Contoh sesuatu yang terjadi di luar nalar adalah, kedatangan Melani, asisten rumah tangga keluarga Btararaja yang katanya dipecat karena hal sepele oleh 'pewaris' keluarga siapa lagi kalau bukan ayah dari baby Lion. Tentunya dia terkejut saat melihatku menjadi kasir di salah satu restoran cepat saji di pinggir jalan besar. Dan benar saja, dia langsung mengenali keberadaanku.
Awalnya aku sempat terkejut, namun setelah meyakinkan diri bahwa kebetulan semacam ini sering terjadi, aku pun balas menyapanya tak kalah ramah. Melani dulu melayaniku sebagai nyonya baru di rumah Brataraja, dan saat aku kabur beberapa tahun lalu entah bagaimana nasibnya setelah itu.
"Non, saya beneran nggak nyangka bisa ketemu nona di sini." katanya dengan air mata berlinang. Wajahnya sangat menyedihkan sekarang. Wanita berusia dua puluh empat tahun itu masih sama seperti dulu. "Saya mengira kalau saya nggak bakal bertemu nona lagi."
Aku tersenyum kecil. Kejadian di luar nalar ini membuatku agak sesak napas tiba-tiba. Bagaimana kalau ini bukan kebetulan dan hanya akal-akalan saja. Oh, aku tetap harus waspada.
"Panggil Renata saja Mel," ucapku kemudian. Aku menarik tissue dan memberikannya pada Melani. Dia menceritakan bagaimana dirinya di pecat setelah bertahun-tahun mengabdi. Sebagai manusia yang memiliki hati nurani jelas saja aku merasa kasihan.
"Kamu rencana pulang kampung Mel?" tanyaku padanya.
Melani terlihat diam lama namun tetap mengangguk pelan. Tatapannya sedih sekali namun katanya dia sangat bahagia bisa bertemu denganku.
"Saya akan kembali lagi ke Jakarta non, tapi masih rencana. Masih harus mencari kerja dulu sekarang. Bapak di kampung sakit, dua adik masih harus sekolah. Ibu setahun yang lalu meninggal dunia." ucapnya pedih.
Aku terenyuh.
"Kabarnya mbak Renata bagaimana?" tanya Melani padaku. Dia tetap tak mau memanggilku tanpa embel-embel 'Nona' itu. Katanya tak enak apalagi aku lebih tua darinya. Jadi aku memintanya memanggilku dengan sebutan 'mbak'.
"Baik, kamu gimana?"
Melani menjawab dengan anggukan meski aku tau itu hanya formalitas. Raut sedihnya membuatku iba, namun mau bagaimana lagi, aku juga tak bisa membantunya apalagi dia pernah menjadi bagian Brataraja, rasanya aku agak skeptis dengan keputusanku jika mempekerjakan dia sebagai salah satu pegawai restoran.
"Mommy!"
Panggilan itu membuat kepalaku otomatis menoleh cepat. Aku dan Melani sedang ada di dalam ruang tamu khusus istirahat untuk para pegawai restoran jadi tempatnya agak tertutup.
Owen datang menggendong baby Lion yang wajahnya cemberut masam. Entah terjadi percekcokan apa saat keduanya dalam perjalanan pulang, Owen yang tersenyum lebar sudah menjadi jawabannya.
Aku melirik jam dinding yang ternyata pukul setengah sebelas siang, sudah saatnya putra manisku ini pulang sekolah.
"Mom," setelah di turunkan dari gendongan Owen baby Lion segera merengek dan memelukku. Dia seperti ingin mengadukan sesuatu tetapi enggan karena sadar ada orang asing.
"Siapa Re?" tanya Owen melirik Melani, laki-laki itu sudah tersenyum manis seperti mendapat mangsa baru.
Oh, buaya satu ini.
"Temen lama," jawabku singkat, mengabaikan tatapan intens yang Melani berikan pada baby Lion. Aku tau pasti dia bertanya-tanya atau bahkan sudah bisa menebak kalau makhluk mini sachet di pelukanku ini siapa.
"Oh teman lama," Owen berseru pelan. Dia mengambil cola di dalam kulkas dan meletakkan di atas meja, sadar bila minuman 'tamu' yang ku bawa sudah mau habis. "Re, aku mau istirahat bentar, nanti bangunkan aku setelah dzuhur ya?" pintanya masuk ke dalam pintu yang menghubungkannya dengan rumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
COMPLICATED (ON GOING)
ChickLit"Re, bagaimana jika kita tinggal bersama untuk membesarkan anak kita? Aku berani bersumpah akan mencintaimu dan anak kita!" Oh, aku seperti masuk ke dalam negeri dongeng dan bertemu pangeran super tampan, namun sialnya si 'pangeran tampan' ini kehad...