BOREALIS Andry Chang

459 23 2
                                    

Aurora, bahtera terbang tempur pertama di Terra Everna telah musnah beserta hampir seluruh awaknya.

Sekembalinya dari Perang Suci di Sylvania, Negeri Malam Abadi, sang pencipta sekaligus pemilik Aurora, Erydos Crydias melewatkan hari-hari tuanya dengan menyendiri dalam kamar rumahnya di Kyrios, Ibukota Parthenia. Wajah sang ilmuwan merangkap penyihir ruang-waktu itu tampak makin berkeriput. Kantung matanya membengkak, seolah badai depresi hebat telah menipiskan segala daya hidupnya. Rambut ubanan Erydospun banyak menipis, hanya kumis putihnya saja yang masih tampak panjang, melewati dagu.

Menyadari kondisi Erydos ini, kedua muridnya, Pylias Galfinakis dan Uriza Zynossos berlomba-lomba merawat pria tua-renta itu. Hingga kadangkala, kedua pria muda itu saling menjelekkan satu sama lain dan sibuk menonjolkan diri sendiri, dengan harapan sang guru bakal sudi mewariskan segala ilmu dan pengetahuannya pada salah satu dari kedua ilmuwan muda ini.

Melihat persaingan keras antara Uriza dan Pylias itu, Erydos makin sering batuk-batuk dan mengeluh sakit kepala. Puncaknya, suatu hari Erydos sempat pingsan saat berusaha bangun dari tempat tidurnya sendiri. Setelah sadar, ia langsung memanggil kedua muridnya untuk bertatap muka.

"Uri, Pylias," kata Erydos dengan lirih. "Kurasa waktuku di dunia ini sudah akan usai. Yah, bisa dikata aku cukup beruntung telah mewariskan pengetahuanku tentang gabungan sains dan alkimia dan juga sihir ruang-dan-waktu pada kalian berdua. Namun, ada ganjalan besar dalam hatiku yang telah menggerogoti kesehatanku sampai saat ini."

Pylias bertanya, "Ganjalan apa itu, guru?""Keinginan terbesarku dalam hidup ini adalah menghembuskan napas terakhir dalam salah satu bahtera terbang ciptaanku. Namun karena Aurora sudah tak ada, keinginanku itu jadi mustahil terwujud, bukan?"

"Itu tak mustahil, guru! Aku akan membangun bahtera terbang baru untukmu!" ujar Uriza.

Namun Pylias malah menghardik, "Enak saja! Aku yang akan membangunnya! Kau di sini saja terus dan merawat guru!"

Suara batuk-batuk Erydos mencegah perdebatan kedua pria itu jadi berlarut-larut. "Cukup! Kalian berdua harus bekerjasama untuk membangun bahtera itu! Dulu aku menghabiskan waktu bertahun-tahun, juga sumber daya dan dana yang luar biasa besar untuk membangun Aurora. Kali ini, aku kuatir waktuku yang bisa berakhir kapan saja ini takkan cukup untuk menyaksikan warisan terbesarku untuk Everna itu terwujud kembali."

Pylias menghela napas. "Aih, nampaknya memang ini akan jadi pekerjaan yang mustahil."

Uriza menatap sebal pada Pylias, lalu bicara, "Jadi, apa saja yang harus kami lakukan, guru?"

Erydos menggelengkan kepalanya melihat tingkah kekanak-kanakan kedua muridnya itu. Ia lantas memaksa diri bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan tertatih-tatih dipapah Uri dan Pylias. Erydos lantas menyuruh Uri membuka pintu kayu di tepi kamar dengan kunci yang selalu tergantung di leher pak tua itu. Erydos masuk, dan lama kemudian keluar membawa gulungan-gulungan kertas besar. Pylias membeberkan kertas-kertas itu di meja, matanya terbelalak takjub.

"Nah, itulah rancangan Bahtera Terbang Aurora, mahakarya terbesarku," ujar Erydos. "Kalian bangunlah bahtera baru berdasarkan rancangan ini. Tapi ingat, sebelum proyek ini bisa dimulai, kalian harus berbagi tugas dan mengikuti setiap langkah yang kutempuh terlebih dahulu. Jangan ragu untuk bertanya padaku bila ada hal yang tak kalian pahami."

"Baik, guru!" ujar Uri dan Pylias serentak. Lantas mereka saling bertatapan, seakan kilatan persaingan memercik silih berganti antara kedua mata mereka.

Erydos lantas menutup pembicaraan dengan berujar, "Dan yang terpenting, batas waktu proyek ini adalah saat aku putus napas sewaktu-waktu. Yah, ada cucu perempuanku, Priscilla Crydias yang merawatku di sini. Namun bila yang terburuk terjadi, kalian tuntaskanlah demi kemajuan Terra Everna."

EVERNA SAGA arung.semestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang