17. Guide Him

3.1K 406 1
                                    

“Apa?”

“Shen dipindahkan ke ruangan lain.”

Atas info itu, Jelen yang baru saja sampai di rumah sakit—sebelumnya sempat pulang ke rumah bersama Raka—akhirnya terburu-buru masuk ke dalam ruangan Shen yang baru.

Saena ada di ruangan, tengah menyeka wajah Shen menggunakan handuk basah.

Ada yang berbeda dengan Shen kali ini: alat-alat penopang kehidupan.

Sekujur tubuh Shen ditempeli benda-benda asing yang sangat mencolok. Jelen saja sampai dibuat melongo kala melihatnya. Maksudnya, itu apa? Untuk apa? Bukankah hanya tinggal menunggu Shen sadar?

“Mommy,” Jelen memanggil.

Saena meliriknya sekilas. Walau sorot dinginnya tidak seperti saat lima tahun belakangan, kekosongan di kedua manik kelereng Saena tampak begitu jelas. Memendam segala macam perasaan yang campur aduk.

Jelen bersyukur Saena masih bisa menjaga kerasionalannya. Tidak drop dan bertingkah seperti orang setengah waras seperti dulu. Saena yang kini terlihat lebih dewasa menyikapi kondisi Shen, mengenai apa yang terjadi.

“Udah makan, Je?” tanya Saena, lembut.

Jelen mengangguk. “Udah."

Dan lagi, Jelen bersyukur Shen bisa mengubah kepribadian Saena kembali seperti dulu. Sisi keibuan yang selama ini Jelen khayalkan ternyata bisa dia rasakan kembali.

"Shen kenapa pindah ke sini?" tanya Jelen, pelan.

"Kejang-kejang. Kata dokter, kondisi Shen memburuk."

Hanya saja yang tidak Jelen syukuri: Shen harusnya tetap sehat sampai keutuhan keluarganya bisa kembali.

| 17. Guide Him |

Jum’at.

Sudah dua hari.

Dua hari sejak Shen kecelakaan.

Biasanya di hari Jum’at, ketika seluruh siswa di sekolahnya pulang jam 4 sore karena agenda pramuka, Jelen akan kabur bersama empat rekan kriminalnya. Sabtu Minggu libur, dan dia akan menghabiskannya dengan menginap di rumah salah satu sahabatnya, mabar semalaman atau nongkrong.

Bagi Jelen, Jum’at adalah pintu gerbang menuju kebebasan.

Kebiasaannya kabur tiap kali jam pramuka masih dia lakukan. Alasan kali ini didasari pada kondisi Shen yang masih belum menunjukkan kemajuan seperti yang diharapkan, sehingga dia ingin cepat-cepat pergi ke rumah sakit. Seluruh warga sekolah sudah tahu kabar Shen, beberapa mengatakan turut berduka cita, tetapi Jelen sepenuhnya mengabaikan. Dia tahu tipe orang bermuka dua yang di belakangnya akan berkata lain.

Mirisnya, rumah sakit seakan menjadi tempat favorit yang sering Jelen kunjungi, alih-alih café tempat tongkrongan.

“Gue nyusul abis Jum’atan, ya?”

Jum’at berkah ala Aldi yang dulunya anak pesantren adalah bisa melakukan sholat Jum’at bersama di sekolah: nanti kalau bertemu Pak Iqbal, nilai keagamaannya pasti aman. Lain lagi ala Jelen, Niki, Arga, dan Raka. Jum’at berkah adalah ketika mereka mungkir dari sekolah dapat nasi box di jalan, kalau lagi beruntung sekalian dapat kebab gratis.

“Minggu kemaren Ummi tau kalo gue nggak Jum’atan.”

“Bangsul!” Niki mengumpat. “Nggak urusan ya, njir! Udah dibilangin bakal ditunggu malah ikutan minggat.”

Arga juga menggeleng. “Ajaib lo, Al. Tuhan lo kalah saing sama agenda minggat.”

“Ummi lo pasti kecewa,” imbuh Niki menimpali.

Aldi mengangguk lesu. “Emang. Abi juga marah.”
Raka dan Jelen hanya saling pandang, kompak menggeleng.

“Ntar tungguin gue di warung Bang Ucup, ya?” Aldi memohon.

“Cemen,” cerca Niki.

Yang julid sebenarnya Aldi, tapi di situasi seperti ini, maha julidnya kehilangan harga diri.

“Al,” panggil Jelen, pelan. “Nyambi menuhin kewajiban, coba berdoa ke Tuhan lo, minta biar Shen diberi kesehatan.”

Aldi, Niki, dan Arga bungkam. Mendadak teringat lagi mengenai kejadian yang menimpa Shen.

“Gue udah berdoa, tapi seenggaknya…” Jelen menghela napas pendek. “… coba rayu Tuhan masing-masing buat kesembuhan Shen.”

Matsudaira Miburo.

Anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya bernama Matsudaira Hiro.

Soji—ayahnya—pernah mengatakan bahwa belajar sama halnya untuk kedewasaan. Meski tidak suka belajar, Hiro dan Miburo dipaksa untuk terus melakukan hal yang tidak disukai itu walau bertahap dan perlahan. Katanya sebagai latihan untuk membentuk pribadi yang dewasa.

Satu hal yang sulit dari belajar menurut Miburo: belajar merelakan.

Merelakan seseorang, mau sudah seikhlas apapun dia, tetap saja melanjutkan hidup tanpa sosoknya terasa sangat asing dalam beberapa waktu. Seperti saat Miburo kehilangan ibunya. Lalu kehilangan jati dirinya sebagai Miburo, bak bereinkarnasi menjadi Leo, yang namanya kehilangan tetap saja terjadi tanpa terkecuali.

Kehilangan Sean.

Lalu Sean yang kehilangan jati diri juga—menjadi Shen. Kini Leo dihadapkan pada kehilangan sosoknya lagi.

Ruangan begitu hening saat Leo melangkah masuk. Tidak ada suara apapun atau tanda-tanda kehidupan kecuali pemandangan dada bidang yang bergerak naik turun seirama dengan alat bantu pernapasan.

“Shen,” sapa Leo, pria itu melepas dasi yang mencekik lehernya sembari mendekati Shen.

“Daddy kemarin mimpiin kamu.”

Leo memimpikan kejadian saat Jelen dan Shen berdebat di dalam mobil dua hari yang lalu. Tetapi alih-alih Shen duduk di jok belakang bersama Jelen, di dalam mimpinya, Shen duduk di sebelahnya, di kursi samping kemudi.

“Kamu sakit kepala di mimpi itu,” ucap Leo, sendu. “Kamu juga linglung.”

“Sebenernya ada apa, Shen? Kamu mimpiin apa, Nak?”

Leo meraih tangan Shen, digenggamnya erat. “Nanti kalau kamu bangun, maunya dipanggil Sean atau tetep Shen, hm?”

Upaya yang dilakukan Leo sama dengan yang kemarin Jelen lakukan. Mungkin saja Shen akan merespons dengan menggerakkan jarinya lalu terbangun.

Leo tidak berhenti bercerita. Kali ini perihal kegiatannya sehari-hari.

Di dalam bawah sadarnya, sesosok perawakan jangkung berdiri di sebuah ruangan gelap. Atap, dinding, dan sekeliling berwarna hitam. Seperti arang menetap dalam seluruh sisi ruangan, tanpa pencahayaan sedikitpun, dia bahkan tidak bisa melihat tangannya sendiri yang dia angkat sampai depan mata.

“Daddy kemarin mimpiin kamu.”

Dia menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari tahu asal muasal suara sayup itu berasal.

Seingatnya, dia sendirian sejak mimpi terakhirnya yang begitu blur dalam ingatan. Entah mimpi apa. Dia lupa. Dan dia tidak bisa mengingat-ingat.

“Kamu sakit kepala di mimpi itu. Kamu juga linglung.”

Suara siapa itu?

Sebenernya ada apa, Shen?”

Dan begitu menggema…

“… Sean atau tetep Shen?”

Dia, dengan wajah kalut yang begitu kentara, menjawab lirih. “Dad… ini Sean.”

“Ayo bangun!”

“Daddy, Mommy, sama yang lain nunggu kamu sadar, loh. Bangun…”

“Dad?” bibirnya bergetar, sekujur tubuhnya gemetar.

“… Kiseki.”

Keajaiban.

| NAVILLERA|

NAVILLERA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang