CHAPTER 3

159 18 0
                                    

Tara tidak memedulikan perkataan Santa. Fokusnya hanya pada wajah anaknya. Wajah kecil yang sangat tampan seperti Agra.

Tubuh Tara terdorong. Yang mendorongnya adalah Agra. Tara menangis, memohon untuk diberi kesempatan memeluk Ramtara.

"Aku mohon ... anakku Ramtara—"

Pipi kanan Tara memanas. Dia baru saja ditampar oleh Santa. "Kau Pelacur! Ini anakku! Namanya Ramsa! Bukan Ramtara! Kau tidak berhak menyebutnya anakmu! Ini anakku bersama Agra!"

Dada Santa bergerak naik turun dengan cepat. Kepalanya berdengung dan tubuhnya melemas. Dia memang sakit. Komplikasi. Dia tidak bisa kelelehan. Dia tidak bisa mengeluarkan emosi yang belebihan.

Santa ... hanya ruh yang dia miliki untuk bisa terus hidup. Tubuhnya, akan semakin tidak berfungsi dengan seiring berjalannya waktu. Jadi tolong, tolong biarkan dia menyimpan rasa sakitnya dan menggantikannya dengan rasa bahagia. Dia tahu waktunya tidak lama. Tapi tolong ....

"Kau keterlaluan, Tara!"

Tubuh Tara tergeletak tidak berdaya di lantai kamarnya. Wajahnya membengkak karena tamparan berulang kali. Bagian tubuh lainnya juga sudah tercetak garis lintang yang mengkoyak kulit. Cambuk.

"Aku hanya ingin memeluk anakku, Mas ... Ramtara anakku, aku yang mengandungnya selama sembilan bulan. Aku yang selalu bernyanyi untuknya. Aku yang berkonflik batin untuk melahirkannya. Kenapa? Kenapa aku tidak bisa menyebutnya anakku?"

Agra tidak menyahut. Tatapannya penuh kebencian. Santa masuk rumah sakit. Kondisnya meski tidak kritis tapi tidak juga baik.

"Aku sudah mengatakannya berulang kali, kau tidak memiliki anak! Kau keguguran!"

Kemudian Agra berbalik pergi. Menutup pintu kamar Tara dengan kasar. Dia melangkah ke ruang pribadinya yang khusus dia sediakan. Ruangan yang sangat berantakan. Perabotan di ruangan itu hancur, menyatu di lantai membentuk kekacauan.

Tangannya mengepal dengan kuat. Lalu mengarahkannya ke dinding dengan kekuatan penuh. Memar. Tapi dia tidak berhenti melakukannya. Berulang kali.

Tangis lirihnya akhirnya terdengar. "Tetap hidup, Tara .... sebentar lagi saja hm? ... jangan menyerah, kumohon ...."

Tara memperlihatkan senyum lebarnya di hadapan banyak media. Tangan langsingnya memeluk erat lengan kiri Agra.

"Tuan Tara, sudah lima bulan berlalu, apakah Anda sudah mengikhlaskan Anak Anda?"

"Anda sudah kembali tersenyum. Apa yang dilakukan Tuan Agra untuk menghibur Anda?"

Tara tertawa pelan. Wajahnya sejenak menampilkan raut wajah sedih. Tapi kemudian kembali menampilkan raut wajah bahagia.

"Aku sudah mengikhlaskannya. Aku tahu, aku sempat terpuruk. Tapi takdir, siapa yang bisa melawan? Untungnya aku memiliki suami yang sangat perhatian dan pengertian. Agra selalu berada di sisiku, membisikkan kalimat-kalimat penyemangat. Memelukku, menenangkanku. Padahal aku tahu dia juga terluka tapi dia lebih memfokuskan dirinya untukku. Aku sangat bahagia memiliki Agra."

"Santa, semuanya akan baik-baik saja. Percaya padaku, ya?"

Santa terisak pelan di pelukan Agra. Dia mencengkram ujung jas yang dikenakan Agra. "Aku takut, Gra. Aku sangat takut."

"Jangan takut. Aku di sini, bersamamu. Aku akan selalu di sampingmu. Bertahan, semuanya akan kembali seperti semula."

"Tapi bagaimana jika dia, dia mengambil anakku, anak kita? Aku tidak ingin kehilangan anak kita, Gra! Aku tidak ingin!"

Agra semakin memeluk erat tubuh Santa. Pucuk kepala Santa sudah berulang kali dia kecup. Dia tidak berhenti menenangkan kegelisahan Santa. Dia senantiasa mengatakan "semua akan baik-baik saja" dengan nada yang sangat penuh perhatian dan pengertian.

Santa mendongak. Menatap penuh wajah Agra. Agra tersenyum. Menunduk, untuk mengecup bibir pucat Santa. Warna kemerahan tipis bisa terlihat di pipi Santa.

"Aku sangat mencintaimu, Gra. Kumohon jangan pernah berpaling dariku."

"Hm. Aku tidak akan pernah berpaling. Aku mencintaimu."

"Katanya cinta tak pernah salah?"

Give Me The Right Love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang