ALEIA 4

148 71 544
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Assalamu'alaikum wr.wb

Jejakmu semangatku.

━━☆━━☆━━☆━━☆━━☆━━☆━━

Tuhan, aku pikir bahagiaku sudah sempurna. Tapi ternyata kebahagian yang kurasakan kemarin terlalu instan untuk manusia yang memang kodratnya diberi ujian.“

___[𝕬 𝕷 𝕰 𝕴 𝕬]___

Hari sudah semakin gelap meskipun ini baru jam setengah empat sore. Ternyata hari ini hujan turun dengan lebat, sama seperti kemarin. Semerbak bau jalanan yang tadi kepanasan, kini menciptakan bau khas akibat disiram air hujan.

Saat ini Aleia tengah terduduk di teras halaman belakang sendirian. Ia berada di tempat ramai, tapi tetap saja hatinya terasa kesepian. Ia rindu dengan keluarganya. Ia merindukan Akhas dan Astra, kedua kakaknya yang selalu menghiburnya dengan candaan kala ia sedih. Bahkan mereka berdua tidak pernah membiarkan Leia sendirian.

Leia sudah mencoba untuk menghubungi nomor kakak dan orang tuanya, tetapi tetap nihil, tak ada jawaban. Nomor itu pun sepertinya juga sudah sengaja mereka matikan agar tak mendapat panggilan dari Leia.

Ia masih bertanya-tanya, jika memang ia bukan anak kandung mereka, kenapa tidak memberi tahu sejak awal. Atau setidaknya kenapa tidak memberi tahu siapa keluarga kandungnya.

Kalau begini caranya, bagaimana ia bisa bertahan. Ia yakin, Allah pasti membantu. Tapi ia tidak yakin bahwa dirinya bisa bertahan hingga akhir.

"Tuhan, aku pikir bahagiaku sudah sempurna. Tapi ternyata kebahagian yang kurasakan kemarin terlalu instan untuk manusia yang memang kodratnya diberi ujian," lirihnya yang terdengar amat pilu.

"Ya Allah, jika memang aku masih punya keluarga... tolong secepatnya pertemukan aku dengan mereka."

Di lain sisi, di luar rumah besar itu, tampaklah sebuah mobil putih, sepertinya itu adalah taksi online yang hendak mengantar pelanggannya. Tapi mengapa berhenti di depan gerbang rumah Lhion?

Dua satpam yang tengah berjaga di pos mereka pun lantas bertanya-tanya sambil saling menatap satu sama lain.

"Siapa, tuh?" tanya satpam yang masih berusia kepala tiga.

"Lha mboh, aku gak eruh, Mas," jawab satpam satunya yang sudah paruh baya.

Translate : "Lha nggak ngerti, aku gak tau, Mas."

Dilihatnya mereka, seorang pria dewasa bertubuh atletis dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya, sambil membawa koper. Pria itu terlihat seperti orang asing. Bukan seperti orang pribumi.

"Waduh! Itu Tuan Evan, Pak," ujar satpam muda.

"Evan siapa, toh?"

Dia, Lakaran Mulia (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang