PROLOG

710 77 105
                                    

Welcome to first story!

Pernah publish, namun memilih merombak semua alur cerita!

Tenang dan santai, okey? Don't judge me;)

Happy reading

🦋
🦋


PROLOG (Awalan)

Aku akan menemui mu. Aku tahu untuk menyebrang ke dunia yang kau diami butuh pengorbanan dan keputusasaan. Tapi aku akan dan harus menemui mu. Jangan tanyakan mengapa, meski harus merelakan nyawa itu tak masalah. Perasaanku bilang begitu.

—Tekadku, Melvin Raffa Pradipta.

•••

Melvin, mungkin ini akan menjadi surat pertama dan terakhir dariku. Jaga diri kamu baik-baik. Terimakasih karena telah menjadi cahayaku selama ini. Aku percaya tuhan itu ada–karena telah memberiku malaikat terbaiknya, kamu.

Ketahuilah, aku sudah menyiapkan mental untuk hari ini. Meski suatu saat nanti aku pergi, tapi percayalah aku tidak pernah benar-benar pergi. Aku akan ada di jendela yang kau tatap, di antara rak buku, sofa ruang tamu, langit mendung sore, atau saat kau duduk di beranda rumah. Aku menyayangimu, Melvin. Lebih dari menyayangi diriku sendiri.

Lanjutkan hidupmu dengan penuh syukur.

—Penuh cinta, Aluna.

•••

Tak kala matahari hampir tiba di peraduan, kedua mata elang itu memandang langit. Angin berdesir membelai rambut, membentuk nyanyian surgawi di telinga.

Melvin mengingat baik-baik wajah cinta sejatinya. Ia sama sekali tidak mengutuk kepergian Luna. Ia justru mensyukuri pertemuan mereka, yang meski tidak lama, namun mampu mengubahnya menjadi manusia yang lebih baik.

Melvin tersenyum. Di pandanginya senja yang menguning di ujung kota. Terduduk di beranda rumah dengan secangkir teh di sore hari.

Kau benar. Aku bisa merasakanmu. Kau tidak pernah benar-benar pergi, Aluna.

Mata hijau hazel nya melihat pada awan sore yang kini mulai berubah warna.

"Kau benar, kau selalu benar." Senyuman terbit dibibir tebal itu. Bisikan pelan hanyut dalam kesedihan. Bahkan, senja seolah tahu akan perasaan Pria itu. Bagaimana tidak, dia menyahut dengan semilir angin yang melegakan. Seolah mendekap tubuh yang rindu akan pelukan seseorang.

Berkali-kali ia menghela napas cukup panjang. Berusaha memantapkan hati.

"Untuk diriku yang telah menyatu dalam keterdiaman yang kian membisu, ku harap raga ini menerima dengan lapang dan ikhlas. Apa yang sudah menjadi garis tidak bisa dibelokkan, begitupun dengan kepergianmu."

"Beristirahatlah dengan tenang. Hiduplah dalam kenang, wahai sumber kebahagiaan." Air mata lepas dari mata hazel itu.

-Melvin-

Luna Dengan Segala Lukanya (On-Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang