Di lantai kayu ini, aku terkapar. Darahku menggenang ke mana-mana. Tubuhku penuh tusukan. Wajahku penuh lebam bekas pukulan. Dan hatiku penuh akan lara. Aku melihat Yarra istriku, kurang lebih dua meter dari tempatku, berada dalam keadaan yang nyaris sama denganku. Bedanya, kini ia tak lagi bernyawa. Ia tidak sekuat diriku dalam menghadapi rasa sakit yang menyiksa ini.
Ternyata... aku tidak sekuat yang kukira. Aku tidak bisa melindungi Yarra dari cecunguk-cecunguk kulit putih yang biadab ini.
Salah seorang dari mereka tahu aku masih bernapas. Ia merupakan pemimpin dari komplotan ini. Pria itu menjambak rambutku, dan lagi-lagi menanyakan pertanyaan yang sama dengan aksen Dzingwi yang kaku itu. "Di mana kau sembunyikan Takha!? Ayo jawab, sialan. Eit! Eit! Jangan mati dulu. CEPAT JAWAB!"
Entah sudah berapa ribu kali aku menolak untuk menjawab pertanyaan itu. Namun orang-orang kulit putih ini tetap bersikeras. Dilihat dari cara berpakaian dan bicara mereka, kurasa mereka berasal dari Benua Myriath. Mereka rela jauh-jauh mengarungi separuh dunia hanya untuk relik yang bahkan di negeriku, Dzingwi dan Benua Ubanga sendiri pun merupakan mitos.
"Kau akan selalu dibuat heran oleh keserakahan manusia..." Tiba-tiba terngianglah suara ayahku, membisikkan kata-kata yang selalu ia ucapkan ketika aku muda dulu. Ternyata aku benar-benar akan mati.
Siapa yang menyangka akan begini jadinya. Pagi tadi, usai berburu, seperti biasa Yarra membuatkanku sarapan kue gandum dan arak panas. Kami sempat juga membahas tentang masalah Takha.
"Sampai kapan kamu mau menyimpan kristal itu?" ia memulai.
Pertanyaan itu membuatku terkejut hingga nyaris mengeluarkan isi makanan dalam mulutku. "Mengapa tiba-tiba kau tanyakan itu?"
Yarra mengedikkan bahu. "Karena selama ini kau selalu marah tiap kubahas soal itu."
"Lalu mengapa kau bahas?"
Wajah Yarra menyiratkan kekhawatiran. "Aku merasakan firasat buruk, U'gumba."
"Kau selalu berfirasat buruk."
Perkataanku membuatnya jengkel. "Kau belum menjawab pertanyaanku," katanya. "Sampai kapan kau mau menyimpan kristal itu? Aku tidak bisa hidup tenang bersamamu kalau benda terkutuk itu masih bersama kita. Belum jugakah kau paham, U'gumba? Cepat atau lambat kristal yang kausebut Takha itu akan membawa malapetaka bagi kita. Kita harus membuangnya."
Seharusnya aku mendengar Yarra. Harusnya kuturuti kata-katanya. Namun, alih-alih aku mendekat dan mengecup keningnya sembari berkata, "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, istriku. Benda itu merupakan relik pusaka keluargaku yang diwariskan turun-temurun. Aku diamanahkan untuk menjaganya. Bukan membuangnya. Kau paham? Dan Chaggo juga akan mewarisinya ketika aku mati nanti."
Yarra langsung menepis pelukanku. "Tidak. Tidak! Kau tidak bisa membiarkan anak kita memegang benda berbahaya seperti itu. Tidak."
Aku berusaha untuk tetap sabar. "Dengar, Takha sudah diwarisi oleh puluhan generasi keluargaku selama ratusan tahun lamanya. Ratusan tahun! Dalam waktu yang lama itu, pernahkah kau mendengar ada yang celaka karena kristal itu? Adakah kristal itu membawa bencana? Malapetaka? Tidak."
Aku berbohong.
"Kumohon kau mengerti," lanjutku. "Takha adalah satu-satunya yang kumiliki dari ayahku. Aku tidak punya kakak, tidak punya adik. Takha lah satu-satunya peninggalan keluargaku. Kau paham?"
Yarra hanya memberi anggukan kecil. Aku tahu kata-kataku itu hanya bisa meredam kekhawatirannya sesaat. "Semua akan baik-baik saja," aku meyakinkannya sekali lagi. "Di zaman peralihan seperti ini, orang-orang mulai menganggap bahwa sihir hanyalah takhayul. Kita akan baik-baik saja bersama Takha, Yarra. Percaya padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
EVERNA SAGA arung.semesta
FantasyDi semesta jagad teramat luas ini, terhampar keindahan dan prahara yang banyaknya bagai air dalam lautan Tak terhitung pula letupan-letupan kehidupan yang saling bergesekan, hingga berledakan Para pahlawan mulai bangkit dari cangkangnya Teruji dala...