Zanara menangkap tote bag merah muda yang dilemparkan oleh Kevin. Lelaki berkulit sawo matang itu bahkan belum sempat berganti pakaian dan masih mengenakan kemeja batik cokelat yang menjadi seragam mengajarnya.
"Bener-bener kamu, Ra. Kalo kuping gak nempel di kepala pasti ketinggalan juga," gerutu Kevin berlalu sambil masuk ke dalam rumah.
Rumah bergaya minimalis dengan keseluruhan dinding putih tulang yang diukir kasar dengan garis-garis diagonal. Kanopi teras memanjang ke depan memberi kesan adem dan bersih begitu tamu hendak ke dalam rumah. Diselingi ventilasi kecil empat sudut yang dimodifikasi menjadi tembok berfungsi sebagai separuhnya pagar. Sementara pagarnya sendiri tidak ada, pintu utama dari kayu jati tanpa ukiran dipernis cokelat tua berada di belakang tembok ukiran ventilasi itu. Ubin bercorak batu-batu kecil menghias teras yang menyatu warna dengan dindingnya.
Setelah mendapatkan tasnya kembali, Zanara mengecek ke dalam. Dompet kartu, dompet koin, dompet tempat uang dengan kartu tanda pengenal masih ada di sana lengkap dengan uang lima puluh tiga ribu yang tadi siang dikembalikan oleh tukang nasi padang. Ponsel bahkan dengan earphone yang masih menempel juga ada di dalamnya. Zanara menghembuskan napas lega.
Bersyukur mempunyai teman baik hati dan rajin menabung seperti Kevin. Bukannya pulang ke rumah karena badan basah kuyup atau berbalik lagi mengambil tasnya yang tertinggal di halte Dukuh Atas, tetapi malah berjalan ke rumah teman yang sudah lebih dari sepuluh tahun lalu dia kenal meski jarak rumah mereka hanya berbeda dua blok. Kevin yang belum lama tiba di rumah langsung mengemudikan lagi motornya meski diawali dengan gerutuan yang tiada henti hingga dia menghilang di balik blok depan.
"Yaudah kamu masuk aja dulu, bikin teh apa kopi. Minta handuk sama Genta, tuh. Apa gak udah pulang aja sana nanti aku bawain tasnya ke rumahmu." Terdengar lagi ucapan Kevin beberapa menit lalu ketika Zanara yang basah kuyup seperti tikus kecebur got, tiba-tiba mengetuk pintu rumahnya.
Begitu Zanara hendak bangkit dari tempat duduk dan berjalan pulang ke rumah. Sebuah handuk kuning terlempar ke pangkuannya. Hampir saja dia terlonjak kaget kalau tidak langsung bertatapan dengan Kevin yang membawa dua mangkuk putih ke meja yang ada di depannya.
"Kenapa gak masuk, sih? Nungguin dari tadi di depan, kan dingin. Udah kaya sama siapa aja, sok pura-pura malu segala." Kevin menaruh dua mangkuk yang menguarkan aroma kacang hijau berpadu dengan gula merah.
Zanara mengambil handuk yang hanya diletakkan saja seperti kerudung di atas kepala. Sementara tasnya yang berada di pangkuan sudah basah kuyup menyamai dirinya. Pandangannya terpaku ke ujung high heels hijau yang dia kenakan. Pikirannya melayang kepada kejadian beberapa menit lalu ketika anak kembar yang dia tolong saat terjatuh malah tertabrak truk di jalan. Dia ingin mengetahui bagaimana kabar anak itu sekarang, mungkin ada sesuatu yang patah atau semua baik-baik saja? Bagaimana dengan keadaan si ibu yang berulang kali mengatakan repot mengurusi anak kembar yang begitu mirip satu sama lain? Mereka bukan siapa-siapa, tetapi Zanara merasa terikat ketika menyadari andai saja mereka menyeberangi jalan bersamaan pasti anak itu akan digandeng olehnya daripada berjalan mengikuti ibunya yang tampak kerepotan. Suara sendok yang diketuk pada mangkuk beling membuyarkan lamunannya.
"Heh! Dimakan ini keburu dingin. Mikirin apaan coba serius amat," protes Kevin.
"Gak laper, Vin. Lagi gak enak aja, aku mau balik ke rumah. Makasih udah ngambilin tas." Zanara bangkit, menaruh handuk di kepalanya ke lengan kursi lalu berjalan di bawah gerimis yang masih berjatuhan.
Kevin merasakan perubahan pada diri teman satu-satunya. Seperti ada yang disembunyikan, karena kedua mata milik perempuan itu seperti menyimpan buncahkan sesuatu yang sebentar lagi akan mengalir deras. Kevin mulai mengoreksi diri, tentang omongannya yang mungkin keterlaluan ataukah lemparan tas dan handuk yang terasa kasar mengenai. Dia mengabsen satu per satu, tetapi tidak menemukan ada kesalahan di sana karena semua tampak biasa saja kecuali kalau temannya sedang mempermasalahkan sesuatu.
Kevin bangkit menyusul langkah Zanara lalu berhenti mengejar begitu menyadari pundak perempuan berambut sebahu itu mulai naik turun sesenggukan. Perutnya yang sejak tadi mengaduh minta diisi malah tidak digubris lagi. Bagi Kevin hujan deras berpetir sekali pun boleh menuruni bumi sepuasnya, tetapi tidak akan diizinkan jika setetes saja air mata membasahi pipi perempuan dengan wajah oval dihias dengan dua tahi lalat vertikal di ujung mata kanannya itu.
Kevin berbalik masuk ke rumah, menghampiri lemari sepatu dan menarik payung panjang berwarna kuning cerah yang tergantung di sampingnya. "Ta! Tolong beresin mangkuk depan!" teriak Kevin pada adik bungsunya yang tengah bermain game di ponsel. Lelaki kurus ber-hoodie biru muda kedodoran yang terpaut usia lebih muda dua tahun darinya, segera menoleh dan bangkit.
Kevin mencoba mensejajari perempuan yang kini sudah berada jauh di depan membuat langkahnya kewalahan. Napasnya tersengal, belum lagi pulang lembur akibat memeriksa hasil ujian anak didiknya yang sebentar lagi akan memasuki semester akhir. Bahkan ketika sampai di rumah tidak lama disambut oleh raut minta tolongnya Zanara akibat tasnya tertinggal di halte, membuatnya tidak bisa beristirahat sejenak. Sekarang, saat tiba giliran makan masakan buatannya tadi yang sempat tertunda malah disambut raut wajah kecewa yang dimiliki temannya. Napsu makannya sudah lenyap entah kemana.
Langkah perempuan itu berhenti di sebuah rumah minimalis berpagar hitam yang terbuka separuh. Nomor rumah 124 yang terpahat pada papan vertikal kayu tampak jelas akibat lampu sorot kecil di atasnya, seolah tulisan itu kurang jelas terbaca jika tidak diberi penerangan. Rumah dengan dinding putih polos yang dikawinkan oleh ubin bercorak kotak putih hitam saling mengisi, membuat perpaduan cantik yang tampak adem dengan hiasan tanaman hijau dalam pot di sisi teras.
Sementara Kevin berdiam tak jauh di belakang. Zanara masuk ke dalam tanpa perlu mencopot sepatu. Kevin merasa senang jika melihat temannya yang sedikit tomboi itu memakai setelan kerja, menggunakan rok panjang semata kaki, dipadukan dengan sepatu hak tinggi yang membuat cara berjalannya menjadi tertata dan tampak elegan, ditambah jika mereka berdiri bersisian tingginya naik menjadi sekuping Kevin. Pemanis dari itu adalah make up yang terpasang di wajahnya, balutan lipstik merah muda dan riasan pipi dengan warna senada.
Zanara menarik pintu depan yang terdiri dari kaca vertikal menyatu dengan jendela yang sejajar tingginya. Pandangannya terpaku di muka pintu begitu menyadari ada sesuatu yang seperti membuatnya tertegun. Tas yang bersandar di bahu kanan dilempar ke lantai. Dia menghambur masuk. "Mama?" seru Zanara ke seisi ruangan.
Kevin mematung di muka pintu begitu melihat perabotan seperti vas bunga mawar pecah ke lantai, berserakan beling berhamburan. Alas meja berenda hijau polos terkulai lemah di lantai. Sementara sofa abu-abu panjang di sisi dinding dengan sofa satunya yang bersandar dekat jendela tak ada perubahan posisi.
"Ada apa, Ra? Tumben berantakan gini?" tanya Kevin memasuki rumah dan tanpa sengaja dipijaknya beling tadi. Membuat Kevin meringis.
Zanara tidak menjawab karena sibuk membuka pintu kamarnya, kamar mama, lalu kamar mandi, juga pintu belakang. Mencari sosok mama yang sejak semalam sudah tidak terlihat, Zanara merasakan pangkal kerongkongannya mengering. Pasti sesuatu telah terjadi saat dia pergi bekerja. Mungkin saja mama pulang dan terlibat suatu pertengkaran dengan seseorang bahkan lebih buruk lagi, bagaimana jika mama diculik? Tidak, Zanara menggeleng untuk membuyarkan pikiran buruknya.
Kevin segera menyusul Zanara ke dalam yang seperti mencari sesuatu, tetapi tidak berhasil menemukannya. "Kenapa, Ra?"
"Dari semalam Mama gak ada. Tadi pagi aku pergi kerja juga Mama belum pulang, tapi rumah gak begini. Pasti ada yang masuk waktu rumah kosong."
"Coba aku tanya tetangga dulu ya, kali ada yang lihat," ucap Kevin sambil berjalan keluar.
Belum sempat Zanara menyusul Kevin, sesuatu di lantai dekat pintu belakang menarik perhatian. Dia mendekat dan mendapati sebuah benda melingkar berwarna merah polos tanpa ukiran, yang lalu diambil untuk melihat lebih jelas. Sebuah gelang dari sulaman yang berpilin-pilin membentuk saling silang yang mengisi satu sama lain. Zanara mengernyit begitu mendapati bahwa telapak tangannya kini membekas dengan cairan merah segar.
# # #
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Takdir (Kala Cinta Bertahan dalam Kenangan)
FantasyApa yang akan terjadi pada dirimu jika melalui hidup tanpa ibu lagi? Berantakan, boros, makan tidak teratur, tak ada lagi tempat berkeluh-kesah, karena seperti itu juga yang dirasakan oleh Zanara Audi-si anak semata wayang manja yang bahkan tidak bi...