CHAPTER 8

8 4 0
                                    

Kevin berjalan sambil bersungut-sungut seakan bara api masih menyala memanaskan seluruh isi kepala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kevin berjalan sambil bersungut-sungut seakan bara api masih menyala memanaskan seluruh isi kepala. Dia berhenti di halte untuk menaiki bus yang melintasi komplek perumahannya. Bus hijau campur list biru itu melaju dengan kecepatan sedang membuat Kevin semakin dongkol. Padahal tadi dia membawa kendaraan pribadi malah berakhir menaiki kendaraan publik. Bukan permasalahan hemat atau tidak, tetapi masalah kejengkelan akibat yang lelaki gila dengan jaket parka tadi lakukan kepadanya.

Setelah turun dari bus dia berjalan masuk ke dalam komplek, rumahnya sudah terlihat dari kejauhan atap abu-abu itu beda dengan rumah yang lain. Begitu sampai, dia meraih handel pintu yang jelas saja terkunci karena kunci rumah dibawa dalam tas jinjing yang masih tertinggal di sekolah karena dia terburu-buru menuju rumah sakit. Kevin berjinjit sedikit, meraih ke ventilasi baris ketiga di atas pintu dan berhasil meraih benda kecil tanpa gantungan sebagai kunci cadangan. Dia masuk ke dalam, membuka kancing kemeja teratas karena seluruh tubuh sudah dipenuhi peluh. Sembari meraih cangkir, membuka kulkas dan mengambil sebotol air dingin, menuangkannya ke cangkir.

Bahkan air itu terasa tak cukup dingin di kerongkongannya. Dia menuang segelas penuh lagi dan mencoba mengosongkan untuk kedua kali. Begitu handel pintu ditarik oleh seseorang, punggung Kevin menegang. Siapa yang bertamu malam-malam begini, bahkan tidak mengetuk pintu lebih dulu?

Pandangan Kevin tertuju pada sosok yang kini membuka pintu dan masih tertunduk sembari mencopot kaus kaki lalu meletakkan sepatu di tempat rak di sisi kirinya berada. Begitu mata mereka bertatapan, Kevin seperti melihat hantu yang datang dari bertahun-tahun lalu. Tidak, bahkan sebelum mata mereka menemukan satu sama lain, Kevin sudah mengetahui.

"Lho, udah pulang, Bang?" tanya lelaki itu seperti kaget dengan apa yang berada di hadapannya. Seakan mengetahui kalau tempat Kevin bukan di sini, bersamanya.

Suara yang sama persis seolah Kevin mendengar putaran audio dari sosok yang dikenalnya. Gelas yang masih terisi separuh air dalam genggaman, meluncur mulus ke lantai. Membuat sosok lelaki yang masih mematung di depan pintu terlonjak dan mendekatinya.

"Dih, udah kaya, Bang? Malah gelas dibanting-banting." Tawanya menguar serasa menggelitik otak Kevin hingga ke sudut khayalan terjauh. Ransel hitam yang bersandar di bahu lelaki itu diletakkan ke sofa yang berada di ruang tamu. Hanya benda-benda yang menjadi sekat dalam rumah mereka, tidak ada dinding kecuali untuk ruangan pribadi dan toilet.

Kevin merasa jantungnya copot bersama gelas di tangan. Begitu melihat lelaki dengan kemeja biru tua itu dengan rambut cepak tanpa poni, mulai mengambil sapu dan pengki di dekat kusen jendela. Membuat Kevin merasakan kedua matanya mengabur. "Genta?" Lidahnya keluh, sebelum sempat menghapus sesuatu yang meleleh dari sudut mata. Kevin melangkah dengan gemetar ke arah sosok tersebut.

"Eh! Jangan bergerak!" Genta panik lalu menyerbu ke arah Kevin. Bukan untuk memeluknya, tetapi sigap menyapu lantai berubin krem di depan Kevin. Pecahan beling akan melukai kakinya yang telanjang.

Sementara mendengar perintah itu, Kevin mematung. Melihat adik lelakinya dengan gesit membersihkan pecahan beling di depan tubuhnya. Berulang kali Kevin meyakini dalam hati kalau sosok di depannya bukanlah sebuah hologram. Sosok itu terlalu lama menunduk, dan Kevin tak tahan dengan buncahan yang berada dalam dada. "Genta?"

Lelaki di hadapannya menyelesaikan pecahan itu separuh. Dia mendongak melihat kakaknya yang entah sedang kerasukan apa. Genta mengerutkan kedua alis, dengan cengiran seperti orang yang sebentar lagi akan kabur akibat melihat sesuatu yang menjijikan. "Apaan, sih?"

Kevin mencengkram kedua bahu lelaki di hadapannya. Terasa nyata dan bukan bagian dari imajinasi akan kerinduan. Kini isaknya mulai terdengar, tak dihiraukan lelaki itu yang tampak kebingungan seperti hendak melarikan diri, tetapi dia mencoba bertahan sampai sejauh ini. Tidak lama, Kevin menabrakkan tubuhnya pada Genta yang masih melongo, dipeluknya erat sosok itu yang tidak meronta dalam dekapannya. Kevin dapat menghirup perpaduan aroma dark chocolate dan citrus yang menusuk hidung. Pikirannya masih mengerang tidak karuan, bagaimana mungkin Genta yang sudah meninggal setahun lalu bisa muncul di hadapannya? Kerinduan itu membuncah hebat dalam dada. Kevin tak ingin melepaskan dekapannya, karena takut seakan sosok itu akan kembali lenyap dan menghilang dalam kabut malam dan terbang bersama mimpi-mimpi buruknya. Namun, dia meyakini ribuan kali kalau ini bukanlah mimpi. Semoga saja begitu.

Genta mulai menggeliat untuk melepaskan diri dan meronta. "Bang, sesek napas, nih! Udahan kenapa," celetuknya kemudian. "Yang sedih bukan cuma Abang, doang. Tapi kita semua juga."

Seperti ada seseorang yang menimpuk kepala, membuat Kevin tersadar ucapan Genta barusan. Kehilangan apanya juga dia tak tahu. Genta mengusap-ngusap punggung Kevin sembari menepuk pelan. "Ikhlas, Bang, ikhlas." Genta seperti menahan tangis.

Lalu Kevin melepaskan dekapannya untuk menatap lebih jelas kedua manik mata hitam pekat yang tak serupa miliknya. Kevin meyakini turunan manik matanya adalah dari sang ayah. Sementara Genta sekaligus menuruni kedua bulu mata lentik dengan alis mata rapi seperti semut hitam yang beriringan milik sang ibu.

"Maksudnya gimana, Ta?" Kevin berusaha menahan tangis disela setiap kata, punggung tangan digunakan sembari menghapus pipi yang basah padahal saputangan ada di saku celana.

Kini gantian Genta yang memegang bahu kakaknya karena takut kalau-kalau tubuh itu akan merosot jatuh tanpa perintah. "Kecelakaan itu bukan salah siapa-siapa. Emang udah takdirnya Zanara aja, Bang." Genta menghentakkan pelan pegangan pada bahu sosok di hadapannya.

Mulut Kevin membuka sempurna, keningnya berkerut seolah palu besar terus-terusan dihantam telak pada tengkuknya. "Zanara kenapa?" Berharap dia salah mendengar, tetapi tidak ada nama lain yang serupa dengan teman karibnya itu. Kevin berharap dia salah mendengar.

Genta bukannya menjawab malah memutar-mutar tubuh Kevin. Melihatnya dari atas ke bawah. Menarik tangannya melihat apakah ada luka yang bersarang dan luput dari perhatian. Menundukkan kepala Kevin yang lebih tinggi lima senti darinya, melihat kedua telinga yang masih utuh, melihat ke tengkuk dan leher yang tidak tergores sedikit pun. Lalu beralih ke telapak kaki kiri abangnya yang sedikit berjinjit akibat terkena pecahan beling. "Tuh, dibilang jangan bergerak. Udah dibilang apa, otaknya Abang beneran pindah di telapak kaki, sih!" Sambil menepuk kencang bahu Abangnya yang baru tersadar dan menyadari kakinya menginjak sesuatu. "Udah duduk sini dulu, sambil diobatin."

Namun, Kevin menahan tarikan Genta yang menyuruhnya untuk duduk di sofa dekat televisi. "Serius, Ta. Zanara kenapa?"

Genta menunjuk-nunjuk depan wajah Kevin. "Harusnya aku yang nanya, Bang, yang baru pulang dari Bangka, kan, aku. Pulang buru-buru karena kalian berdua terlibat kecelakaan LPG besar yang meledak." Genta menghembuskan napas penat sekaligus lega karena kondisi Abangnya tidak seburuk yang dia pikir. "Tapi, untunglah kondisinya Abang gak parah-parah banget kaya Zanara." Genta mendecakkan lidah. "Semoga aja dia cepet bangun, deh. Kasian orang-orang yang ditinggalin udah menampakkan gejala-gejala gila." Termasuk juga dirinya, Genta membatin.

Genta menjauh untuk mengambil kotak medis mungil milik mereka berdua yang terletak di bawah laci televisi. Kotak plastik transparan berada dalam dekapannya dan dia menjatuhkan bokong ke sofa lalu menyandarkan kepala. Tatapannya menutup dan tangannya menyuruh Kevin untuk duduk di sebelahnya. "Buruan Bang, sini diobatin. Cepet!"

"Dia di mana sekarang?" Kevin menghiraukan ucapan adiknya.

Genta menarik diri dari sandarannya, menatap Kevin yang belum juga bergerak. "Rumah sakit Wijaya Kusuma." Genta menahan napas sebelum melanjutkan ucapan lagi. "Jangan bilang kalo Abang mau ke sana."

Kevin melangkah cepat menuju pintu. Tangannya menyambar kunci motor yang menggeletak di lemari televisi. Tidak lagi dihiraukan teriakan Genta yang memanggilnya bahkan anak itu mencoba meraih tangannya, tetapi tidak berhasil. Kevin memasukkan kakinya yang masih tertusuk serpihan beling kecil ke dalam pantofel dan heran karena luka itu sudah tak terasa sakit, malah hatinya yang berubah nyeri.

# # #

Terikat Takdir (Kala Cinta Bertahan dalam Kenangan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang