I

2.6K 207 5
                                    

Hari yang biasanya cerah dengan sinar matahari yang menggantung di langit, malah tertutupi awan kelabu dengan suara menggelegar dari petir dan angin kencang.

"Duh padahal kan gue pengen ke toko buku, ini mah gak bakal bisa gue keluar. Ujannya aja deres gini!"

Seorang pemuda menggerutu kesal, gagal sudah me time di toko buku. Dengan hati dongkolnya pemuda itu duduk di ranjangnya dan mulai sibuk memainkan ponselnya.

Saat asik membuka aplikasi membaca, pemuda itu menemukan novel yang judulnya sangat cringe.

"Ngasih judul yang bener-bener aja sih, 'all the boys just love me' apa coba jijik banget gue liatnya"

Pemuda itu berbicara dengan nada tak suka, tapi bukannya dibiarkan ia malah memilih membaca novel itu.

Sudah berjam-jam ia membaca novel itu, berbagai ekspresi ia lihatkan. Sampai akhirnya ia menyelesaikan novel itu, raut wajah tak puas tercetak jelas di wajahnya.

"Apaan coba novel gak jelas gitu banyak yang baca, plot gak jelas, karakter utama juga gak jelas, ancur dah ini novel"

Pemuda itu terus berbicara dengan jengkel, ia mengetik begitu panjang hanya untuk di kirimkan ke penulis. Memang benar akunnya sering jadi langganan di block oleh para penulis yang tak suka dikritik.

Akun pemuda ini sering dihindari para penulis baru, karena ketikanya yang kadang nyakitin hati tapi nyatanya fakta. Terkadang kritikannya ini di jadikan acuan bagi para penulis agar menulis cerita yang lebih baik, ia sering di panggil dengan sebutan master karena mampu mengoreksi novel dengan akurat.

Jadi tak heran pengikutnya di aplikasi membaca ini seperti ia sudah membuat jutaan cerita, nyatanya ia tak pernah menulis cerita. Kerjaannya di aplikasi ini selain membaca yah untuk mengkritik novel.

Pemuda itu menghela nafas kesal, ia melirik ke luar jendela yang masih hujan lebat. Astaga padahal ia sudah semangat untuk ke toko buku, malah batal karena hujan.

"Duh laper lagi, mesen makanan apa masak?. Mesen aja deh lagi mager gue"

Pemuda itu dengan cepat memesan nasi goreng dengan jus buah mangga, selang beberapa menit sebuah ketukan dari luar terdengar.

Pemuda itu membukanya lalu membayar pengantar makanan itu, tak lupa memberi Tip karena sudah mengantar dengan baik di hujan yang deras.

"Emang best dah nasgor mang asep!"

Pemuda itu berseru gembira sambil memakan nasi goreng dan sesekali menyesap jus mangganya, tak butuh waktu lama nasi goreng dan jus mangga sudah habis.

Pemuda itu memilih untuk duduk di sofa, menyenderkan bahunya dan kembali sibuk dengan ponselnya.

"Duh kok badan gue gatel-gatel sih?"

Ia berujar sambil sibuk menggaruk sana sini, rasa gatal terus menyebar dan kini rasa sesak menyerangnya. Ia dengan panik berlari ke kamarnya, mengacak-ngacak lemari mencari sesuatu. Sebuah botol kecil ia ambil, kini ia bertambah panik kala obat di dalam botol itu sudah habis.

"Sial gue lupa buat beli, bajingan kenapa kambuh tiba-tiba biasanya juga kambuh gara-gara makan udang atau ikan. Kan tadi gue cuma makan nasi goreng!"

Pemuda itu berteriak kesal sambil memegang dadanya, sungguh ini menyakitkan. Sungguh sial kenapa dirinya bisa seperti ini, pemuda itu dengan pasrah memilih menidurkan dirinya.

Tubuhnya dihantam abis-abisan oleh rasa sakit yang menyiksanya, inilah yang tak ia suka. Pemuda itu begitu membenci rasa sakit, karena ia adalah orang yang penyakitan. Salah makan atau bahkan berlebihan dalam melakukan aktivitas ia bisa sakit, tubuhnya lemah itu mengapa ia tak sering melakukan aktivitas yang berat.

"Gini amat punya tubuh, sakit banget gue gak kuat. Nih kayaknya gue beneran bakal mati"

Pemuda itu bergumam dengan mata yang sudah dipenuhi air mata, bohong jika ia mengatakan tak takut akan kematian. Ia takut, sangat takut. Pemuda itu menutup matanya perlahan dengan pegangan yang erat di dadanya, paru-parunya seperti di remukkan dan seluruh badannya gatal seperti jutaan semut telah menggigitnya.

Pada akhirnya pemuda itu terlelap dengan ekpresi kesakitan, padahal dia punya harapan untuk mati dengan aesthetic.

Cahaya masuk perlahan, hangat hanya itu yang bisa ia rasakan.

"Halo Angga!, apa kamu sudah bangun?"

Suara lembut seseorang membuat pemuda yang tadinya menutup mata kini sadar sepenuhnya, ia melihat sekitar dengan waspada. Dimana dia? Mengapa hanya putih dengan seorang pemuda yang memiliki wajah unreal baginya.

"Di mana?"

Kini pemuda itu bersuara dengan bingung, pasalnya yang ia ingat bahwa ia sekarat akibat obatnya abis. Mau beli pun sedang hujan lebat serta angin kencang, jadi bisa disimpulkan bahwa ia sudah mati. Lalu di mana sekarang ia berada?.

"Alam bawah sadar tentu!, kau Angga bukan?"

Lagi pemuda dengan suara lembut itu berucap sambil tersenyum.

"Lo tahu nama gue?, siapa lo?"

Angga bertanya dengan was-was, memang benar ia tak mengenali pemuda di depannya. Apalagi wajah pemuda itu terlihat tidak nyata, maksudnya di dunia nyata tak ada wajah seperti itu.

"Aku Alio, bia dipanggil Al atau Lio. Itu terserah kamu ingin memanggilku seperti apa"

Alio menjawab, ia sesekali terkekeh melihat wajah bingun Angga.

Angga mencerna semua yang diucapkan Alio, ia yang berada di alam bawah sadar dan pemuda didepannya bernama Alio.

"Lo Alio?, kok nama lo mirip karakter novel yang gue baca tadi?"

Angga lagi-lagi bertanya, ia masih sedikit waspada pada pemuda didepannya.

"Memang itu aku, Alio si penjahat idiot yang mengejar kasih sayang. Itu aku Angga"

Alio menjawab dengan sendu, Tak ayal Angga merasa bersalah. Pemuda didepannya ini adalah antagonis yang menurutnya tak layak mendapatkan akhir kematian,  memang Angga tahu apa yang Alio lakukan salah. Tapi Angga tahu rasanya kesepian dan tak mendapat kasih sayang keluarga.

Angga mulai mendekat lalu memeluk tubuh Alio yang kurus, sama kurusnya dengan tubuh Angga. Alio yang mendapatkan pelukan dari orang asing, malah menangis. Seumur hidupnya ia baru merasakan pelukan, tapi ini seperti lelucon ia mendapatkan pelukan saat sudah mati. Kenapa ia tak bertemu Angga saat dirinya hidup, ah benar mereka hidup di dunia yang berbeda.

"Terimakasih Angga sudah memelukku, itu berharga bagiku"

Alio berucap dengan senyum tulusnya, Angga hanya mengangguk mendengar ucapan Alio.

"Tak apa kau berhak mendapatkannya, Alio gue tahu cara lo buat ngedapetin kasih sayang salah. Tapi gue juga tahu rasanya kesepian jadi gak adil rasanya lo ngedapetin akhir kaya gitu"

Angga kembali memeluk tubuh Alio, katakanlah Angga orang yang sangat emosional. Walau terkadang omongan Angga tajam tapi percaya atau tidak Angga orang yang penyayang.

"Hmm terimakasih Angga, aku disini ingin meminta mu untuk menggantikan ku"

Alio berucap sambil menatap iris mata cokelat milik Angga, mereka beradu tatap dengan dua iris mata berbeda.

"Gue?, Kenapa gak yang lain?"

Angga bertanya, ia tahu arah pembicaraan Alio jadi biarkan ia bertanya alasan Alio memilihnya.

"Karena memang kau yang paling cocok Angga, kita sama tapi berbeda. Aku tak punya banyak waktu, hiduplah di tubuhku jadi dirimu sendiri. Ini akan menjadi kehidupan keduamu Angga, aku ucapkan terimakasih"

Alio bicara dengan terburu-buru lalu perlahan ia menghilang seperti menyatu dengan angin, penglihatan Angga juga mulai menggelap. Kini ruangan yang tadi terang menjadi gelap seperti ada lampu otomatis yang mematikannya.

-To Be Continue-

Different but SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang