Aku melihat pantulan diriku di depan cermin. Jaket tebalku membalut tubuh mungilku dengan sempurna. Jujur saja, aku merasa kepanasan. Bagaimana tidak? Aku mengenakan jaket super duper tebal saat musim panas. Apa kata teman-temanku nanti? Andrew Maxwell, the most FASHIONABLE guy in Martin High School salah kostum?
Hell, NO.
Kalau tidak karena sepasang sayap sialan yang muncul secara tiba-tiba dan misterius ini kemarin malam, aku tidak akan melakukan ini. Aku bisa dehidrasi kalau begini. "Andrew, sweetheart! Bismu sudah datang!" teriak Ibuku dari bawah. Aku pun segera mengambil tas ranselku, dan turun ke bawah...
"See you, Mom!" Aku mencium pipi Ibuku, lalu berlari keluar dari rumah menuju bis sekolahku yang sudah terparkir di depan rumahku. Tak kupedulikan tatapan aneh Ibuku ketika beliau melihatku menggunakan jaket tebal ini.
*
"Hey, Matt!"
Aku menepuk bahu seorang pemuda berambut pirang kotor yang sedang duduk di kursi taman sambil membaca sebuah buku tebal. Pemuda itu adalah sahabatku sejak kecil, Matthew Collins. Ia tersentak kaget, lalu menoleh. "Oh, hey, Maxwell."
Lalu, ia melihatku dari atas ke bawah, setelah itu ia tertawa lepas. "Are you okay? It's summer, boy!" katanya. "Oh, shut up Matthew James Collins." Aku memutar mataku karena jengkel. Aku sangat ingin menonjok mukanya saat ini. Apakah dia tidak mengetahui penderitaan sahabatnya ini? Uh, oke. Stop. Aku terlalu dramatis.
"Okay, okay. Seriously, Andrew, are you okay?" Sekarang raut wajahnya menjadi serius. Aku terdiam sejenak, berpikir. Harus kujawab apa? "Andrew? Kau baik-baik saja?" Ia melambaikan tangannya di depan mukaku. Aku tersentak kaget. "Uh, oh. I'm... fine, I guess?"
Aku kembali berpikir. Apa sebaiknya kutunjukkan saja sayap misteriusku ini kepadanya? Toh, aku juga perlu memberitahu seseorang tentang sayap sialan ini. Tidak mungkin kupendam sendiri rahasia ini. Lagi pula, Matthew adalah sahabatku. Dia dapat menjaga rahasia dengan baik. Kurasa... ia orang yang tepat. Jadi... kuberitahu atau tidak ya?
Ya. Tidak. Ya. Tidak.
Sial! Aku harus memberitahunya. Aku bisa gila kalau begini.
"We need to talk." Aku menarik pergelangan tangannya, dan mengajaknya ke sebuah tempat yang sangat, sangat sepi. "Kenapa kita ke sini?" tanya Matthew dengan nada bingung. Aku pun melihat ke sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain selain kami berdua di sini.
"Hey, Andrew Maxwell! Ada apa?" Ia menepuk bahuku. Aku pun menoleh, dan menatapnya sejenak. Lalu, kubuka jaket serta sweater yang kukenakan sehingga aku bertelanjang dada di hadapannya.
"Eh, apa yang kau—" Kalimatnya terpotong ketika ia melihat sayap putihku muncul dari balik punggungku, dan membentang bebas. "I have wings, Matt." Kutunggu respon darinya. Tetapi, ia malah menatapku dengan tatapan datar.
"Lalu?"
Apa? Setelah ia melihat sayapku, ia hanya mengatakan itu? Yang benar saja! "Kau tidak terkejut?" tanyaku. Ia tertawa dengan keras lalu menggeleng. Aku mengernyitkan dahiku. Dia waras atau tidak sih?, batinku.
"Kau memang punya sayap. Lalu...?" Ia bersedekap sambil menatapku dengan tatapan datar. Aku menaikkan alisku sebelah. "Jadi, kau tidak terkejut?" Ia menggeleng, dan raut wajahnya lebih serius. Lebih serius dari biasanya. "Finally, you found your true self. You're a demi-angel, Drew," kata Matthew. Aku mengernyitkan dahiku. "Demi-angel? Apa itu? Sejenis... demigod?" tebakku. Ia menggeleng.
"Bukan. Demi-angel adalah manusia yang memiliki sayap seperti malaikat. Mereka akan dilatih untuk menjadi seorang malaikat pelindung, menjauhkan manusia dari dosa. Hanya orang pilihan saja yang dapat menjadi seorang demi-angel. Kau telah ditakdirkan menjadi seorang demi-angel sejak hari dimana kau dilahirkan oleh Ibumu. Setiap demi-angel akan memiliki sayapnya saat usianya beranjak lima belas tahun," jelas Matthew panjang lebar.
Apa? Aku... seorang malaikat? Tidak mungkin! "Kau bercanda kan, Matt?" Ia menggeleng. Aku terkekeh, lalu berkata, "Aku tidak mau menjadi malaikat." Ia menatapku dengan tajam. "Tidak bisa. You have been chosen. Kamu harus menerima takdirmu sebagai demi-angel, Drew."
"Bagaimana... bagaimana kau bisa tahu semua ini? Siapa kau sebenarnya!?" tanyaku dengan suara yang agak meninggi. Aku melangkah satu langkah ke belakang.
"I'm an archangel, Drew." Matthew tersenyum. "And your guide too."
Archangel? Matthew... seorang archangel? Oke, akan kujelaskan apa itu archangel jika kalian belum tahu. Archangel adalah malaikat-malaikat dengan derajat paling tinggi —dari antara malaikat lainnya; yang berdiri di depan tahta Tuhan. Jumlah mereka ada tujuh.
Dan, sahabatku, Matthew, bukanlah seorang malaikat. Ia hanya seorang pemuda yang lucu dan konyol, yang telah berteman denganku selama enam tahun lamanya. "Kau serius?" Aku pun mulai ketakutan.
"Ya. Aku bukan Matthew Collins yang kau kenal. Aku adalah Uriel, salah satu dari tujuh malaikat yang berdiri di depan tahta Tuhan." Lalu, dari punggungnya, muncullah sepasang sayap berwarna putih kebiruan yang sangat indah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Wings
FantasyPilihannya telah membuat dirinya bukan lagi manusia fana, Ia telah menjadi malaikat sejati. Sayapnya tidak lagi berwarna putih, melainkan... Berwarna emas.