"Jaemin!" Si pemilik senyum manis berseru. Lambaikan tangan pada sosok yang celingak-celinguk cari keberadaannya di antara keramaian para pengunjung kafe siang ini.
"Sorry telat. Tadi Renjun minta dianter ke toko buku dulu." Kalimatnya dilontarkan bahkan sebelum dia duduk.
Haechan mengerti, maklum. Beri angguk tanda terima permintaan maaf yang diperuntukkan padanya.
Mau bagaimana? Renjun itu orang yang ditaksir Jaemin. Sehingga sudah sepatutnya dia beri dukungan atas hubungan mereka. Meski harus menggerus rasa sabarnya layaknya hari ini. Di mana dia terjebak menunggu lebih lama.
Tapi, Haechan berusaha mengerti.
Sekali lagi, dia memaklumi keadaan semacam ini.
"Minuman lu biar gue yang bayar. Count it as my apology." Ucap Jaemin lagi, menatap Haechan dengan angguk satu kali, masih terus berdiri—hanya taruh ponsel di atas meja tepat berdampingan dengan ponsel milik Haechan.
"Emang harus lu yang bayar!" Haechan balas ketus, tatap tajam sosok di hadapan.
Meski begitu, Jaemin tahu, Haechan tidak benar-benar marah. Sahabatnya itu tidak pernah marah kepadanya. Lantas dia terkekeh, bibir si juni yang melengkung turun dan manyun jadi alasan.
"Iya bawel, ini mau bayar sekalian gue pesen kopi." Rambut Haechan diusak berantakan, menghasilkan decak yang terdengar jelas, tapi Jaemin hanya membalas tawa kemudian berlalu begitu saja. Menuju penjaga kasir, sekalian pesan americano yang sudah dihapal luar kepala oleh barista di kafe itu.
Ramai. Jaemin harus antre. Sesekali kalau tatapnya dengan Haechan bersinggungan, dia akan beri kerling menggoda tanpa alasan.
"Balik aja yuk," Sekonyong-konyong Haechan datang, berdiri tepat di sampingnya yang baru selesai sodorkan kertas sebagai alat tukar atas minuman yang mereka beli. Mendengar itu, Jaemin menukik heran. Dia bahkan belum sempat duduk, Haechan sudah mengajak pulang.
"Tempatnya makin rame jam segini. Males, mending balik ke apart." Si juni menjelaskan, bergelayut di lengan si anak agustus, memaksa supaya pria itu setuju.
Sesungguhnya Haechan tidak perlu berusaha lebih, tak ada argumen selain setuju jika itu menyangkut permintaannya. Apapun akan Jaemin setujui, selama dia mampu turuti.
Maka Jaemin mengangguk. Selepas kopi americano miliknya selesai dibuat, mereka lekas beranjak ke apartemen Haechan.
Mereka itu sahabat.
Tapi sahabat mana yang sekarang posisinya, Jaemin berada di antara kaki Haechan, setengah duduk sandarkan pungunggnya pada perut si gemini.
Fokus mereka diambil sepenuhnya oleh permainan playstation di monitor televisi.
"Bolanya gue oper ke kiri."
"Kasih sini bolanya."
"Jaem, Jaem, jagain dongg,"
"Yashhhh! Menang lagiiii!!"
Controller PS dihempas begitu saja, Jaemin mendongak. Tangkup dua sisi rahang Haechan sambil bilang, "Good job, little bear."
Haechan menyengir, sombongkan diri sambil bilang, "Haechan gitu lohh,"
Lantas, mereka tergelak. Membiarkan suara tawa kuasai ruang televisi di apartemen itu. Selepasnya senyum diulas, saling membagi tatap, hanya mereka yang tahu makna dibaliknya.
Jaemin tarik menjauh tangannya yang sedari tadi menempel di pipi Haechan, balik badan menghadap perut si juni supaya wajahnya bisa sembunyi di sana. Tangannya juga beralih peluk pinggang si manis yang mengusak rambut belakangnya —kemudian akan kembali Haechan sisir pakai ruas jemarinya supaya surai itu kembali rapi.