MATA PELANGI Shanifa Watson
"Bila lahir seorang bayi dengan lensa mata pelangi di antara manusia, itu adalah pertanda. Ia akan membawa kutukan, yaitu bencana dahsyat yang mengiringi berkah yang berlimpah. Hanya ada dua pilihan, membunuhnya saat ia lahir atau membiarkannya hidup dengan resiko membahayakan khalayak. Dan hanya ada satu cara menghentikan kutukan itu..."
"Tak perlu repot. Maafkan aku Genna, tapi kau harus mati."
"JANGAAAN!"
==oOo==
"TIDAAK!" seru seorang gadis sambil terduduk tegak. Matanya terbelalak, lensa mata tujuh warna seperti warna pelanginya sesaat terpampang jelas di bawah tudung hijau dan jalinan poni pirang panjangnya.
Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri. Hanya segelintir penumpang di kapal ini, untunglah tak seorangpun menghampirinya. Kalaupun ada yang bereaksi, pastilah dia berkata, "Dasar gadis pelamun. Seharusnya dia lebih berhati-hati saat bepergian sendirian seperti ini."
Yang lalu terdengar adalah suara permukaan kapal yang terhempas bergelung-gelung air, juga deru angin yang bertiup dari laut. Mengusik relung jiwa yang sunyi akan rasa.
Melayang hampa di ruang kekosongan. Tenang. Tak ada gejolak di laut luas ini.
Selepas mata memandang cakrawala hitam berhias bulan sabit di kejauhan. Gemerlap bintang di langit lukiskan kisah di dalam ini. Abstrak, tak tersiratkan oleh mata biasa. Cahaya rembulan biaskan panorama kepalsuan. Membuat bayang-bayang semu mengiring debur ombak nyata.
Genna Kapadokios terdiam, mencerna kembali apa yang sedang terjadi. Seingatnya, dia nekad melarikan diri dari Akademi Sihir Valanis di Encarta, pergi ke Pulau Shilfen hanya berbekal sebuah peta usang yang ia temukan di perpustakaan. Seorang pria tualah yang meminta Genna untuk ikut bersamanya, kembali ke negeri asal gadis itu. Lantas, dalam pelayaran dengan kapal dari Valanis ini, Genna sempat ketiduran sejenak ketika mimpi itu menyapanya...
"Mimpi buruk lagi?" tanya si pria tua yang menghampiri Genna – namun masih menjaga jarak.
Namun Genna mengalihkan pembicaraan, "Di mana kita sekarang?"
"Masih di Laut Tirnamare. Bedanya, kini kita tinggal semalaman lagi jaraknya dengan pantai Pulau Shilfen."
Tak sadar gadis itu mengangguk. Pulau Shilfen adalah tempat berdirinya Kerajaan Rhovis, tempat segala kepahitan hidupnya bermula... Dan kini ia malah akan kembali ke sana.
"Dimana Ioma?!" tiba-tiba Genna berteriak, menoleh ke kiri-kanan mencari sesuatu.
"Apa hewan kecil bersayap naga itu?" tanya kakek itu dengan tenang.
"Yaa! Ioma, di mana kau?" Genna tetap panik.
"Hewan kecilmu sedang tidur di kabin, jangan khawatir," jawab kakek itu.
Helaan nafas lega terdengar dari Genna. Ia mengamati sekitar, dan menelisik setiap detail yang tersapu oleh matanya. Ada banyak yang perlu ia mengerti saat ini. Mengapa kakek itu tidak mencurigaiku? Atau apapun itu. Ia bahkan tidak terkejut dengan warna lensa mataku dan leodragku. Dahinya berkerut.
"Nah, tentu kau ingin tahu lebih banyak tentang misi ini sekarang, bukan?" Kata-kata kakek itu sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Tentu saja nadanya menyudutkan.
"Benar." Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Genna. "Akan lebih baik lagi bila kau memberitahukan semuanya padaku di Encarta, Tuan Tomassos Tridonis. Dengan begitu aku akan melakukan lebih banyak persiapan..."
"... Yang entah sampai kapan rampungnya," sambung Tomassos dengan nada acuh tak acuh. "Pokoknya terima kasih sudah ikut aku sampai sejauh ini, kita akan teruskan sampai tuntas."
KAMU SEDANG MEMBACA
EVERNA SAGA arung.semesta
FantasíaDi semesta jagad teramat luas ini, terhampar keindahan dan prahara yang banyaknya bagai air dalam lautan Tak terhitung pula letupan-letupan kehidupan yang saling bergesekan, hingga berledakan Para pahlawan mulai bangkit dari cangkangnya Teruji dala...