07

241 67 1
                                    

Kenzie melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke dalam kamar mandi. Ia menanggalkan seragam sekolahnya yang basah usai di guyur hujan, dan digantikan dengan handuk putih yang melilit area perut ke bawah hingga lututnya.

Kenzie bergidik kedinginan saat pancuran air mulai membasahi tubuhnya. Ia merasa pusing sebab habis saja kehujanan.

Tadi saat mereka hendak pulang dengan mengendarai motor masing-masing, perasaan yang di takutkan oleh Alvaro ternyata benar terjadi. Belum sempat mesin motor dinyalakan, tetes demi tetes curah air hujan mulai berjatuhan. Tak lama kemudian di susul dengan petir kecil namun mampu membuat mereka berlima terlonjak kaget.

Semakin di tunggu, hujan semakin lebat tiap detiknya. Tetapi, mereka tetap bertekad untuk pulang sebelum hari semakin gelap. Tidak peduli dengan jalanan yang licin, lima lelaki itu ngebut-ngebutan agar bisa pulang dengan cepat ke rumah masing-masing.
Kenzie selesai mandi, ia lalu mengenakan bathrobe dan keluar dari kamar mandi lalu berjalan menuju lemari pakaian, mengambil sebuah piyama lengan panjang  berwarna putih namun tidak tembus pandang, untuk sedikit menutupi lengannya agar tidak terlalu dingin. Setelah itu, ia berjalan menuju dapur, membuat secangkir teh hangat, ingin menghangatkan tubuhnya. Kenzie membawa teh hangat dengan sepiring kecil biskuit menuju kamarnya.

"Dingin banget. Biasanya ada pelawak di grup yang mencairkan suasana. Tapi sekarang pelawaknya udah pensiun." Kenzie berbicara pada dirinya sendiri sembari duduk di meja belajar dan menyeruput teh nya lalu mengecek ponsel.


****


Di sisi lain, Daren sedang sibuk mengetikkan sesuatu di laptop nya. Sepuluh jarinya bergerak dengan lincah pada keyboard. Pikirannya berkecamuk, menuliskan kata demi kata di layar laptop.

Cerita bergenre thriller yang sering aku tonton memang nyata adanya. Aku paling takut dengan karakter yang awalnya baik, namun pada akhirnya ialah dalang dari semua kisah berdarah. Satu persatu dari kami di ambil nyawanya, seolah kami memang tidak ditakdirkan untuk menua bersama seperti kepompong yang akan menjadi kupu-kupu indah.

Berhati-hatilah, karena pelakunya bisa saja orang yang tidak kau kenal, atau mungkin mereka adalah orang terdekatmu yang menyamar agar tidak dapat di kenal.

Daren menghela nafas. Ia mematikan laptop dan menutupnya, lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dan menggunakan kedua tangannya sebagai bantal. Daren menutup almond eyes yang dimilikinya, pikirannya melayang mengingat hal janggal saat ditemukannya dua raga yang sudah tidak bernyawa dalam jangka waktu yang berdekatan. Perasaannya menjadi campur aduk hingga Daren membuka mata dan kembali duduk seperti sedia kala.

Daren meremas ujung hidungnya yang bulat ketika ia tiba-tiba merasa pusing. Dirinya pun dengan perlahan membuka mata dan menampilkan iris cokelat. Ia langsung bangkit dan berjalan menuju tempat tidur lalu menghempaskan tubuhnya di sana sambil menatap langit-langit kamar, mulai berfikir.

"Narel di klaim sebagai korban pembunuhan karna ada luka tusukan tepat di jantung sama perutnya dan nggak ada lagi yang bawa pisau selain Kenzie. Kejanggalannya, ada kerang yang berceceran di samping tubuh Narel dan sebelum Narel pergi ke kamar mandi, Renan sama Kenzie pergi nyari kerang. Kalau Rafka, dia jatuh di tangga.

Menurut kesaksian Alvaro, di belakang leher Rafka ada memar bekas pukulan. Makanya di klaim sebagai korban pembunuhan juga. Anehnya, kalau kami lagi bahas tentang kematian Narel sama Rafka, kenapa Kenzie sama Renan selalu diem? Makin kesini Alvaro ada benarnya. Gimana nggak menaruh perasaan curiga kalau mereka berdua jarang berkutik kayak gini? Bukan jarang, tapi jarang banget." Daren bermonolog panjang lebar, mengetukkan jari telunjuknya ke dahinya, seolah berfikir kritis.

"Tapi bentar, jangan ngambil keputusan terlalu cepat, ini sama aja gue gegabah dan nuduh sahabat gue sendiri. Buat apa coba Kenzie sama Renan ngelakuin hal itu? Kayak nggak ada kerjaan aja. Watak Renan dan Kenzie yang pelawak  juga nggak meyakinkan kalau mereka pembunuhnya. " sambungnya yang diakhiri dengan tertawa kecil sembari menepuk dahinya pelan.

Daren akhirnya menyesuaikan posisi tubuhnya agar dapat berbaring lebih nyaman. Mau tak mau pikirannya terus menerus berpacu pada banyaknya skenario saat ini. Daren menutup matanya, tak lupa membaca doa terlebih dahulu sebelum pada akhirnya terlelap karena mendengar suara rintikan hujan di luar rumahnya sana yang sedikit menenangkan pikirannya yang bingung tak karuan.

Awalnya tidur Daren sangat lelap. Hingga tibalah pada pukul 12.45 kemudian tidurnya tiba-tiba menjadi gelisah, sampai-sampai membuat Daren terbangun dari alam mimpi buruknya dalam keadaan keringat dingin yang membasahi sekujur tubuhnya.
Daren terengah-engah dan dia menarik nafas lalu menghembuskan nya secara perlahan. Hujan di luar sudah reda, hanya ada hembusan angin dingin yang masuk dari celah ventilasi udara di kamarnya.

"Kenapa bisa gue mimpi ada sosok yang memakai jaket hitam, ya? Mana jaketnya persis banget kayak punya Narel lagi. Jangan-jangan, gue dihantui?" Daren dengan cepat menggeleng-gelengkan kepalanya guna untuk menghapus pikiran buruknya mengenai mimpi tersebut.

Ia bermimpi dirinya sedang berlari di sebuah hutan rimbun pepohonan yang terletak di belakang Rumah Kita. Saat itu posisinya malam hari. Daren sesekali menolehkan pandangannya ke belakang guna memastikan apakah sosok berjaket hitam itu masih mengejarnya. Usai berlari tanpa ada arah tujuan yang pasti, Daren berhenti dengan badan membungkuk dan tangan yang bertumpu pada kedua lutut. Daren menghela nafas beberapa kali hingga ia merasa nafasnya sudah mulai kondusif.
Pada saat Daren menegakkan tubuhnya untuk kembali berlari, Daren terkejut karena merasakan ada sebelah tangan yang tiba-tiba menepuk bahunya dari belakang. Dengan nafas yang kembali memburu akibat diliputi rasa takut, Daren perlahan-lahan merotasikan tubuhnya menjadi 180 derajat.

Ketika mengangkat kepala, Daren begitu ketakutan kala melihat bahwa pria berjaket hitam tersebut sudah berada di depannya. Lelaki itu mundur dengan langkahnya yang gontai, perasaannya semakin tak karuan ketika pria tersebut mengangkat tangan kanannya yang memegang sebuah pisau dan melayangkannya menuju dada Daren. Namun syukurlah pada saat itu Daren dapat terbangun dari mimpinya sebelum pisau itu beranr-benar ditancapkan ke dadanya.

"Nggak, nggak mungkin Narel dateng ke mimpi gue. Tapi gue jadi keinget sama cerita Rafka. Dia di teror sama laki-laki berjaket hitam milik Narel. Ya, kami emang deket sama Narel, tapi nggak sedekat Kenzie sama Renan ke Narel. Mereka deket banget bahkan udah kayak tiga anak kembar yang selalu nempel kemana-mana. Mungkin mereka emang pembunuh nya?" Daren bertanya-tanya sambil duduk dan kaki yang selonjoran di atas tempat tidur dengan selimut yang menutupi dari ujung kaki hingga pinggangnya.

Daren mengusap wajahnya dengan kasar, jelas frustasi dengan keadaan saat ini. "Kalau bukan Kenzie sama Renan, terus pelakunya berarti siapa? Atau mungkin... gue sendiri?" ucapnya dengan bibir sebelah terangkat, menunjukan sebuah senyuman miring.

Setelah sadar dengan apa yang ia ucapkan, Daren langsung berdeham dan memukul pelan bibirnya, lalu kembali berbaring, menarik selimut agar menutupi sisa tubuhnya yang masih terbuka.

"Mana mungkin gue jadi pembunuhnya. Nggak ada alasan yang tepat kalau gue pembunuh mereka berdua yang jelas-jelas sahabat gue sendiri. Tapi, bisa jadi bukan gue, melainkan orang yang gue suruh? Eh.." Daren berujar pelan lalu menutup matanya kembali, ingin melanjutkan tidurnya setelah panik karena mendapatkan pria berjaket hitam yang datang ke dalam mimpinya. Akhirnya Daren dapat tidur nyenyak hingga malam pun mulai berganti pagi dengan matahari yang terbit dari timur.

RUMAH TUJUH ENAM [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang