Temaram I

22 2 0
                                    

Hai, aku Nala. Nayanika Laticia, seorang penulis amatir yang enggan bercerita tentang temaram. Terakhir menulis, aku berjanji tak akan menceritakan apapun perihal Lala. Sebab kisahnya hanya perlu disimpan dan tak perlu dikenang. Terlalu menyakitkan.

***

"Lala" Entah sudah ratusan keberapa, aku benci nama itu.

"Call me with"

"Nala?"

"Yes, Nala" Sungguh dia tau dan kenapa selalu begitu.

"Ya tentu Lala" Dia berhenti tepat di depan ku dengan ransel di pundak serta helm bergantung di lengan kanannya. Aku tak peduli itu.

"Kenapa?" Tatapannya selalu saja menusuk, kata mereka penuh cinta, tapi bagiku itu hanya ketertarikan sesaat. Ayolah, berpikir logis saja, aku terlalu biasa untuk membuat ia jatuh hati.

"Kenapa begitu cantik?"

"Maaf?" Jika saja buka ia yang berucap, mungkin pipiku sudah merah merona.

Ia tertawa pelan, sungguh sangat indah apa yang Tuhan pahat pada wajahnya. Tangannya terulur pada pucuk rambutku, ada usapan halus di sana. Aku terpaku, hanya diam. Ada apa ini?

"Boleh aku antar?" Entahlah aku tak dengar ia berkata apa.

"Hey, Lala" Tangannya berlambai tepat di depan wajahku.

"Hah?" Sungguh aku ingin menghilang saat ini. Kenapa ia selalu mendominasi.

"Boleh aku antar?" Tanyanya sekali lagi.

"Aku antar?" Ucapku membeo, sungguh kesadaran ku di bawah 50%.

"Iya aku antar, aku antar kamu Lala, antar pulang sudah malam"

"Oh ya" Akhirnya kesadaranku kembali normal.

"Jadi bagaimana?"

"Ah ya, aku bisa sendiri"

"Yakin?" Tanyanya memastikan,

"Tentu"

"Baiklah. Aku duluan"

Aku bisa melihat langkah kaki jenjangnya yang meninggalkan aku berdiri membeku. Ini bukan kali pertama, sudah seperti dejavu selalu berulang terjadi, tapi entah kenapa awal dan akhirnya sudah dapat ditebak. Aku selalu saja menyesal, tapi tak sepenuhnya salah, karena aku sedang berhadapan dengan Ataka Anand.

***
Terdiam, menatap ramainya kendaraan melalui kaca taxi yang aku pesan melalui internet. Sungguh damai terasa, meskipun hanya sesaat. Sebab pemandangan menyakitkan tiba tanpa diminta. Aku yakin tak sedang salah lihat, sebab ia juga mengenali aku. Ia melambaikan tangannya ke arah ku, sebagai isyarat sapaan? Atau ingin memamerkan kemesraan dua insan?

"Harusnya aku terima saja ajakannya tadi" Gumamku pelan. "Andai kamu tau Ka, andai" Sesak terasa, tapi aku bisa apa?

***
Dengan segala kepenatan rutinitas pekerjaan, siapa yang tak bahagia dengan hari libur? Alih-alih berdiam diri di apartemen, sore ini aku lebih memilih untuk merenggangkan otot untuk sekedar membakar lemak-lemak yang ada. Setidaknya aku punya kesempatan untuk makan mie instan malam nanti.

Sesuai prediksiku, jalur lari yang sedang aku jelajahi penuh dengan makhluk sosial, termasuk aku. Meskipun jujur saja aku kurang nyaman dengan keberadaan mereka. Ya, mau bagaimanapun aku tidak boleh egois, karena ini tempat umum, wajar ramai adanya.

Langkah ku berirama mengikuti alunan lagu yang ku dengar melalui hearphone yang sengaja ku pasang sejak tadi. Rambut kecokelatan yang ku kuncir menjadi satu, bergoyang kekanan dan kekiri mengikuti arah langkah kaki. Semua terkendali, sebelum kaki kananku menghalangi langkah kaki kiriku, alhasil dapat ditebak.

Tentang TemaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang