E m p a t

304 32 2
                                    

Meringkus paksa Baby Lion dan Alina untuk segera pulang adalah niatku sebelum memasuki ruang bermain.

Tadinya.

Sebelum kulihat keributan di sana yang mengharuskanku menahan diri untuk kabur.

Sesaat memasuki area bermain aku melihat keributan kecil antar anak-anak disekitaran mesin capit. Aku melihat Ana terlihat susah payah memeluk tubuh anak kecil yang kuyakini itu baby Lion--tengah menjambak seorang anak laki-laki berambut cokelat entah siapa dan menyebabkan perkelahian, keributan.

Oh, astagaaaaaa. Singa manisku bagaimana bisa berkelahi dengan anak lain!

Aku masuk ke dalam kerumunan dan lantas memisahkan baby Lion dengan anak laki-laki sedikit lebih tinggi yang bernafsu sekali membuat putraku babak belur. Wajah baby Lion sudah memerah marah dan ada bekas cakaran dipelipis.

Oh, baru kutinggalkan sebentar sudah terjadi keributan sebesar ini.

Seluruh ibu ibu berkumpul mendekat dan beberapa ikut menenangkan si anak berambut cokelat yang kini menatap baby Lion yang ada dalam gendonganku dengan tajam. Anak berambut cokelat itu ditenangkan oleh beberapa orang dan di bawa agak menjauh. Wajahnya juga tampak masam dan tak enak di pandang, rambut cokelatnya berantakan dan ada beberapa helai yang tercecer di lantai.

Sungguh sangat kuat putraku menarik rambut lawannya sampai rontok begitu.

Napas baby Lion tampak memburu, tangan kecilnya mengepal dan tatapan matanya menajam masih menatap ke arah bocah yang kini ikut balas melotot seolah mengajak ribut kembali.

Aku menurunkan baby Lion saat mendengar langkah kaki ribut memasuki area bermain. Aku membawa baby Lion agak menjauh agar emosinya bisa terkontrol. Kuusap punggungnya lembut sembari kuciumi puncak kepalanya.

Aku memang perlu penjelasan namun emosi anakku jelas harus kuurus terlebih dahulu.

"Mbak," Ana mendekat dengan raut wajah bersalah. Dia ikut bertekuk lutut di samping baby Lion yang tampak merengut dan marah. "Maaf ya mbak, aku tadi ninggalin baby Lion buat angkat telepon dari ayah. Waktu balik udah terjadi tragedi tadi." ucapnya.

Aku hanya mengangguk saja, mengulurkan teh susu untuk Ana.

"Siapa yang membuatmu jadi begini?!" bentakan itu membuat atensiku teralihkan. Seorang laki-laki berkemeja biru navy tengah memarahi anak yang tadi bertengkar dengan baby Lion. Posisinya berlutut membelakangiku sambil memegang kedua bahu kecil si anak rambut cokelat.

"Hei," seseorang tiba-tiba datang menepuk pundakku sesaat setelah aku memperhatikan detail wajah baby Lion yang tampak masam dan menolak berbicara.

"Bisa jelaskan apa yang terjadi?!" aku terpaksa menoleh dan menatap pria tinggi berwajah bule ini. Jika saja sikapnya seketus ucapannya sudah kutendang jauh-jauh sampai ujung dunia. Kasar sekali, untung wajahnya tampan.

Aku berdiri dan mengamati si anak berambut cokelat yang kini berdiri di samping pria berwajah bule. Wajah mereka tak sama, si anak berambut cokelat ini lebih ke wajah asia meskipun ada sedikit kebule-bulean di wajahnya. Aku mengamati keduanya dan langsung ingat dengan pria yang tadi menyita perhatianku karena penampilannya.

Oh ternyata ini pria tadi.

"Saya ingin meminta pertanggungjawaban atas rontoknya rambut anak saya dan sejumlah luka lainnya!" ucapnya menunjuk dagu si anak berambut cokelat yang kini diam menatap tajam baby Lion.

"Terus anda tidak melihat kalau keponakan saya juga luka?! Dasar om om!" ucap Ana tak kalah sengit. Si laki-laki dewasa dalam balutan pakaian kantoran ini langsung melotot dan menatap tajam pada Ana.

COMPLICATED (ON GOING) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang