9 p.m

972 54 6
                                    

Sekarang pukul 9 malam, Jaemin baru saja tiba di sebuah apartemen 1 menit lalu. Mobilnya sudah terparkir rapi di basemen, lalu segera turun menuju lantai paling atas.

Kunci mobil di tangan kanannya ia lempar-lempar kecil ke udara sambil terus berjalan menuju lift. Jas yang dipakainya juga sudah tersampir di lengan sebelah kiri.

Lift terbuka, dirinya segera masuk dan menekan tombol ke tempat tujuan. Matanya melihat pukul berapa sekarang pada jam tangan yang dipakainya. Ah, dia telat beberapa menit.

Kemudian segera ia langkahkan kaki menuju unit satu-satunya di lantai paling atas apartemen setelah lift kembali terbuka. Penthouse.

Sambil bersenandung kecil, Jaemin buka pintu dan senyumnya merekah sempurna ketika lihat sepasang sepatu di sana. Oh! dia juga disambut dengan wangi masakan yang menyeruak sampai pada tempatnya sekarang berdiri, sedang melepas sepatu di depan pintu.

Memang bukan lagi waktu untuk makan malam sebenarnya, mengingat sekarang sudah pukul 9 malam, tapi tak apa, Jaemin baru bisa datang sekarang.

Sayup-sayup Haechan mendengar suara langkah kaki mendekat ke dapur, tepatnya mendekat ke arahnya. Tapi lelaki itu sama sekali tidak menoleh, sudah tau kalau yang datang itu pasti Jaemin.

Sepasang tangan melingkar sempurna di pinggang ramping Haechan, kepalanya sedikit menunduk, mengusak hidungnya di leher jenjang si pujaan.

"Capek ya?"

"Hmm" balas Jaemin tanpa membuka mata yang sedari tadi ia pejamkan, menikmati aroma yang menguar dari tubuh seseorang yang sekarang dipeluknya.

"Lepas dulu, aku jadi susah geraknya," ucap lembut Haechan yang masih mengaduk saus untuk pasta yang menjadi menu makan malam mereka.

Tapi Jaemin abai, ia tetap peluk sosok yang lebih kecil, bahkan lebih eratkan pelukan.




Drrt...

Jaemin hembuskan nafas malas ketika dering telepon berbunyi. Dengan terpaksa ia keluarkan ponselnya dari saku celana, lalu berjalan menjauh untuk mengangkat telepon.

Pun Haechan juga hela nafas dalam, tau siapa yang menghubungi Jaemin saat ini. Tangannya terus fokus mengaduk saus bolognese, lalu dimatikannya kompor dan memindahkan saus itu ke sebuah mangkuk yang sudah berisi pasta di dalamnya.

Alat masak yang kotor dipindahkannya ke kitchen sink, lalu mangkuk pasta di counter dibawanya ke atas meja bertepatan dengan Jaemin yang kembali memasuki dapur.

Senyuman kembali dia perlihatkan begitu netra mereka bertemu saling menatap. Jaemin berjalan mendekati Haechan yang masih berdiri membelakangi meja makan. Dia tarik tangan yang lebih kecil, lalu dipeluknya.

"Maaf,.." dikecupnya pucuk kepala Haechan beberapa kali.

"Maaf aku gak bisa ngelepasin kamu," Jaemin masih terus hirup wangi shampo yang menempel di rambut kekasihnya.

Haechan tidak berucap apa-apa, hanya tangannya yang bergerak membalas pelukan Jaemin. Kepalanya dinyamankan bersandar pada dada bidang lelaki di depannya, pejamkan mata merasakan usapan-usapan lembut di punggungnya.

Bukan hanya Jaemin yang tidak mau melepaskan, Haechan juga sama. Tidak mau melepas sosok yang sudah 2 tahun menjalin hubungan rahasia dengannya.

Jaemin itu sudah menikah. Hubungan mereka harusnya tidak ada, tidak pernah ada. Tapi siapa yang menyangka? Pertemuan di museum beberapa tahun lalu membawa mereka sampai sejauh ini. Keduanya sadar kalau mereka harusnya tidak menjalin hubungan yang dijalani secara diam-diam dan rahasia. Tapi, baik Jaemin juga Haechan tidak bisa menghindar, apalagi menolak.

Jaemin sadar, harusnya dia tidak membawa lelaki manis itu ke dalam hubungan seperti ini. Harusnya Haechan bahagia bersama pria lain dengan hubungan juga status yang lebih baik daripada dengannya.

Tidak pernah ada dalam pikirannya, memeluk seseorang sementara dirinya berada dalam hubungan yang sah dengan seorang yang lain.

Tapi Haechan selalu membuatnya jatuh cinta; ketika mereka berbincang tentang kesukaan masing-masing, tentang Haechan yang  menceritakan hal bahagia yang baru saja dilewatinya, atau tentang kesamaan mereka berdua yang membuat mata bulat Haechan berbinar, tidak lupa senyum manisnya. Atau ketika si manis itu bersedih, rasanya Jaemin ingin selalu melindunginya dari masalah apapun itu, dari siapapun yang menganggu si manis kesayangan. Tapi nyatanya, kesedihan paling besar yang Haechan rasakan berasal dari dirinya. Jaemin menjadi alasan sedihnya si pujaan.

Pun Haechan juga sadar akan semua ini. Memangnya apa yang bisa dia harapkan dari menjadi orang ketiga? Tidak akan bisa dengan bebas tertawa di jalanan seperti pasangan lainnya, tidak bisa datangi acara bersama sebagai pasangan kekasih, dan tidak bisa – tidak bisa lainnya yang biasa pasangan kekasih lakukan di tempat umum. Tapi tak apa, asal Jaemin tidak meninggalkannya.

Jaemin salah kalau dia meminta maaf sebab tidak bisa melepaskan Haechan. Karena pada kenyataannya, Haechan memang tidak mau dilepaskan, Haechan tidak mau ditinggalkan.

"Kamu nginep, kan?" tanya Haechan dengan suara teredam.

"Heem, aku nginep,"

Bahkan cukup mendengar kalimat barusan, Haechan sudah tersenyum senang.

"Makan yuk, nanti keburu dingin makanannya,"




~~~• END •~~~

Nahyuck OneshotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang