Hari berlalu minggu, berganti bulan. Jonathan menyelesaikan ujian dengan baik dan mulai bekerja di perusahaan Ayahnya bahkan sebelum kelulusannya diumumkan. Kedua keluarga sepakat untuk merahasiakan kehamilan serta pernikahan anaknya, membiarkan Hanni melanjutkan sekolahnya hingga ujian kenaikan kelas. Kemudian mama Hanni mengurus kepindahan sekolah yang semula sekolah umum menjadi home schooling.
9 bulan kehamilan Hanni terasa berat baginya, beruntungnya keluarga Jonathan begitu perhatian sehingga Hanni tidak merasa sendirian. Bahkan mamanya yang biasanya sibuk kini lebih sering di rumah dan menemani Hanni.
Hari itu pun tiba, setelah merasakan sakitnya kontraksi, Hanni pun melahirkan bayinya dengan selamat, walau kepayahan. Haru dan lega terpancar dari wajah seluruh keluarganya. Setelah beberapa hari masa pemulihan di rumah sakit, akhirnya Hanni diperbolehkan pulang bersama bayinya.
"Kamu istirahat aja, kalo butuh apa-apa panggil aku ya."
"Jo?"
"Ya?"
"Gue mau pulang."
"Kita kan udah di rumah."
Hanni terdiam, bukannya tidak bersyukur dengan keadaan, tapi jujur saja Hanni lelah. Ternyata hamil dan melahirkan sangat berat, sekarang ia hanya ingin kembali menjadi anak-anak. Hanni tidak siap berganti peran dari seorang pelajar menjadi seorang ibu. Hanni hanya ingin kembali menjadi anak mamanya.
"Han, kamu ga apa-apa? Ada yang sakit? Ada yang ga nyaman? Apa mau aku panggil dokter?" Jonathan membrondong pertanyaan karena khawatir.
Hanni cukup lama diam hingga ia berani menyuarakan isi kepalanya.
"Jo, makasih udah mau ngurus gue selama beberapa bulan ini. Boleh ga kalo gue minta lu untuk urus bayi itu juga?" Ucapan Hanni begitu pelan hingga Jonathan harus fokus karena takut salah dengar.
"Kita akan urus bayi ini sama-sama, Niel juga butuh kamu, bukan cuma aku."
"Tapi sekarang gue mau pulang." Hanni menatap Jonathan dengan air menggenang di pelupuk matanya.
"Maksudnya? Ini kan udah pulang." Dahi Jonathan mengernyit kemudian sedikit terkekeh.
"Oooh mau ke rumah mama? Kamu ga boleh capek-capek, nanti aku minta mama ke sini ya."
"Jo, gue mau pulang. Kayanya gue ga bisa jadi ibu. Gue-- gue beneran ga bisa." Tangis Hanni pun pecah, bercampur dengan isak yang terdengar pilu.
Jonathan menatap Hanni nanar, ia sangat mengerti. Karena jujur saja ia juga merasa berat, statusnya yang baru menginjak usia dewasa harus mengambil peran sebagai suami dan sosok ayah. Tapi Jonathan tidak mau menyerah begitu saja, ia adalah laki-laki. Berani berbuat ya harus berani bertanggungjawab.
"Gue ga bisa, Han. Maaf. Bayi ini juga butuh ibunya."
"Gue ga bisa, gue ga sanggup." Hanni menunduk, menopang kepalanya dengan kedua tangan seolah kepalanya akan jatuh karena berat.
"Gue ga akan nuntut apapun, lu cukup ada di sini sebagai ibu Niel. Gue janji akan urus semuanya. Lu ga perlu berperan sebagai istri atau menantu di keluarga ini. Gue akan kabulin semua keinginan lu, Han. Kecuali ninggalin gue sama Niel."
"Jo, jangan gini."
"Han, please. Gue mohon, Niel bahkan baru berusia seminggu." Jonathan berucap lirih, air matanya menetes tanpa bisa ia tahan lagi.
Jonathan memeluk tubuh Hanni dengan lembut, berusaha tidak menyakiti Hanni yang terlihat ringkih. Ia mengusap kasar air matanya, mencoba lebih kuat untuk keluarga kecilnya.
Pembicaraan itu berakhir begitu saja, keduanya terlalu lelah untuk berdebat. Terlebih mendengar suara tangis Niel yang terbangun karena haus. Jonathan sigap membuat susu dan kembali menidurkan bayinya di dalam box samping tempat tidurnya.
- beberapa minggu kemudian -
"Niel, bobo lagi ya. Papi udah ganti popok Niel. Niel juga udah mimi susu. Yuk sayang bobo, Papi besok harus kerja." Jonathan bernegosiasi dengan bayi yang baru berusia satu bulan itu untuk kembali tidur dengan meninabobokannya. Pasalnya ini jam 2 pagi, Jonathan mengantuk dan lelah, sudah 1 jam ia menggendong bayinya yang tidak kunjung terlelap, mata bulatnya menatap Jonathan cerah.
"Jo?"
"Eh kamu kebangun? Tidur lagi aja, Niel bentar lagi juga tidur. Iya kan sayang? Niel mau bobo kan ya?"
Hanni melirik jam, ia bergegas mengikat rambutnya dan bersandar di kepala ranjang.
"Sini Nielnya." Hanni menengadahkan kedua tangannya, meminta Jonathan menyerahkan Niel ke pangkuannya.
"Tapi nanti kamu capek, kamu masih harus banyak istirahat."
"Gapapa, gantian. Niel juga anak aku."
Jonathan tersenyum mendengar Hanni memanggil dirinya aku, bukan gue. Jonathan menaruh Niel di pangkuan Hanni dengan pelan. Dan dalam hitungan menit, Niel terlelap di pangkuan Hanni. Ajaib, sebelumnya Jonathan menggendong Niel selama 1 jam tapi bayi itu tidak kunjung tidur.
"Ternyata emang mau diemong sama kamu, sini aku pindahin ke box."
"Gausah, nanti kebangun lagi. Biarin aja tidur di sini, kamu juga tidur, besok telat kerja."
"Iya, kamu juga."
"Hmm." Hanni bergumam sebagai jawaban, kembali merebahkan tubuhnya dengan Niel berada di tengah dan Jonathan di sisi ranjang lainnya.
"Han, nanti kalo Niel agak gedean, kita pindah ya." Jonathan memulai percakapan, menatap Hanni yang sudah memejamkan matanya.
"Kaya punya duit aja."
"Aku ada tabungan jaman sekolah dapet dari angpao, sama ada tambahan dari hasil kerja selama beberapa bulan kan lumayan. Ya ga banyak sih, buat sewa rumah sama kebutuhan kita kayanya cukup."
"Iya, sekarang tidur." Gumam Hanni, masih memejamkan matanya untuk istirahat sejenak sebelum Niel kembali bangun untuk minum susu atau ganti popok.
"Serius. Tabungan buat kamu lanjut kuliah juga udah aku cicil, jadi tahun depan tinggal daftar aja."
"Jo, tidur." Hanni berbicara pelan namun tegas.
Sejujurnya hati Hanni sedikit mencelos saat Jonathan membicarakan soal kuliah. Jonathan saja hanya lulus SMA, dan Hanni sendiri putus sekolah. Dulu pun Hanni bukan tipe pelajar yang tahu ingin menjadi apa, ia hanya mengikuti arus, bahkan ia dengan sukarela mengikuti kehendak orangtuanya.
Jonathan kebalikan dari Hanni, ia sangat tahu apa yang diinginkannya. Mengikuti kelas akselerasi di SMA, karena berniat untuk masuk sekolah kedokteran. Katanya karena kedokteran sekolahnya lama, setidaknya Jonathan menghemat 1 tahun. Jadi saat lulus, dan setelah ambil spesialis pun umurnya tidak terlalu tua. Tapi sepertinya cita-citanya manjadi dokter harus pupus, kini Jonathan malah bekerja bahkan sebelum menerima ijazah SMAnya.
Hanni merasakan dadanya berdenyut nyeri, membayangkan seandainya ia tidak bodoh menjerumuskan Jonathan ke dalam masalah percintaannya, pasti sekarang Jonathan sedang menikmati perannya sebagai mahasiswa kedokteran, bukan menjadi karyawan di perusahaan Ayahnya sendiri hanya demi bertanggung jawab atas dirinya dan Niel.
"Jo?"
"Hmm?"
"Lu masih mau jadi dokter?"
Hening, tidak ada jawaban dari mulut Jonathan, Hanni pun tidak berani menuntut jawaban. Keduanya terlalu takut menyuarakan isi kepalanya yang penuh dengan keinginan dan cita-cita yang belum tentu bisa tercapai.
-tbc-
![](https://img.wattpad.com/cover/351188432-288-k347943.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
F.R.I.E.N.D.S
Fanfic-side story Hanni, asik kelas yang naksir Harun (story players)- Selama hampir 16 tahun hidupnya, baru kali ini Hanni merasakan naksir cowok. Harun, cowok yang menurut Hanni gantengnya super duper bikin silau mata. Akhirnya Hanni meminta bantuan Jon...