𝒻𝒾𝓋ℯ𝓉ℯℯ𝓃: 𝓉𝒽ℯ 𝒹𝒶𝓂ℯ 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝒹𝒶𝓂𝒶ℊℯ

64 11 2
                                    

Annaliese meminta Kallas untuk tidak mengekspos dirinya. Dia pernah melakukan hal yang tidak bisa dibilang buruk atau baik juga, jadi beberapa ksatria selalu menaruh kewaspadaan. Jadi Annaliese meyakini jika memori tentangnya bisa Kallas hapus dari otak semua orang, maka itu akan lebih baik.

Sedang untuk Harrison, adikmu itu, dia adalah pengkhianat. Bahkan Kallas tidak sudi memproyeksikan wajahnya dengan baik.

Hao hanya mendengarkan sebelumnya sampai dimana dia berhenti menyimak karena Jiwoong berhenti memberi penjelasan. Jiwoong saat itu bertanya, 'sudah kan?' dan tidak memberinya apapun lagi.

"Tapi itu belum semuanya," sedangkan Jiwoong sudah menyuruhnya kembali bergabung dengan anak-anak Mathopis lainnya di bawah. Disuruh menunggu di lapangan belakang kastil yang merupakan tempat latihan, berkuda, memanah, berpedang. Semuanya di satu tempat.

Dan dengan dipandu seorang pelayan, akhirnya Zhang Hao menyusul teman-temannya kesana.

"Wah, tempat ini gila!" saat tiba disana, Hao mendengar semua orang sedang mengagumi lapangan luas berhektar-hektar yang memuat semua kegiatan yang sebelumnya sudah dijelaskan.

Di satu sudut ada yang sedang berlatih memanah. Di sudut lainnya ada yang sedang berkuda, dua orang berkuda dengan pedang kayu di tangan mereka. Lalu sudut yang lain lagi, beberapa orang nampak sedang berlatih pedang.

Hao bergabung dengan anak-anak Mathopis dan menyaksikan setiap kegiatan disana dengan mulut ternganga. Setidaknya, sampai Jiwoong tiba dan mengatakan bahwa mereka akan mulai rutin mengikuti semua kegiatan itu sekarang.

"Serius?!"

Jiwoong kembali berpikir, meralat,"Ah tidak. Sepertinya, Yujin punya latihan yang lain. Dia tidak akan berlatih disini."

Sementara Yujin mengembangkan senyuman pongah, rekan-rekannya mencebik karena merasa itu tidak adil. Siapapun tidak ada yang mau terjebak dengan pedang kayu atau pedang sungguhan, apalagi kuda! Kalau ada latihan yang lebih baik, mereka akan memilih opsi tersebut!

"Heeei, jangan jadi pemalas!" sentak Jiwoong seperti saat sedang mengajar di kelas. Aksennya mirip membuat para pemuda disana merasa familier. Sepertinya, sebentar lagi akan ada ujian bahasa dadakan...

Tapi itu tidak mungkin. Kan Jiwoong bukan sedang mengajar di kelas.

Jiwoong berjalan menuju ke rak penuh pedang. Dia mengambil sebuah pedang kayu dan melemparnya tanpa aba-aba lagi ke arah para mantan anak muridnya. Gunwook berhasil menangkapnya meski dengan jantung berdebar tak karuan.

"Harusnya anda memberi sinyal!"

Jiwoong terkekeh."Harusnya kalian lebih siap dari pada itu. Ini, ambillah!"

Dan lemparan pedang selanjutnya bak hujan turun di musim semi.

❆ ❆ ❆

Berlatih dengan senjata sungguhan ternyata tidak mudah. Membutuhkan tenaga, kesabaran juga derai air mata dan sakit pinggang setelah seharian mendapatkan lawan keras berupa orang-orang dari kayu yang bisa hidup. Melawan makhluk seperti itu menjadi pengalaman terseram yang pernah mereka alami.

Walau menggunakan senjata dengan reflikasi berbahan kayu yang tidak begitu berat, nyatanya ini tidak seperti dalam permainan game online atau game konsol yang bisa mudah dikendalikan.

Belum lagi di tempat ini panas menyengat karena cukup dekat dengan gudang penempaan. Rasanya seperti bara-bara itu berterbangan tepat di atas kepala mereka.

"Aku tidak kuat!" Matthew berbaring lebih dulu bersama Taerae, mencari spot nyaman diantara tanah yang debunya kemudian menempel di pakaian latihan mereka.

Lower Point : 𝒮𝓃ℴ𝓌𝒻𝓁𝒶𝓀ℯTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang