Rumah dan senja

626 60 12
                                    

Beberapa jam lalu sang surya terbenam di ufuk barat, digantikan bulan yang sekarang sedikit mengintip dari celah gorden yang terbuka.

Hening dalam ruangan itu sampai buat suara jarum jam di dinding terdengar sampai telinga, menjadi suara latar untuk pasangan yang sekarang tidur saling berpelukan. Si dominan dengan senang hati biarkan tangannya untuk jadi bantalan kepala si kesayangan.

Sesekali mereka tertawa, kenang masa lalu yang bawa mereka sampai pada hubungan sekarang. Kalau Jaemin tidak mengulang semester saat kuliah dulu, dan kalau dia tidak terlambat datang sampai harus diberikan tugas tambahan, pertemuannya dengan Haechan mungkin tidak akan sampai sekarang.

"Padahal dulu kamu kayak benci banget sama aku, yang."

"Ya gimana gak benci, aku harus ngejar kamu dulu biar bisa bikin video bareng."

Iya, Haechan juga terlambat waktu itu. Buat mereka mau tidak mau, suka tidak suka, tetap harus mendapat hukuman. Membuat tugas video bersama berupa hubungan antara neurosains dengan perilaku seseorang dalam ilmu psikologi.

Haechan tidak akan pernah lupa, tentang bagaimana dirinya pukul belakang kepala Jaemin dengan buku sebab tidak bisa beri penjelasan dengan benar di depan kamera. Belum lagi, Haechan harus edit hasil rekaman mereka agar lebih pantas diterima sang dosen, yang berakhir si manis tidak tidur semalam suntuk karena sudah dikejar waktu. Salahkan Jaemin yang baru bisa diajak kerjasama saat tugas sudah mepet untuk segera dikumpulkan.

Kapok, Haechan tidak mau lagi datang terlambat. Tidak mau satu kelompok dengan Jaemin. Dan tidak mau duduk dekat-dekat Jaemin.

Tapi tidak ada yang tahu bagaimana cara semesta atur takdir dunia. Tidak ada yang tahu bagaimana semua kemustahilan, bisa menjadi hal paling mungkin yang bisa saja terjadi di dunia.

Percaya tidak percaya, sebuah kalimat 'Kita akan menarik apa kita tidak sukai.' adalah kebenaran yang tidak bisa dielak bagaimanapun caranya. Makanya, kata orang, "Jangan terlalu membenci seseorang." patut untuk dicatat dan diingat.

Jangan. Terlalu. Benci. Seseorang.

Tapi nasi sudah jadi bubur, kayu sudah jadi abu. Semesta menarik semua kejadian dengan magnet yang begitu kuat hingga jadi runutan cerita cinta yang tidak diduga, tidak disangka.

Seberapapun Haechan benci Jaemin, dia tetap jatuh pada akhirnya.

Iya, si manis itu akhirnya jatuh cinta.

Jatuh cinta pada Jaemin entah sejak kejadian yang bagaimana. Sebab terlalu banyak hal diluar akal sehat yang menghubungkannya dengan Jaemin. Entah saat mobilnya mogok dijalan tengah malam dan dapati Jaemin sebagai penyelamat, atau saat dirinya hampir saja jatuh pingsan saat baru saja pulang dari kampus; sebab anemianya kambuh dan Jaemin dengan sigap menolongnya, atau saat Jaemin tanpa diminta datang ke kost-annya hanya untuk ajak dirinya sarapan bersama hampir setiap hari.

Haechan tidak tahu tepat di peristiwa mana dirinya jatuh cinta pada Jaemin. Yang jelas, dia jatuh begitu keras dan dalam.

Pun Jaemin tidak jauh berbeda. Beberapa kali pertama, menurutnya Haechan terlalu ramai sampai buat telinganya pengang dengar suaranya. Haechan terlalu kacau seperti tidak pernah merasa lelah. Lalu di kali kedua, Jaemin mulai terbiasa. Dengan suara Haechan yang memang agak sedikit keras, dengan sifat periangnya yang buat suasana jadi ramai, dan dengan tawa yang undang ukiran senyum di bibirnya. Lalu di kali ketiga, Jaemin tidak bisa si manis jauh-jauh darinya, Jaemin tidak ingin Haechan sedih dan akan beri hiburan bagaimanapun caranya, Jaemin akan usahakan untuk selalu ada. Untuk Haechan-nya.

Jaemin akui kalau dia yang pertama rasakan cinta, dia juga jatuh jauh lebih keras, lebih dalam.

Bagaimanapun ia perlihatkan cintanya agar bisa Haechan rasa, tapi menurutnya tetap masih terasa kurang. Tidak ada bentuk dan cara yang bisa jelaskan bagaimana rasanya, kecuali si manis itu masuk ke dalam tubuhnya. Untuk rasakan setiap sel dalam tubuhnya hanya memuja pada satu orang--Haechan, kekasihnya.

"Nanti, kalo udah nikah, kita buat rumah dekat pantai, ya."

"Hmm, aku ikut aja. Kamu suka biar bisa liat sunset kapan aja, ya?"

"Benar sekali." Jaemin dapat kecup di bibir atas tebakannya yang benar tadi. "—pas pagi kita bisa ngopi bareng sambil nikmatin sunrise, terus pas sore kita duduk sambil nikmatin senja. .... Perfect." lanjut Haechan kemudian. Eratkan pelukan dipinggang kekasihnya.

"Oke, nanti kita buat sesuai yang kamu mau." suaranya sedikit redam sebab wajahnya menempel di pucuk kepala Haechan. Jaemin sibuk hirup aroma sampo bayi yang dipakai si manis pujaannya.

"Tapi, kalo misal gabisa pun enggak apa, asal kamu tetap terus sama aku." Haechan bawa wajahnya sembunyi di dada sang dominan, nikmati detak jantung Jaemin yang suaranya selalu lebih cepat kala mereka sedang bersama.

"Aku bakal tetap sama kamu, sayang."

"Janji?" Haechan mendongak juga tangannya terangkat. Acungkan jari kelingking untuk ikat ucapan Jaemin barusan.

Si dominan tertawa pelan, Haechan masih tetap seperti anak kecil yang selalu menggemaskan untuknya. "Janji." ia balas lingkarkan jari kelingkingnya dengan milik Haechan. Bahkan tanpa ucapan dan apapun itu, tanpa diminta Jaemin akan bersedia. Untuk selalu bersama Haechan, untuk habiskan waktu bersama.

"Tapi Haechan, bahagia itu kita yang buat sendiri. Aku bisa janji buat selalu disisi kamu sampai napas terakhir, tapi aku gak bisa janji untuk terus kasih kamu kebahagiaan."

"—jadi, janji sama aku. Kamu akan dan harus bahagia sama diri kamu sendiri. Kalau marah, jangan kelamaan, dan kalau sedih, jangan terlalu larut."

Haechan tidak langsung menjawab. Ia hanya beralih usak wajahnya di dada bidang Jaemin. "Haechan, sayang?" panggil Jaemin sebab masih belum dapat respon apapun.

"Hmm, iya, aku gak janji, tapi aku usahain." balas Haechan pada akhirnya.

"Yaudah, sekarang tidur, udah larut." Jaemin tepuk lembut punggung si manis, agar kekasihnya itu cepat tidur. Sedang Haechan nyamankan diri, bersiap tidur lelap dalam pelukan Jaemin.

Namun hanya sebentar, tepukan dipunggungnya berhenti. Haechan pikir Jaemin sudah lebih dulu tidur. Tapi tidak setelah suara mesin EKG di sebelah kiri suarakan bunyi yang tidak ingin semua orang dengar.

Semakin lama, semakin panjang.

Haechan menangis dalam diam, semakin eratkan pelukan.

Lantas kepalanya menggeleng cepat, "Enggak, Jaemin enggak..." dan dengan sisa kesadarannya, Haechan beralih tekan tombol di atas kepala untuk panggil perawat agar segera datang.

Kakinya lemas, tidak bisa bangun walau hanya sekedar duduk. Pikirannya kalut, bukan sekarang, dan tidak sekarang.

Jaemin,

Jangan pergi.

Tangannya beralih sentuh rahang Jaemin untuk beri usapan lembut disana, juga perhatikan bagaimana selang oksigen yang masih senantiasa berikan senyawa O2 di hidung pria tampan itu; walau Jaemin tidak bisa lagi hirup selang oksigen itu.

"Jaemin.... hiks...." suaranya melemah, badannya lemas luar biasa, tapi derai air mata dengan beraninya begitu semangat keluar dari kelopak indah yang selalu Jaemin puja.

"K-kamu j-jahat. J-jaemin! Bangun sekarang hiks.... Jaemin."

~~~•• END ••~~~

Nahyuck OneshotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang