CHAPTER 1

272 23 0
                                    

Tara menatap penuh haru pada Agra yang tengah menggendong buah hati mereka—Ramtara—yang baru saja lahir ke dunia. Wajah lembutnya dihiasi jejak air mata bahagia.

"Sayangnya Papa. Kamu akan menjadi bintang paling terang di bima sakti."

Tubuh lelah karena tenaga terkuras. Meski melahirkan dengan cara operasi, tetap saja membuat Tara kelelahan. Batinnya yang lelah. Akan tetapi, dia tidak ingin menutup mata dan melewatkan momen ini.

"Mas—"

"Diamlah."

Tara tidak melanjutkan ucapannya. Padahal dia ingin melihat rupa anak mereka. Tapi ternyata Agra tidak memberinya izin. Ya! Tidak masalah! Akan ada kesempatan.

"Kapan aku bisa melihat Ramtara, Mas?"

Sudah satu bulan berlalu, Tara belum juga bisa melihat Ramtara. Hatinya gelisah. Dia ingin memaksa Agra agar menjumpakan mereka, tapi dia tidak berani.

"Jangan menggangguku, Tara. Aku sedang bekerja. Lebih baik kau berlatih tersenyum! Aku tidak ingin media melihat senyum menyedihkanmu itu! Pergi!"

Tara menunduk. Kemudian berlalu dari ruang kerja Agra. Hatinya sakit. Dadanya berdenyut sakit. Kenapa? Kenapa sulit sekali baginya untuk melihat anaknya?

"Agra, terima kasih! Aku sangat bahagia! Ini semua berkatmu aku akhirnya bisa memiliki anak yang sangat manis. Sangat mirip denganmu!"

Agra mengelus pipi Santa, pria kecil yang sangat dia cintai. "Apapun untukmu, akan kulakukan."

Santa mengecup singkat pipi Agra, "Aku menyayangimu. Sangat menyayangimu!"

"Aku mencintamu."

Santa tertawa kecil, "Ya! Aku tahu! Kamu mencintaku dan aku juga mencintamu!"

Menangis. Tara menangis dalam diam. Dia menatap cermin yang menampilkan seluruh penampilannya. Bibirnya tertarik membentuk senyum namun matanya mengeluarkan air mata.

Plak!

Tara menampar pipinya sendiri. "Bukan! Bukan seperti ini yang diinginkan Agra."

Lagi, dia melakukannya setiap kali merasa senyumnya tidak sesuai. Dia harus tersenyum dengan bahagia. Harus tanpa memperlihatkan suasana hatinya. Dia harus bisa mengecoh media untuk Agra.

Agra, seorang aktor yang sangat terkenal. Selalu banyak media yang penasaran dengan kehidupannya. Terlebih kehidupan pernikahan yang dikatakan sangat romantis.

Tara harus bisa menunjukkan keromantisan itu dengan senyum bahagianya. Hanya dengan senyum itu, dia bisa meyakinkan media bahwa dia sangat beruntung menyandang status sebagai mitra sah dari seorang Agra.

Tara sangat berharap apa yang dia dengar hanya sebuah halusinasi.

"Aku ingin kau mengatakan pada media bahwa kau keguguran."

"Tapi, Mas. Aku tidak keguguran! Aku, aku melahirkan anak kita! Aku tidak mungkin mengatakan kalau aku keguguran. Tidak, Mas. Aku tidak bisa. Aku, aku—"

"Jangan membantah, Tara! Jika aku mengatakan kau keguguran maka kau keguguran! Kau dan aku tidak memiliki anak!"

"MAS—"

Pipi kanan Tara terasa panas akibat tamparan dari Agra. Matanya memerah menahan tangis. Hatinya sangat hancur.

"Lancang! Beraninya kau meninggikan nadamu padaku! Sialan kau, Tara!"

"Itu dia! Itu dia! Sangat tampan!"

"Aku sangat mengaguminya! Dia selalu tersenyum. Aku sangat yakin bahwa Agra pasti sangat menyayanginya."

"Ah aku sangat iri! Aku juga ingin dicintai oleh pasanganku seperti apa yang dilakukan Agra pada Tara."

"Tapi saat ini dia tidak tersenyum. Ada apa?"

"Apa yang terjadi?"

Tara, untuk pertama kalinya hadir di samping Agra dengan raut wajah sedih. Agra yang meminta. Meski tanpa dimintapun, Tara memang sedang dalam kesedihan.

Saat ini Tara menemani Agra ke acara perayaan agensi yang menaungi Agra. Sembari menyampaikan berita duka.

"Ada apa dengan pasanganmu, Gra? Apa sesuatu terjadi? Kau juga tampak tidak seperti biasanya."

Agra tersenyum sendu penuh luka. "Aku dan Tara, baru mengalami hal yang menyakitkan. Kami kehilangan anak kami. Tara keguguran."

"Katanya cinta tak penah salah?"

Give Me The Right Love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang