02. Gadis Hutan

7 3 0
                                    

10 Tahun kemudian

Seorang gadis nampak berjalan sambil menendang kecil batu-batuan disekitarnya.
Ia terus berjalan mengekori dua pria didepannya dengan wajah manyun.

"Ah, sudah kubilang jangan menangkap burung itu," Omel gadis itu.

Ia terus menggerutu di sepanjang jalan menyusuri Hutan belantara.

"Kau bisa diam? Sedari tadi kau terus menggerutu. Kau membuat telingaku sakit." Protes Seorang pria dengan pakaian Yang nampaknya terbuat dari Kulit hewan, dan memegang sebuah bambu runcing di tangannya.

"Jiran, Jangan menyuruhku diam. Asal kau tahu andai saja kau tidak sibuk menangkap burung itu mungkin saja sekarang kita sudah pulang dengan seekor Rusa." Sepanjang jalan gadis itu tak berhenti berbicara, mengomel, dan memarahi kebodohan pria itu.

"Diam," Pria bernama Jiran dan pria lainnya itu menghentikan langkahnya.

"Sudah kubilang, jangan menyuruh—" Dengan sigap pria lainnya membekap mulut gadis itu, menariknya untuk bersembunyi dan memberi isyarat untuk diam dan tenang.

Gadis itu mengangkat kepalanya berharap melihat siapa orang-orang itu, namun dengan sigap pria itu langsung menekan kepalanya agar menunduk.

"Bisa tidak disaat seperti ini kau waras sedikit." Ucapan Jiran membuat sang gadis memicingkan matanya dan memandang sinis pria itu dengan penuh emosi.

Gadis itu kembali fokus dengan para prajurit berkuda itu.

"Mereka siapa?" Bisik gadis itu bertanya.

"Kau saja tidak tahu apalagi aku." Bisik Jiran balik dengan kesal.

Mata gadis itu melotot saat melihat sebuah besi yang tak terlalu panjang yang dibawa oleh salah seorang prajurit.

"Itu," Gadis itu menunjuk kearah besi itu.

"Kenapa, kau tahu itu apa?" Tanya pria Lainnya yang bernama Gao dengan nada pelan, dan dibalas anggukan oleh gadis itu.

"Pedang." Jawab gadis itu dengan mata yang masih terpaku pada benda itu.

Sesaat setelah pasukan itu melewati tempat mereka bersembunyi, Lantas gadis itu berlari memutar arah, meninggalkan kedua pria itu yang berusaha berlari mengejarnya.

Mereka berlari hingga sampai di suatu dataran dimana banyak rumah didirikan disana.

"Kau gila?! Kenapa kau berlari meninggalkan Kami?" Cerca Jiran itu, namun tak diindahkan oleh si gadis.

"Taemara, darimana saja kau?" Tanya seorang Pria paruh baya.

"Ayah, aku melihat pedang." Jawab Taemara dengan antusias.

Sang ayah—Boha yang mendengar hal itu pun lantas berbalik menatap pria yang berdiri disamping Taemara.

"Apa itu benar, Gao?" Tanya Boha pada pria bernama Gao itu, dan Gao mengiyakannya.

"Aku juga melihatnya," Jawab Jiran spontan.

Taemara menggenggam tangan ayahnya itu, "Ayah, ayo siapkan pasukan. Mereka pasti akan menyerang kita,"

"Apakah mereka membawa sebuah bendera?" Tanya Boha.

Taemara lantas melepaskan tangan ayahnya dan menatapnya bingung.

"Bagaimana ayah tahu?"

"Apakah bendera mereka berlambang Kuda dan pedang?" Taemara lantas mengangguk dengan wajah bingung. Begitu pula dengan Jiran.

"Thalnian," Monolog Boha.

"Ayah Boha, pasukan Thalnian disini." Lapor salah seorang anggota suku.

Boha Lantas berdiri dan berjalan meninggalkan putri semata wayangnya yang masih bingung.

Ia berjalan memasuki tenda, tempat dimana ia biasa menerima tamu suku lain.

"Ah, tak kusangka kalian sebegitu gigihnya. 10 Tahun yang lalu, kalian datang dan menawarkan banyak hal kepada kami namun tetap kami tolak. Sekarang apa lagi yang ingin kalian tawarkan?" Tanya boha sembari mengorek upilnya.

"Kali ini tak banyak yang kami tawarkan. Kami menawarkan perdamaian." Ujar Jenderal Youngjae—Seorang Jenderal Thalnian yang diutus untuk melakukan negosiasi.

Boha tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Bahkan gelak tawanya dapat didengar hingga keluar tenda.

"Perdamaian? Kami suku mori telah hidup damai selama ini. Tak ada manusia yang berani berperang dengan kami." Ujar Boha dengan nada yang terkesan arogan dan sombong.

"Raja Gara menyampaikan, bahwa ia sanggup memberi apa saja yang kalian inginkan, asalkan kalian mau bergabung menjadi warga kerajaan Thalnia," Jelas Jenderal Youngjae.

Jenderal Youngjae menyerahkan petisi yang dibawakannya, "Peradaban Thalnian semakin maju, bukankah lebih baik jika—"

"Lebih baik?" Boha tertawa, ia menatap satu persatu prajurit yang ikut serta dalam diskusi itu.

"Kalian merasa bahwa itu semua baik? Membunuh yang lemah, dan menguasai miliknya itu hal yang baik?" Cerca Boha, para prajurit Thalnian terdiam.

"Kalian seperti binatang yang saling membunuh satu sama lain, untuk mendapatkan makanan, bedanya kalian saling membunuh untuk mendapatkan kekuasaan." Lanjutnya.

"Kami mungkin tidak mengenal peradaban maju, tapi setidaknya kami tahu bahwa didikan kalian berbeda jauh dengan yang kami pelajari dan ajarkan disini."

"Jangan berpikir untuk melawan kami. Kalian mungkin punya pedang, tapi kami punya naluri bertarung yang lebih baik daripada manusia manapun." Sambungnya.

"Jawabanku masih sama seperti satu dekade yang lalu, Pulanglah." Ujar Boha.

Jenderal Youngjae bangkit dari duduknya dan menatap sengit pada Boha.

"Apa dikata, semua yang kau katakan itu memanglah Fakta. Kalian ras terkuat sejauh ini. Ingatlah kata-kataku ini, terkadang yang kuat akan kalah dengan yang lebih licik." Itulah kata-kata terakhir Jendera Youngjae sebelum akhirnya dia meninggalkan dataran miruhon dan kembali ke kerajaan Thalnian.

Benar kata Youngjae. Suku mori mungkin memiliki naluri yang kuat saat berperang, namun Bangsa manusia peradaban juga memiliki sebuah naluri yang dinamakan naluri bertahan hidup.

Manusia akan melakukan apa saja agar memastikan dirinya tetap aman dan hidup tenang. Bahkan manusia tak segan untuk saling membunuh, dan melakukan segala hal untuk bertahan hidup.

Pasukan Thalnian pulang dengan tangan kosong untuk yang kedua kalinya, begitu tiba di Kerajaan Youngjae langsung menghadap Raja membawa kabar ini.

Raja sebenarnya sudah menduga akan hal ini, tapi mereka harus menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suku mori.

Mungkin banyak orang akan bertanya, mengapa Thalnian sebegitu inginnya suku mori bergabung dengan mereka.

Jawabannya adalah karna mereka memerlukan kekuatan Suku mori. Saat ini kerajaan Tang yang merupakan kerajaan terbesar dan terkuat berusaha menginvasi wilayah Kerajaan Thalnian.

Perang akan segera pecah, dan untuk membawa kemenangan dalam perang ini, mereka membutuhkan Suku Mori di medan perang.


𓃗See you on Chapter 3𓃗
»»————>

****




Biar aku jelasin Disini, biar di Chapter berikutnya ga pada bingung okeh

Jadi di Zaman itu tuh para manusia ngitung bulan dari bulan purnama.

Jadi kan setiap bulan itu ada bulan purnama kan, nah mereka ngitungnya gitu.

Contoh ;
1 bulan purnama = 1 Bulan
2 bulan purnama = 2 bulan
Dan seterusnya....

Aku yakin kalian pasti ngerti, tapi kujelasin aja biar kalo yang gapaham bisa paham  :D

Chronicles of ThalnianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang