Chapter 3 : Ego

62 12 0
                                    

Sudah sepuluh menit terhitung Reinhard sedang mematung di depan pintu kamar Charlotte dan Charlo. Meski janjinya untuk menghibur mereka berdua, tetapi Reinhard pusing tujuh keliling memikirkan bagaimana cara menghibur anak kembar itu.

Rhygel juga, mengikuti Reinhard dan menemaninya sampai dia menemukan jalan keluar. "Susah sekali, ya. Makanya saya minta tolong ke kamu, Reinhard." Rhygel melipat lututnya ke dada dan tangannya beristirahat di atasnya. Dia berjongkok di sebelah kanan Reinhard.

"Aku... tidak mengenal mereka. Jadi... aku sangat kebingungan sekarang." Ucap Reinhard dengan dahinya yang berkerut.

"Bagaimana jika coba berkenalan dengan mereka terlebih dahulu?" Tanya Rhygel enteng.

"Paman sedang bercanda, kan? Memang ada orang yang berduka dan mau berkenalan dengan orang baru?" Tanya Reinhard makin keheranan.

"Siapa tahu. Kita kan tidak tahu kalau belum mencoba." Rhygel menggedikan bahunya.

Reinhard hanya bisa menghela napas. Tapi, kata Rhygel ada benarnya juga. Perkataan Reinhard tadi itu benar. Dia tidak terlalu mengenal sosok Charlotte dan Charlo. Di novelnya, mereka diceritakan sebagai sosok misterius; sosok abu-abu yang tidak pernah dijelaskan sepenuhnya apa tujuan mereka.

"Bisa-bisa nanti aku menggantikan peran Paman sebagai ayah mereka." Sindir Reinhard sebelum memasuki kamar Charlotte dan Charlo. Rhygel hanya menanggapinya dengan senyum tipis.

Berantakan. Itulah hal yang menyambut Reinhard ketika memasuki kamar anak kembar itu. "Siapapun tak akan menduga kalau ini adalah kamar anak kecil berumur lima tahun." Gumam Reinhard pelan.

Reinhard mengarahkan pandangannya ke arah ranjang. Terdapat dua anak yang sedang terbaring lemas di atas sana. Reinhard segera menghampiri mereka untuk melihat lebih jelas. "Bodoh!" Umpat Reinhard secara tak sadar. Ia langsung menyingkap selimut yang menutupi badan mereka dan juga menyingkap gorden yang menutupi jalur cahaya masuk.

Kedua anak itu terlihat pucat. Napas mereka juga terlihat berat. Reinhard segera menyentuh kening mereka untuk mengukur suhu tubuhnya. Panas. "Paman Rhygel!" Seru Reinhard memanggil Rhygel.

"Ada apa?" Tanya Rhygel berjalan cepat ke arah Reinhard. "Tolong ambilkan air hangat dan handuk." Jelas Reinhard cepat masih sambil menatap dua anak kembar itu.

Tanpa pikir panjang Rhygel langsung berlari keluar. Terdengar seruan panik di lorong istana. "Bodoh, bodoh sekali." Ucap Reinhard. "Kalian ingin menyusul ibu kalian? Omong kosong. Maksudnya kalian akan meninggalkan Paman Rhygel sendiri!?" Seru Reinhard marah.

Anak perempuan yang terbaring di dekat Reinhard mengangkat tangannya pelan dan meraih tangan Reinhard. Tangan anak perempuan itu terasa dingin. "Maaf... kami, memang bodoh." Jawab anak perempuan itu lirih. Ia menatap Reinhard seolah-olah meminta pertolongan.

Tak lama kemudian Rhygel dan beberapa pelayan pun kembali sambil membawa wadah berisi air dan handuk. Dengan telaten, Reinhard membasahi handuk dan memerasnya, lalu ia meletakkannya masing-masing di kening Charlotte dan Charlo.

"Kita harus bicara, Paman." Panggil Reinhard. Seolah tahu apa maksud Reinhard, para pelayan langsung bergegas keluar dan menutup pintu kamar.

Reinhard menghampiri Rhygel yang sedang terduduk lemas di atas sofa. Reinhard duduk di samping Rhygel. "Kenapa ini bisa terjadi?" Tanya Reinhard serius. Selama beberapa waktu, Rhygel juga masih belum menjawab.

"Sudah berapa lama mereka tidak keluar? Kenapa Paman tidak memeriksa mereka?" Pertanyaan Reinhard tentu menghantam Rhygel bertubi-tubi.

"Mereka sudah tidak keluar kamar semenjak kematian Permaisuri kemarin malam. Mereka mengamuk luar biasa. Tidak ada yang bisa mengganggu mereka. Sihir mereka itu, sangat mengerikan." Jelas Rhygel terengah-engah.

"Justru yang kelihatannya paling depresi di sini itu Paman, tahu." Ucap Reinhard sambil meninju pelan lengan Rhygel. Rhygel pun menatap Reinhard dengan bingung.

"Wah. Paman benar-benar tidak sadar?" Reinhard menatap Rhygel dengan tatapan tidak percaya.

"Hah. Bagaimana Paman bisa peka dengan orang lain, sedangkan Paman sendiri juga tidak peduli dengan diri sendiri? Wajah Paman itu sama pucatnya seperti mereka. Dan Paman menyebabkan aliran mana menjadi kacau, tahu. Makanya saat mereka mengamuk juga Paman tidak bisa menghentikannya." Jelas Reinhard panjang lebar.

Rhygel masih ternganga menatapi Reinhard. Dia tidak percaya. Yang menyebabkan semua kekacauan ini adalah Rhygel sendiri. Itu adalah fakta yang sulit dia terima.

"Intinya, Paman juga perlu istirahat. Sekarang berbaring di sini, aku akan merawat Paman." Ucap Reinhard sambil mendorong tubuh Rhygel hingga terbaring. Dia mengambil handuk baru lalu membasahinya dan meletakkannya di kening Rhygel.

"Keluarga stres." Cibir Reinhard kesal. Niat awalnya hanya untuk menghibur Charlotte dan Charlo. Tetapi ujung-ujungnya dia malah merawat tiga orang yang sedang mengalami depresi dan terkena demam ini.

Rhygel meraih tangan mungil Reinhard dan menggenggamnya. "Maafkan saya, Reinhard. Kali ini saya benar-benar melewati batas. Lebih baik kamu pulang sekarang, biar pelayan saja yang mengurus sisanya." Jelas Rhygel dengan perasaan tak enak.

Reinhard seketika menepis tangan Rhygel. "Orang sakit tidak berhak mengatur. Aku akan tetap di sini sampai kalian benar-benar pulih. Aku akan meminta izin ke ayah agar bisa menginap selama beberapa hari di sini." Jelas Reinhard.

Rhygel hanya bisa terdiam mendengar jawaban Reinhard. "Kenapa kamu berbuat sejauh ini?" Rhygel bertanya-tanya di benaknya.

Benar. Reinhard sebenarnya tidak punya kewajiban untuk membantu Rhygel. Tetapi Reinhard juga mempunyai alasannya tersendiri. Dia ingin menyelamatkan dunia dan dirinya, tentunya. Lalu, Reinhard hanya ingin memenuhi egonya. Dia merasa dia perlu merawat mereka. Makanya dia melakukannya. Itu saja.

"Tidak ada alasan khusus aku melakukan ini, Paman. Ini hanya karena simpati saja, tidak lebih. Malahan, kalau aku jadi kalian, sepertinya kondisi ku lebih parah lagi." Jelas Reinhard sambil mengganti handuk Charlotte dan Charlo.

"Tapi, mau kalian bersedih pake cara apapun, Permaisuri tidak akan hidup kembali." Reinhard berjalan pelan lalu berbaring di sofa. "Aku ingin istirahat sebentar. Kalau butuh sesuatu bangunkan saja."

...

Cahaya bulan perlahan memasuki pandangan Reinhard. Ruangan terlihat gelap dan redup. Ini bukan ruangan tempatnya berada tadi sore.

"Aku sudah tertidur berapa lama?" Gumam Reinhard sambil melihat sekeliling. Ini adalah ruangan yang berbeda. Siapa yang memindahkannya ke sini? Padahal sudah dia bilang kalau dia yang akan mengurus mereka.

"Jangan berani-beraninya kau melangkahkan kaki keluar dari ruangan ini." Suara tinggi dari seorang anak perempuan terdengar. Reinhard tahu ini suara siapa.

"Charlotte Elijah." Tatap Reinhard ketika menemukan sosok gadis itu sedang duduk di samping ranjang.

Charlotte mendorong tubuh Reinhard paksa agar ia kembali terbaring. "Kau bukan orang tua kami. Tidak usah sok mengurus seperti itu. Coba pikirkan dirimu." Ucap Charlotte ketus. Ini kah suara lirih yang meminta maaf pada Reinhard tadi?

"Kau tidak berhak mengatakan hal itu. Dan jangan mengguruiku juga. Bodoh." Reinhard tidak bisa menahan perkataannya.

"Iya. Aku tahu kami memang salah! Tapi memang tidak boleh aku khawatir padamu?" Tanya Charlotte galak.

"Khawatir boleh, tapi perhatikan perkataanmu, dong!" Seru Reinhard marah. Dia tidak menduga bahwa sosok Charlotte itu semenyebalkan ini.

"Ah. Maaf." Charlotte menundukkan kepala sambil menyisir rambutnya dengan jemarinya.

Reinhard ingin berteriak. Dia sangat frustasi. Apakah ini hal yang akan dia hadapi untuk kedepannya?

I Became the Incarnation of The Great MageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang