidak lagi dengannya di dunia? Harus bagaimana Jaemin untuk tidak marah, jika pusat dunianya direnggut paksa nyawanya?
Dan itu karena orang tuanya.Tangan yang masih terus digenggam itu perlahan mendingin. Tubuhnya terbaring kaku. Jaemin bahkan berulang kali tersedak liurnya sendiri karena terisak juga berteriak tidak karuan. Ia peluk erat tubuh kekasihnya, berharap dapat balasan dengan pelukan yang sama eratnya. Tapi, itu hanya harapan yang tidak jadi kenyataan.
"Ayah, mau gendong." suara anak kecil itu buyarkan seseorang dari lamunannya. Si anak rentangkan tangan, ingin segera digendong orang yang tadi dipanggilnya ayah.
Pria itu berjongkok, menyamai tinggi badannya dengan anak kecil itu, "Mau gendong? cium ayah dulu," ucapnya berikan syarat dengan menunjuk pipi kanannya.
"Jaemin,..." ucap seseorang sangat lirih. Tidak jauh dari tempat duduknya sekarang, ia melihat juga mendengar pria itu baru saja dipanggil 'ayah', oleh seorang anak yang tadi berhasil curi atensi dari lamunannya.