CHAPTER 16

5 5 0
                                    

Juto diberikan kompres berisi batu es oleh Raras

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Juto diberikan kompres berisi batu es oleh Raras. Sambil duduk di meja makan dia menekan-nekan kompresan ke area sudut bibirnya yang luka. Sebenarnya itu tidak perlu, lagi pula tak ada yang akan memperhatikan Juto. Selama menjadi agen mesin waktu, baru sekarang harga dirinya seperti keset kotor di depan kamar mandi yang tak ada harganya, layu dan kusut di mata Kevin.

Sementara Kevin yang seolah tidak merasa bersalah masih mondar-mandir di samping jendela. Sesekali tatapannya bertabrakan dengan Raras. Wanita itu hanya diam mengumpulkan keberanian, jika dia bisa lari dari dua manusia aneh yang tiba-tiba mendatangi dapurnya, pasti akan dipilih jalan itu.

"Baiklah, Nak. Kevin benar, kalau kau tak berniat menyelamatkan aku atau membawaku ke masa depan. Mengapa kalian berdua kesini? Bukankah perjalanan kalian sangat jauh? Masa lalu adalah hal terjauh yang bisa seseorang gapai." Raras menemukan suaranya kembali setelah lama terdiam. Bagaimanapun juga, dua orang ini bertengkar akibat menyelamatkan dirinya atau mungkin anaknya. Alangkah tidak sopan jika dia terus membisu seperti oven kosong yang belum dibersihkan.

Juto meletakkan kompresan di meja, dia melipat tangan di atasnya sambil berdehem sebentar. Takut kalau pukulan lagi akan melayang ke rahang. "Aku ingin mengumpulkan kenangan untuk perempuan yang ada di rumah sakit jiwa itu."

Perkataan Juto membuat tengkuk Kevin menegang. Dia lupa tentang Zanara yang masih berada di ruang isolasi, bagaimana keadaannya sekarang? Namun, begitu diingatkan lagi, hati Kevin terenyuh tanda bersalah.

"Maksudmu, kenangan tentang aku?" Raras menanggapi dengan sopan, meski dari nada suaranya tak dapat dipastikan apakah terdengar seperti lelucon baginya.

"Yah, tentang kau. Berikanlah sebuah penyemangat hidup untuk anakmu kelak, jika kalian akan berpisah. Maksudku, kita sendiri yang melihatnya kalau anakmu tidak mampu mempertahankan kewarasannya saat kau menghilang."

Kevin berhenti mondar-mandir. Pikirannya bergelung dengan kemampuan untuk menyelamatkan Zanara. Saat sudah bertemu dengan Raras bahkan dia tidak mampu membawanya kembali ataupun mencegah kejadian naas itu terjadi. "Ide konyol. Percuma saja datang dari masa depan kalau hanya mengumpulkan kenangan," protes Kevin dari sudut dapur. Dia mengalami sendiri begitu kehilangan ibu, ayah bahkan Genta adiknya. Berulang kali pikiran untuk mengakhiri hidup melintas di kepala.

Juto menatapnya dari kursi. "Kutanya sekarang, apa yang akan terjadi padamu kalau perempuan gila itu berhasil melompat dari lantai 16 sendirian? Tanpa sempat kau tolong." Perkataan Juto menghantam telak ulu hati Kevin. Meski Juto tak sanggup melawan fisik, tetapi dia senang jika ucapannya mampu memberikan kilatan takut di mata lelaki itu.

"Bicara saja tanpa basa basi, aku masih dendam padamu." Kevin mengalihkan pandangan ke luar jendela. Tembok halaman belakang yang tingginya dua kali lipat dirinya bahkan setelah naik ke atas drum kosong.

Juto berdehem kuat, hingga membuat fokus Kevin kembali lagi padanya. "Aku tak tahu apa yang harus dibuat untuk menjadi kenangan terbaik. Tapi pertama-tama yang harus kita bertiga lakukan adalah menjauh dari sini." Juto berdiri sehingga kursi yang diduduki hampir terjungkal ke belakang. "Anakmu akan kembali ke rumah, sementara kita belum selesai menyelesaikan satu pun masalah."

"Apa kau mendengar sesuatu?" Kevin masih tegang dengan pemikirannya sendiri.

"Lebih dari apa yang kau tahu, Bung." Juto melangkah terburu-buru ke ambang pintu. Sementara Kevin membimbing Raras untuk mengikuti mereka. Awalnya wanita setengah abad itu menolak, tetapi Kevin berusaha meyakinkan kalau ini hanya membutuhkan waktu sebentar.

Mereka bertiga keluar dari gerbang. Berbelok ke kiri dengan Juto yang memimpin sementara Kevin menggandeng lengan atas Raras, berharap wanita itu tidak akan menghilang dari pandangan. Akibat langkah mereka yang terburu-buru membuat Kevin tidak tahu kemana Juto akan membimbing mereka, bahkan dari cara dia berjalan, terburu-buru tanpa menoleh ke arah lain membuat Kevin yakin jika sebelumnya pikiran untuk pindah dari rumah tadi adalah cara yang dia pikirkan sejak awal. Mereka terus berjalan hingga keluar dari komplek perumahan.

Memasuki sebuah bangunan tiga lantai yang tidak terpakai dan jauh dari jalan raya. Bahkan dinding luarnya saja belum dicat. Bangunan sekitar sini tiga tahun lalu adalah proyek mall yang mandek akibat pembiayaan gubernur daerah yang belum stabil. Meski pada tiga tahun kemudian, proyeknya dilanjutkan kembali dan berakhir sama. Juto melewati tempat yang diduga akan dipakai menjadi lobby utama, ada tangga yang menuju ke lantai atas. Diperkirakan gedung ini akan dibangun sampai lima lantai karena atap bangunan ketiga tidak ditutup secara maksimal.

Namun, Juto tidak membawa mereka naik, melainkan berbelok ke kanan gang, lalu berbelok lagi ke kiri dan sampailah mereka ke kamar seluas 3x4 meter persegi tertutup yang kelak difungsikan sebagai kantin atau ruko. Ada satu jendela yang tertutup oleh triplek. Satu bilik kecil di sudut kamar, ruangan sudah dicat kuning cerah, sementara lantainya berubin putih yang jika dilihat sekilas kamar ini cocok menjadi tempat perlindungan sementara waktu. Mereka harus mencari akal bagaimana jendela di sana bisa difungsikan dengan layak.

"Untuk sementara kita tinggal di sini." Juto berucap sembari menggelar satu karpet tebal dengan busa tipis, dari lemari di muka pintu. Bahkan Kevin tak menyadari lemari itu ada, karena serupa dengan dinding.

"Memang berapa lama kita akan sembunyi?" Kevin berucap sambil melihat Raras duduk di atas tikar dengan menyelonjorkan kedua kaki. Benar, dia pasti lelah berjalan jauh dan tentunya syok akibat apa yang baru saja terjadi. Juto mengambil alih tempat tak jauh dari sisi Raras. Mereka bertiga terkesan sedang melakukan petak umpet kepada suatu hal yang tak perlu.

"Sampai kita mengumpulkan kenangan untuk wanita itu." Juto berucap, menatap Kevin yang masih berdiri.

Hanya Kevin yang tak mengerti apa maksud dari lelaki berjaket parka. Kevin mendecakkan lidah. "Ayolah, apa benar kita tidak bisa membawanya pergi ke masa depan?"

"Kita sudah membahasnya." Juto menggertakkan geraham.

Kevin kehilangan kesabaran. "Apa kau gila? Bagaimana bisa aku meninggalkan Ibu di sini untuk menghadapi takdirnya sendiri?" Kevin merasakan ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan. Sesuatu yang tak bisa hilang meski dia menelan ludah beberapa kali.

Juto terdiam sebentar, begitu kedua mata mereka bertemu, Juto mulai menemukan suaranya lagi. "Lantas, apa kau juga tidak ingin menyelamatkan adikmu sendiri yang meninggal dua tahun dari sekarang?"

Kevin tersentak dengan perkataan Juto. Dia benar, bahkan Kevin terlalu fokus pada urusan Zanara dan Raras. Tidak, lebih tepatnya Kevin terlalu fokus pada kehidupan Zanara, pada betapa mungkin wanita itu menjalani sisa kehidupan dengan konyol tanpa cahaya di masa depan. Kevin berfokus mengembalikan cahaya itu pada Zanara bagaimanapun caranya. Bahkan kalau perlu memadamkan dirinya sendiri untuk ditukar dengan cahaya bagi kehidupan Zanara, pasti dia akan suka rela melakukan. Kevin terlupa dengan adiknya.

"Aku—"

Juto mendengus. "Ini konyol, Bung. Sebenarnya kita datang ke masa ini, hanya untuk menyelamatkan dirimu yang sudah kehilangan akal karena wanita gila itu." Juto benar. Sepengaruh itu kehadiran seseorang dalam kehidupan orang lain.

"Wanita gila itu punya nama! Dia anakku!" Raras menjerit pilu. Menyadari kalau sejak tadi dia diam memperhatikan dua orang aneh yang menyebut anaknya sendiri menjadi orang gila. Jika ingin berdebat sebaiknya jangan di depan seseorang yang membutuhkan banyak penjelasan seperti Raras.

Teriakkannya bahkan lebih menghajar Juto daripada pukulan keras di rahang. Membuat Juto sedikit menjauh sementara Kevin mendekati Raras dan mengelus punggungnya.


# # #

Terikat Takdir (Kala Cinta Bertahan dalam Kenangan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang