Kevin dan Juto keluar dari lift pada waktu yang sudah tepat yaitu mundur ke tiga hari lalu. Mereka mengunjungi rumah Raras, Kevin melihat apa yang Zanara lakukan dengan lelaki yang mirip dirinya tiga tahun lalu, siapa lagi kalau bukan Kevin sendiri. Membuat Kevin dengan sengaja menjatuhkan pot bunga yang digantung menjuntai lewat pagar samping rumah. Pot tanah liat ukuran kecil itu pecah berhamburan dan juga membuyarkan mereka berdua. Bagus! Pikir Kevin.
Juto menarik tangan lelaki berponi membelah dua itu, untuk menjauh. "Apa yang kau lakukan? Masa iri dengan diri sendiri?" bisik Juto berusaha mengamati sekeliling. Dibalas hentakkan tangan olehnya. Membuat Juto geleng-geleng kepala lalu mencari tempat persembunyian untuk mereka menjaga jarak aman, selama kondisi rumah masih ramai. Mereka perlu bicara berdua, lebih tepatnya hanya Kevin dan Raras, sementara Juto sebagai saksi jika lelaki itu membocorkan identitas mesin waktu.
Halaman belakang rumah Zanara dilindungi tembok setinggi dua kali lipat tinggi Kevin. Sementara bagian atasnya ditancapkan pecahan beling saling silang agar tidak ada yang menaiki. Kevin berhasil melihat ke balik tembok dengan menjejakkan kaki ke drum tong sampah tanpa tutup di pinggir gang. Sementara Juto mondar-mandir memastikan keamanan sekitar agar tidak ada yang melihat. Gang kecil yang tembus ke jalan raya di belakang rumah Zanara, memang terlihat tidak terlalu ramai seperti gang depan. Akan tetapi, berjaga-jaga adalah hal yang diperlukan. Kevin meringis ketika tumit pantofelnya malah jeblos ke dalam, pertahanannya runtuh padahal dia berhasil mengintai bayangan Raras yang rupanya sedang merapikan piring-piring dibantu Genta.
Kevin tak bisa menahan diri lalu jatuh berkelontang ke aspal. Membuatnya memegangi pinggang yang sakit. Juto segera sigap membantunya berdiri, tetapi Kevin malah menepis kasar. "Kau ini malaikat jenis apa sebenarnya? Kau tidak bisa menghilang, tembus pandang, bahkan menembus dinding juga tidak bisa," gerutu Kevin sambil bangkit sendiri.
"Memang aku ini apa? Dasar pecundang, memanjat dinding rendah begini saja tidak becus. Malah aku yang disalahkan," balas Juto memukulkan kedua telapaknya sendiri seperti mengibas debu.
Juto mengambil alih tong yang terguling lalu diberdirikannya lagi. Dia berhasil berjinjit di atas drum tanpa penutup itu. Baru saja hendak melongok ke dalam, Kevin dengan cekatan memukul betis Juto dan memberi isyarat agar turun. Kevin menarik Juto yang hendak protes ke dalam bayangan pohon mangga besar di seberang jalan. Sebelum Juto sempat menyela apa maksudnya, dua orang lelaki yang tadi dilihat berada di dalam rumah Zanara kini sudah tiba di belakang. Mereka jalan lurus sembari berbincang satu sama lain, tidak terdengar oleh Kevin. Pertanda rumah sudah kosong dan hanya diisi oleh Raras dan Zanara.
Sementara Kevin setengah mati mengingat dengan jelas tiga tahun lalu, sebenarnya apa yang dilakukan oleh dirinya dan sang adik begitu hari ulang tahun. Kevin sedikit kecewa karena dalam pikirannya tidak bisa mendapati apa pun yang bisa membantu. Namun, dia ingat dengan jelas apa yang tadi dilihatnya di teras, untuk pertama kali bagaimana mungkin dia bisa melupakan kejadian yang bisa membuatnya mati berdiri saking bahagia. Meski pada kejadian dulu tidak ada jeda oleh pot bunga yang pecah, membuat kedua pipi Kevin memanas untung saja mereka berada di tempat gelap.
"Ayo kita lewat pintu depan saja." Juto jalan mendahului.
Mereka perlahan menggeser gerbang hitam yang besinya saling renggang menyilang. Dengan cekatan menarik handel pintu utama yang jelas saja terkunci. "Kubilang juga apa. Gak mungkin bisa lewat depan!" bisik Kevin dengan tatapan menyilet Juto. Sementara Juto menyingkir ke gerbang memastikan kalau kondisi sekitar aman lalu masuk lagi ke arah Kevin. Memperhatikan lelaki itu dari ujung kaki ke kepala.
"Apa maksudnya?" Kevin merasakan gelenyar aneh di balik tatapan Juto.
"Kau adalah Kevin yang sama, hanya bedanya tiga tahun kemudian. Selebihnya kuperhatikan kalian mirip. Bagaimana jika kau berpura-pura menjadi Kevin di masa sekarang dan meyakinkan wanita itu keluar lalu menyuruhnya ke rumah Kevin yang satunya lagi?"
Betul juga, tetapi Kevin tidak menyadari ide barusan melintas dibenaknya. Kevin bergeser sebentar ke depan kaca jendela, memperhatikan pantulan dirinya yang kini tampak kucel dan berkeringat. Dia rapikan sedikit poni belah duanya menjadi poni miring kanan dengan sisiran tangan alami. Tampak tidak rapi, tetapi cukup meyakinkan kalau diri mereka serupa meski kemeja yang warnanya tak lagi sama. Semoga tidak ada yang menyadari.
Juto mengacungkan jempol tepat di depan wajahnya. "Nah, sudah mirip! Mari kita coba apakah ada yang bisa mengenalimu." Juto mengetuk pintu dengan kuat sebelum Kevin siap untuk menjawab, lalu bersembunyi di sisi rak yang dijatuhi bayangan. Jika dilihat sekilas tak tampak ada seseorang yang bersembunyi di sana.
Sebelum Kevin hendak protes, seseorang membuka pintu dan membuat punggungnya menegang.
"Ada apa? Katanya kalian mau pulang?" Zanara mematung di depan pintu, gelungan rambut yang tadi dilihat Kevin kini sudah hilang dan berganti dengan geraian rambut yang panjang dan rapi tersisir.
"Eh, ini, aku ... cuma mau bilang makasih ke Ibu." Kevin menjawab dengan gagap.
"Makasih lagi?"
"Iya, ada yang mau aku sampaikan lagi."
Zanara menggeser posisinya yang berdiri di pertengahan pintu yang terbuka separuh, lalu dibuka dengan lebar. "Udah masuk aja, Mama ada di dalam. Ngomong-ngomong terima kasihnya ke Mama doang, ke aku enggak?" Zanara menyadari kalau dirinya tidak terlibat dalam pembuatan masakan, setidaknya dia sudah berusaha untuk menghadirkan diri dalam acara ulang tahun temannya.
Kevin tertawa hambar, keringat dingin sudah menembus kerah bajunya. Justru dengan Zanara dia ingin berterima kasih untuk segala hal. Berterima kasih sudah bersedia membagi ibu, untuk kebersamaan selama beberapa tahun ke depan, untuk kemampuan dirinya bertahan di dalam guncangan kehidupan saat ditinggal ibu dan menghadapi kehilangan Genta dalam kehidupan Kevin. Rasa terima kasih yang begitu banyak sudah menguap menjadi udara lalu berkondensasi terkumpul menjadi buncahan rasa dalam aliran yang deras dalam dada.
Kevin yakin ada beberapa kata yang sepatutnya tak perlu diucapkan, begitu pula dengan rasa terima kasih dalam hatinya untuk Zanara. Kehadiran sosok masing-masing yang saling mengisi sudah lebih daripada cukup. Meski Kevin masih meringis pilu ketika mengingat lagi Zanara tiga tahun yang akan datang masih bergelung sendirian dalam ruang isolasi akibat percobaan bunuh dirinya yang gagal.
Dia berjanji dalam hati, setelah perbincangan dengan Raras dan menemukan solusi kenapa wanita itu menghilang maka Kevin akan segera kembali ke sisi Zanara di sana. Kevin berusaha mencari kebohongan lain agar Zanara bisa keluar rumah dan membiarkan dirinya berbincang sebentar dengan Raras.
"Genta bilang barusan kamu disuruh ke rumah, Ra."
"Ngapain? Tadi, kan, kita udah ketemu. Lagian tadi kamu bilang mau istirahat buat besok ngajar pagi, kan?" Sebelah mata Zanara memincing heran, dia melirik sekilas ke tangan kanan Kevin yang terulur di sisi tubuh. Padahal tadi tangan itu diangkatnya karena terasa sakit akibat memegang loyang dalam oven. Zanara mengulurkan tangan mengamit telapak Kevin, melihat telapak itu tak ada bekas memerah seperti beberapa saat lalu. Sebelum sempat bertanya, suara berdebam di balik rak membuyarkan pikirannya dan menuju ke suatu cabang gagasan, entah mengapa dia harus segera ke rumah Genta saat itu juga.
"Oke, aku ke rumahmu sekarang." Zanara keluar rumah dan menggeloyor pergi ke arah gerbang, menghilang di balik pengkolan.
Kevin berbalik segera pada Juto yang sudah berdiri mematung jauh di belakangnya. Pasti perubahan pikiran barusan adalah perbuatan lelaki itu. Kevin ingin bertanya, tetapi kakinya sudah melangkah ke dalam dan mencari keberadaan Raras di dapur.
# # #
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Takdir (Kala Cinta Bertahan dalam Kenangan)
FantasyApa yang akan terjadi pada dirimu jika melalui hidup tanpa ibu lagi? Berantakan, boros, makan tidak teratur, tak ada lagi tempat berkeluh-kesah, karena seperti itu juga yang dirasakan oleh Zanara Audi-si anak semata wayang manja yang bahkan tidak bi...