BAB 26 ~ Anger

1.8K 38 0
                                    

Pagi hari yang cerah menyapa Ara dengan hangat. Mata Ara terbuka perlahan, dan keheranan langsung melanda dirinya. Di depannya, tampak wajah seorang pria yang membuat detak jantungnya berdegup lebih kencang. Ara memicingkan mata, mencoba mencerna apa yang tengah terjadi. Wajah itu sangat akrab, dan akhirnya, terbersit di benaknya bahwa pria itu adalah Aksa.

Ara terdiam, seolah waktu berhenti sejenak. Tangan Aksa memeluk pinggangnya, membuatnya terasa hangat, namun juga membuatnya membeku. Wajah mereka berada dalam jarak yang sangat dekat. Pikiran Ara kosong, sulit untuk memproses semua yang tengah terjadi.

Ketika Aksa membuka mata, keheningan itu terpecahkan oleh teriakan tiba-tiba dari Ara. "Apa yang kau lakukan di sini?!" pekiknya sambil mendorong Aksa dari tempat tidur. Ara menatapnya dengan pandangan campuran, campuran antara kebingungan dan kemarahan.

"Ara, aku..." ucap Aksa, berusaha menjelaskan, namun terputus oleh teriakan lebih keras dari Ara. "Pergi! Pergi sekarang juga!" bentaknya sambil menunjuk pintu keluar. Raut wajah Ara penuh dengan kebencian dan kekecewaan.

Aksa, meskipun terlihat terkejut, meresapi situasi dengan bijak. "Baik, aku akan pergi," ucapnya dengan suara lembut, mengalah dan bergerak menuju pintu kamar. "Aku tidak ingin membuatmu stress, terutama dalam kondisimu yang sedang hamil."

Ara menatap Aksa pergi, masih terdiam dalam kebimbangan dan kekecewaan yang tak terkatakan. Pintu kamar tertutup, meninggalkan Ara sendiri dalam keheningan. Isak tangisnya akhirnya terdengar, mencerminkan kekacauan emosinya. Aksa, di luar kamar, merasa getir melihat reaksi Ara, namun dia tahu bahwa keputusannya untuk pergi adalah yang terbaik demi kesehatan Ara dan bayi yang dikandungnya.

Aksa melangkah turun ke lantai bawah dengan langkah gontai, hatinya masih terbebani oleh pertemuan pagi tadi. Di ruang makan, dia menemukan Vera tengah duduk sambil sarapan.

Aksa mendekat dan bertanya, "Sejak kapan kau kembali?"

Vera menoleh ke arah Aksa, mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi heran. "Tadi malam," jawabnya sambil menelan sejumput makanan.

Aksa menyipitkan mata, protes, "Kenapa tidak membangunkanku tadi malam?"

Vera tersenyum sinis, "Aku bahkan tidak tahu jika kau bermalam di sini. Kau muncul dari kamar Ara tiba-tiba."

Aksa menghela nafas berat, merasa semakin terjepit dalam keadaan rumit ini. Vera menyadari kegelisahan Aksa dan bertanya lebih lanjut, "Bagaimana responnya? Teriakan Ara sampai ke sini."

Aksa menundukkan kepala dengan wajah sedih, "Buruk."

Vera mengangguk mengerti, "Aku sudah memperingatkanmu, Aksa. Jangan menunjukkan wajahmu di hadapan Ara, apalagi di kamar tidurnya."

Aksa meresapi kata-kata Vera, mengerti bahwa nasihat itu ternyata bermakna. Vera melanjutkan makan dengan tenang, "Kau harus memberinya waktu. Jangan membuatnya semakin sulit. Ingat, dia sedang hamil, Aksa."

Aksa mengangguk, merasa sesak dalam hati. "Aku tahu. Aku akan memberinya waktu," ucapnya dengan suara terdengar serak.

Vera, tanpa menunjukkan ekspresi simpati, tetap tenang sambil menyodorkan nasihat terakhir, "Baiklah, pergilah. Aku akan menjaga Ara di sini. Pastikan kau merenungkan tindakanmu."

Aksa bangkit dari kursinya, meninggalkan ruang makan dengan langkah berat. Dia tahu, perjalanan untuk memperbaiki hubungan dengan Ara tidak akan mudah, namun dia juga merasa bertanggung jawab untuk menjaga kesehatan dan ketenangan wanita yang sedang mengandung anaknya itu.

Setelah beberapa menit berlalu, Ara turun ke bawah dari kamar tidurnya. Rambutnya yang biasanya terurai panjang, kini tampak berantakan, menggambarkan betapa larutnya dia dalam tidur yang pulas. Wajahnya yang masih sedikit memucat menunjukkan tanda-tanda kantuk yang masih melekat di matanya, namun senyum kecil terukir di bibirnya saat dia melihat sekeliling, mencari tahu apakah pria itu telah pergi.

Langkahnya terhenti sejenak saat matanya menemukan Vera, yang sedang sibuk mencuci piring bekas makannya di dapur. Ara memastikan bahwa kehadiran pria itu tidak lagi ada sebelum melanjutkan langkahnya mendekati Vera dengan hati-hati.

Dengan ekspresi kesal, Ara langsung menanyakan pertanyaan yang mengganjal pikirannya, "Kau memberitahu pria itu keberadaanku?"

Vera menghentikan aktivitasnya sejenak, menatap Ara sebelum menyelesaikan cuciannya. Setelah itu, dia mengelap tangannya yang basah dan berkata, "Aku sudah menyiapkanmu sarapan."

Ara semakin tak sabar, "Jawab aku dulu, kau yang memberitahunya?"

Vera melemparkan senyuman kecil, "Dengar, kau sarapanlah dulu. Aku akan menunggu di ruang TV. Setelah selesai, aku akan menjawab semua pertanyaanmu."

Meskipun masih merasa sedikit kesal dengan kejadian semalam, Ara merasa cukup bijaksana untuk menerima tawaran Vera. Dengan langkah yang lembut, dia duduk di depan meja makan, menata piring dan peralatan makan dengan rapi. Aroma sarapan yang sedap menguar di udara, mengundang selera yang mulai terbuka.

Ara memulai sarapannya dengan perlahan, menikmati setiap gigitan makanan yang menggugah selera. Dia juga tidak lupa untuk meminum susu yang tersaji di sampingnya, merasakan kehangatan dan kesejukan yang menyegarkan di tenggorokannya. Setelah merasa cukup kenyang, Ara bangkit dari kursi dan bergerak menuju ruang TV, di mana Vera sudah menunggu dengan sikap yang tenang.

Vera memberi isyarat ramah kepada Ara untuk duduk di sebelahnya, dan keduanya mulai berbicara. Dalam suasana yang tenang dan nyaman, Ara merasa lega dapat membagikan perasaannya kepada Vera, sahabatnya yang setia dan pengertian.

Vera duduk di samping Ara dengan penuh perhatian, mencoba memberikan pengertian sekaligus mendukung sahabatnya. "Ara, yang aku lakukan ini bukan karena aku memaksamu atau mencampuri urusan pribadimu. Yang kulakukan ini demi kebaikanmu dan bayi dalam kandunganmu. Bayi itu butuh seorang ayah," ucap Vera dengan nada lembut.

Ara mendengus protes, mengelak dengan keras, "Aku tidak butuh pria itu, Vera. Aku masih ingat bagaimana Aksa mengira bayiku bukan dari dia, tapi dari pria lain. Dan aku bisa merawat bayiku sendiri."

Vera mengangguk mengerti, tetapi tetap teguh, "Aku tahu, Ara. Tapi yang paling penting sekarang adalah kesehatanmu dan bayimu. Biarkan Aksa berkontribusi, membantumu menjalani kehamilan ini."

Ara menggelengkan kepala dengan keras, "Aku tidak bisa, Vera. Aksa telah membuatku terluka begitu dalam. Aku tidak tahu apakah bisa memaafkannya atau tidak."

Vera menatap Ara dengan penuh empati, "Aku tidak memaksamu untuk langsung memaafkannya atau menerimanya, Ara. Tapi, pertimbangkanlah untuk kebaikanmu sendiri. Aksa mungkin telah membuat kesalahan besar, tapi bayi ini membutuhkan kedua orangtuanya."

Ara merenung sejenak, melihat ke dalam dirinya sendiri. Vera melanjutkan, "Biarkan Aksa menjagamu, terutama saat aku tidak bisa di sini. Aku juga harus menjalani tanggung jawab di bisnis keluargaku."

Perlahan, Ara mulai melunak. "Baiklah."

Walaupun Ara setuju, namun dia dengan tegas menyatakan, "Tapi bukan berarti aku akan langsung menerima atau memaafkannya, Vera. Keputusan itu tetap milikku."

Vera mengangguk mengerti, "Tentu saja, Ara. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu dan bayimu."

Mereka melanjutkan obrolan mereka, menggali lebih dalam tentang langkah-langkah yang akan diambil untuk mendukung Ara dan bayinya, serta memastikan bahwa kesehatan keduanya terjamin dalam kondisi apapun.

To be continue...

Jangan lupa vote ;)Follow IG: burnt

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa vote ;)
Follow IG: burnt.amberr
Username Karyakarsa : burntamber

Buat yang nggak tahan nungguin, kalian bisa langsung baca dari Bab 1 sampe Ending di Karyakarsa, lengkap! Link ada di profil yaa🎉

LimerenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang