Pada tahun 2005, ada senyuman bocah manis yang baru selesai mandi tercipta begitu ceria. Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Dengan tenang membiarkan sang mama mengikat rambutnya menjadi dua bagian. Setelah rapi dengan pita pelengkap, ia menggoyang-goyangkan rambut senang. Kemudian meloncat-meloncat ke sana kemari.
"Awas jatuh, Aqila," tegur mamanya membuat Aqila berhenti.
Gigi rata bocah itu bersih, tidak ada kehitaman akibat kebanyakan makan manis. Ia tersenyum manis, menggoyangkan tangan mamanya seraya berkata, "Aqila mau sekolah! Mau sekolah! Kayak Mbak Ais, sekolah pakai seragam!" Ais yang dimaksud adalah anak dari tetangga mereka yang baru saja masuk TK.
Untuk ukuran anak umur tiga tahun, perkataan Aqila sangat jelas. Mamanya juga tahu jika anaknya itu memiliki perkembangan bicara yang sangat pesat dibandingkan dengan anak seusianya yang lain.
Polanya yang hiperaktif mendukung bocah itu memiliki keingintahuan yang besar. Bermodal sebuah kaset yang diputar melalui DVD, Aqila mampu menghafal abjad dari a hingga z. Anak itu juga sudah tahu bagaimana jarinya menunjukkan angka satu hingga sepuluh.
Melihat keantusiaan Aqila, Monica ingin sekali memasukkan gadis itu ke sebuah Paud. Namun, di Lumajang tempat pendidikan itu belum ada yang mendirikan, berbeda dengan di Jakarta sana.
"Mama mau sekolah ...," rengek Aqila kini bergelayutan di tangannya.
"Iya, Aqila, sabar. Nanti kita bicara sama Papa ya," ujar Monica membuat Aqila bersorak senang.
"Sekolah! Sekolah! Sekolah!" Aqila berlari memutari mamanya, lalu keluar kamar menyerukan kata yang sama.
Monica yang melihat anaknya begitu semangat jadi bahagia, sembari menggeleng kecil ia mengikuti gadis kecilnya ke luar kamar.
"Papa!!!" teriak Aqila saat melihat papanya pulang. Pria berjanggut itu langsung jongkok, menyambut pelukan putrinya.
"Seneng banget kayaknya hari ini, kenapa?" tanya Tony. Pria yang baru saja pulang dari bermain sepak bola bersama orang komplek itu melepas pelukan. Memperhatikan anaknya yang sudah wangi dengan bedak dan minyak kayu putih.
"Aqila mau sekolah!" teriak Aqila.
"Sekolah?" tanya Tony yang segera diangguki oleh Aqila lalu menatap istrinya.
"Kabulin aja, Mas. Masuk TK, belum ada Paud di sini."
Tony mengelus lengan anaknya, tersenyum ramah. "Aqila main dulu, ya, ke kamar. Papa mau bicara sama Mama." Aqila mengangguk patuh, lalu berlari ke kamar sesuai perintah papanya. Setelah putrinya itu menutup kamar barulah Tony menatap istrinya.
"Kamu yakin Aqila siap? Dia masih umur 3 tahun."
"Aqila itu cerdas, Mas. Dia mampu, kita sebagai orang tua harus mendukung perkembangan anak kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan Aku Seperti Mereka? | YUQI
Ficção Adolescente"MAJU SEMUA LO MASALAH! GUE PUNYA TUHAN! GUE PUNYA NENEK, KAKEK! GUE PUNYA OM IRWAN SAMA KELUARGANYA! GUE PUNYA SAHABAT! GUE GAK TAKUT SAMA LO!" Tentang Aqila yang sedang berperang dengan dunianya. °°° Aku tidak...