SEMESTA DI UJUNG HIDUNGKU Kenji Reifa

81 18 2
                                    

SEMESTA DI UJUNG HIDUNGKU Kenji Reifa

Di kelasku sedang berlangsung pelajaran fisika. Bukan menyimak baik-baik, yang kulakukan hanyalah memandang langit lewat jendela dan pasang wajah muram.

Bosan aku dengan penjelasan teori yang hanya tergambar dalam imajinasiku saja. Aku ingin pergi ke luar sana. Terbang ke langit. Menyelam ke dalam lautan. Merasakan langsung apa yang mereka sebut alam semesta dengan panca inderaku sendiri. Aku ingin menjelajahi keluasan alam semesta itu dan menemukan berbagai misteri di dalamnya.

Namun pernah dalam sebuah fantasi liar aku mengandai, bagaimana jika ternyata alam semesta yang mahaluas ini hanyalah sebutir pasir di pantai tak berpenghuni? Atau titik noda dalam sebuah lukisan yang tak pernah usai? Bagaimana jika seandainya alam semesta yang kita tempati ini hanyalah partikel terkecil dari sesuatu yang luar biasa besarnya? Atau bagian dari suatu kumpulan dimensi semesta kolosal yang dinamakan alam ekso-semesta?

Bukankah besar kecilnya sesuatu relatif dengan pandangan, pemikiran dan pemahaman si pengamat? Untuk hal itu kurasa sebagian besar dari kalian akan setuju. Dalam fantasi liarku, ada sesuatu di luar sana yang mempunyai ukuran berjuta-juta kali lebih besar dari alam semesta, atau tepatnya kumpulan segala galaksi ini. Kita tak pernah tahu apa yang ada di luar batas sana, bukan? Bahkan melampaui batas dimensi dan kenyataan.

Jika terbang menembus batas galaksi di luar angkasa, berbalik lalu melihat seperti apa rupa alam semesta ini dari kejauhan. Mungkin akan terungkap sebuah fakta di luar nalar dan prediksi kita selama ini. Lucu sekali jika aku memikirkan bahwa apa yang kita anggap sesuatu yang kolosal seperti galaksi tak ubahnya sebutir debu bagi mahluk asing raksasa diluar sana.

"Hukum-hukum fisika tidak berubah, bahkan untuk benda yang bergerak..."

Entah mengapa mendengarkan ibu Margaret mengajar seperti mendengarkan buku audio dari sebuah ensiklopedia sains. Suaranya yang datar dan materi pelajaran yang tak menghibur itu hanya membuat kelopak mataku memberat dan otakku menguap. Tanpa dapat kupertahankan lagi, akhirnya kekuasaan pikiranku pun runtuh ke atas meja dan aku pun terlelap...

"Anna!"

Tidur sekejapku buyar oleh bentakan khas ibu Margaret, semua murid di kelas menengok ke arahku, aku memandang mereka seperti baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang aneh. Ibu Margaret menatapku, teror dari balik kacamata tebalnya telah membuat rasa kantukku hilang seketika. Badanku pun menegak. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ia akan menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan sesuatu yang ruwet untuk kepalaku, dan jika aku tak dapat menjawabnya, maka ia akan mengusirku dari ruangan kelas ini.

"Sebutkan rumus untuk menghitung kecepatan cahaya."

Aku pun terdiam, pikiranku kosong seperti kosongnya ruang tak terbatas di angkasa sana. Aku melirik kesana-sini untuk mencari jawaban entah dari alam mana, namun tidak, itu tidak berhasil.

Maka kujawab sekenanya, "Hmm, E sama dengan M C kuadrat?"

Ya, hanya itu rumus yang paling kuingat. Oh siapapun dapat mengingat rumus termasyhur itu! Namun kupikir itu adalah jawaban yang salah karena aku menjawabnya dengan asal. Ketika bersiap untuk melangkahkan kakiku keluar kelas, tiba-tiba saja semua orang terdiam. Aku pun terdiam. Apakah jawabanku benar? Tidak, semua menjadi sunyi. Mematung. Tak hidup. Terasa absurd. Saat berikutnya, debu berhembus pekat, merasuki hidungku. Hidungku terasa gatal.

Dan tiba-tiba aku bersin. "Hattccchhiiii...!"

Sesuatu yang lebih aneh dan tak masuk akal terjadilah. Ketika membuka mata, aku merasa tubuhku tengah melayang di udara. Angin dan aneka suara silih berdesau makin kencang di telingaku. Semua tampak menjauh, semua tampak membesar. Meja, kursi, teman-teman, papan tulis, bahkan debu di depan mataku tadi! Oh tidak, bukan mereka yang membesar, tapi aku yang mengecil!

EVERNA SAGA arung.semestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang