Hamparan rumput terlihat jelas dari atas tempatnya duduk sekarang. Dia duduk pada papan kayu yang tersusun rapi menjadi sebuah rumah kecil dengan pohon besar yang jadi penyangga.
Kuluman senyum tidak bisa dihindarinya ketika lihat seseorang berlari kecil menuju tempatnya sekarang. Si manis yang selalu penuhi isi kepalanya dalam keadaan apapun yang sedang dialaminya.
Sampai dirinya tepat berada di bawah rumah pohon itu, Haechan mendongak ke atas, dapati Jaemin yang menyambutnya dengan senyuman di wajah yang tampak begitu lelah.
Lalu tanpa bicara, dia segera naik ke atas untuk duduk bersama Jaemin di rumah pohon yang selalu menjadi tempat main mereka sejak belasan tahun lalu.
"Kenapa lari-lari, hmm?" tangan besar kekasihnya bergerak menuju pelipis Haechan yang dipenuhi peluh akibat berlari di jam 3 sore ini. Jaemin seka keringat itu dengan tangannya, kemudian beralih rapikan rambut ikal milik sang pacar yang sedikit berantakan.
"Biar cepet sampe aja hehe." ucap Haechan sebagai jawaban.
Ah, Haechan dan segala tentangnya. Ringisan yang tampilkan gigi rapinya, senyuman sampai buat matanya menyipit, pipi gembil yang sekarang memerah akibat sinar matahari yang menerpa, rambut yang selalu undang keinginan Jaemin untuk belai lembut surai itu, bibir bentuk hati yang selalu buat Jaemin gemas tiap kali lihat birai itu mengerucut lucu; ketika semangat bercerita, pun saat sang pacar sedang mengeluh padanya.
Sial. Jaemin mengutuk dirinya juga semua yang memaksanya untuk menjadi jahat pada lelaki manis di depannya, Haechan, kekasihnya.
"Nana mau bicara apa? Katanya tadi mau ngomong sesuatu." Haechan memulai tanya atas apa yang menjadi alasan mereka berada di tempat ini. Firasatnya, sesuatu yang buruk akan terjadi tepat saat lelaki itu mengatakan tujuannya meminta Haechan untuk bertemu.
Bukan tanpa alasan, ini pertama kalinya dia harus ke rumah pohon sendirian. Karena selalunya, Jaemin akan jemput si pujaan di rumah lalu akan bersama menuju rumah pohon tempat mereka banyak habiskan waktu bersama.
Tangan yang tadi sudah beralih kerja usap lembut pipi sang kekasih, sekarang berhenti bergerak, ditatapnya sebentar wajah Haechan dengan raut penasaran yang terlihat jelas, kemudian berganti posisi menjadi duduk bersila menghadap pemandangan di bawah sana. Pun Haechan mengikuti Jaemin, duduk melihat semua objek yang ditangkap mata, tidak lagi saling berhadapan.
Mereka duduk berdampingan, tidak ada yang membuka suara. Jaemin sibuk bagaimana dirinya ucapkan kata untuk tidak sakiti kekasihnya, sementara Haechan yang dengan setia tunggu Jaemin memulai.
Mulutnya perlahan terbuka, tapi tidak ada suara yang keluar. Ucapannya terhenti di kerongkongan. Bahkan bagian kecil dalam tubuhnya tidak mampu mendengar kalimat yang akan diudarakannya. Bibirnya kembali terkatup, perlahan Jaemin pejamkan mata.
Seberapapun ia terus mencari kata yang tepat, tetap tidak ada yang terasa lebih baik, semuanya terlalu menyakitkan. Hatinya berdenyut nyeri pikirkan semua. Haechan, si baik hati dengan senyum ceria yang selalu pancarkan bahagia, si matahari kecil yang selalu cerahkan hari-harinya,—
"Haechan," suaranya datar, tidak berani menoleh barang sedetik pada kekasihnya. Pun Haechan tidak membalas, memilih untuk tunggu kalimat selanjutnya.
"Kita selesai."
—hari ini Jaemin patahkan hatinya. Jaemin buat redup cahayanya, Jaemin hilangkan senyum cerianya.
"Suaramu gak jelas, Na." Haechan terkekeh pelan, mungkin dirinya salah dengar, tampik semua yang ditangkap rungunya.
"Kita selesai, Haechan."
Lalu seketika suaranya tercekat, matanya mulai memerah dengan genangan air di pelupuk mata. Inikah firasat buruknya?
Tapi Haechan masih sempatkan senyum untuk tolehkan wajah melihat kekasihnya. Senyum yang begitu sesakkan dada, senyum yang tak sampai —mungkin tidak akan lagi pernah sampai— di mata.
Cepat-cepat tangannya genggam tangan kekasihnya, namun gerakan Jaemin lebih cepat untuk tepis tangan si pujaan.
"Becandanya enggak lucu, Na."
"—ini kejutan ya? apa aku lupa ini hari penting kita? mana kejutannya Na?" Haechan masih berusaha rupanya. Kepalanya bergerak mencari kejutan yang mungkin sudah disiapkan Jaemin untuknya. Tapi nihil, hanya ada mereka di sana, juga suara jangkrik jadi tamu tak diundang.
"Aku tau kamu ngerti maksud aku, .... tolong jangan buat ini jadi makin berat, Chan"
"Kenapa? A-aku minta ma..."
"Nggak. .... kamu ga ada salah. Tolong jangan minta maaf Haechan," karena rasanya akan lebih sakit untuk Jaemin kalau permintaan maaf sampai di telinga.
"Dengerin aku," dibawa fisiknya menghadap Haechan, dengan kedua tangannya pegang pundak si manis yang entah sejak kapan tidak berhenti jatuhkan air mata. Dikecupnya kening Haechan sedikit lebih lama,
".... setelah ini kalo kamu benci aku, gapapa. ... asal kamu harus janji, .... janji sama aku buat selalu bahagia," Jaemin hembuskan nafas berat, kemudian melanjutkan,
"—aku tau gak akan mudah, tapi jangan lama-lama sedihnya, ya." Jaemin bawa sang pujaan dalam pelukan, biarkan Haechan meronta penuh ketidaksetujuan dalam dekapan.
Ah, ternyata dia tidak sekuat yang dipikirkan. Air matanya luruh begitu saja, namun cepat ia seka agar Haechan tidak melihatnya. Dia tidak boleh menangis. Tidak boleh.
Haechan, Jaemin sakit sekali. Atas semua ucapan yang keluar dari mulutnya, juga atas tangisan yang keluar disebabkan dirinya. Bahkan sayatan di jantungnya tidak cukup hilangkan sakit yang Jaemin rasa.
Haechan, Jaemin juga terpaksa.
Lalu dengan berat, Jaemin lepaskan pelukan. Ia berdiri, tinggalkan Haechan yang masih duduk mendongak menatapnya. Memohon untuk tidak pergi, memohon untuk tidak tinggalkan dirinya sendiri.
Tapi Jaemin abai. Dia harus tega. Maka dengan kaki yang begitu kaku ketika digerakkan, ia berusaha pijak bagian papan yang lain untuk pergi dari sana. Turun dari tangga, tinggalkan Haechan dengan isak tangisnya.
"Enggak!, hiks.." kakinya mendadak lumpuh, maka dengan tenaga yang ada, Haechan seret tubuhnya dekat tangga untuk turun.
Beruntungnya, ia bisa turun dengan selamat. Dan dengan sisa tenaga yang ada, ia berlari untuk kejar Jaeminnya.
"Hiks, J-jaemin!..." suaranya bergetar, berteriak panggil nama Jaemin yang terus berjalan jauh di depan sana.
Tapi memang semesta sedang tidak berpihak padanya.
"Awh! ... hiks Jaemin! .... j-jangan tinggalin aku," Haechan jatuh di hamparan rerumputan luas, kepalanya terus menatap ke depan, tanpa peduli kakinya mungkin luka tergores ranting tajam di bawah sana.
"J-jaemin," lalu senyumnya terlihat ketika Jaemin menoleh ke belakang.
Hatinya berdenyut nyeri, Haechan masih bisa perlihatkan senyuman hanya melihat dirinya menoleh, lalu ia menghadap sempurna ke arah si pujaan. Haechan, jangan seperti ini.
Dilihatnya Haechan jatuh, sejenak kakinya melangkah maju, namun sedetik kemudian ia bergerak mundur, buat senyum si pujaan luntur.
"J-jaemin," Haechan masih memohon, tangannya dijulur ke depan, berharap Jaemin raih tangannya untuk kembali bersama, untuk tidak berpisah.
Tapi yang didapat hanya sebuah gelengan, Jaemin kembali membelakanginya, berjalan semakin jauh untuk bisa dia gapai.
Kemudian yang terdengar selanjutnya hanya tangisan, raungan keengganan untuk ditinggalkan. Haechan menunduk, meraung, tatap rumput yang jadi saksi bisu hubungannya berakhir begitu menyedihkan.
Tapi, tidak jauh dari rumput di dekat Haechan, rumput yang lain juga menjadi saksi seseorang yang terus melangkah dengan tangis tanpa suara.
Jaemin melangkah. Bukan, ia seret kakinya, dengan air mata yang membasahi setiap tanah yang dipijaknya.
~~~• END •~~~