54

12.7K 1.3K 116
                                    

Typo
Vote dulu, gan. Matursuwon.

__________________________________

Selamat membaca.
_____________________________________

Mahendra dan Galang tersenyum lega, akhirnya mereka bisa bebas dari sel tahanan karena bukti yang Zeo kirimkan pada polisi malam tadi, ia juga terkejut mengetahui dalang ini semua adalah Farzan, sahabatnya sendiri. Sebelum keluar dari kantor polisi, ia menyempatkan dirinya untuk menjenguk Farzan. Terlihat Farzan yang nampak melamun dengan pandangan mata yang kosong.

"Zan!" Tegur Mahendra, membuat Farzan mengalihkan pandangannya. Kemudian melengos.

"Seneng kan, lo?" Ujar Farzan dengan sewot, membuat Mahendra menghela napasnya.

"Gue bahkan gak ada rasa seneng sedikit pun lihat sahabat gue sendiri masuk sel tahanan. Apa yang bikin lo dendam sama gue, Zan? Karena bokap lo sering ngebanding-bandingin lo sama gue saat nilai lo turun?" Farzan dibuat terdiam oleh ucapan Mahendra.

"Seenggaknya masih ada mama lo sama Rio yang masih belain kan, Zan? Apa yang bikin lo iri sama gue? Orangtua aja kagak peduli sama gue. Gue juga ditekan papa buat jadi lebih unggul tapi setidaknya lo masih dapet kasih sayang, Zan. Gue? Mama sama papa nanyain kabar gue sama Kanaya aja kagak pernah. Lo pikir gue nakal, suka tawuran gini gak ada alasannya? Ada lah, gue mau mama sama papa gue pulang dan marahin gue, bukan asistennya yang malah negur gue," ujar Mahendra.

"Padahal kita udah sahabatan dari kecil, tapi lo belum bisa memahami gue, Zan." Mahendra menggelengkan kepalanya, kemudian melangkah menjauh. Namun langkahnya kembali berhenti dan menoleh ke belakang, Farzan tampak miris, namun ini lah hukuman yang harus dirinya tanggung.  Mahendra pun melanjutkan langkahnya, sekarang tujuannya adalah pergi ke makam Rio.

__
_______________________________________

Daksa mengernyitkan dahinya kala mendapati dirinya yang masih berada di ruangan Dikta dan di ranjang yang berbeda. Tangannya juga terdapat infus. Ia menoleh, mendapati ke empat pria dewasa yang merupakan orangtua mereka dan juga Iden yang tidur bersama Dikta di ranjang.

"Daksa juga akhir-akhir ini sering pingsan, bikin parno. Waktu gue suruh periksa dia gak mau," ujar Carel. Dikta yang sedang menepuk-nepuk pantat Iden pun hanya bisa meringis mendengarnya. Ingin memberitau tapi takut kena marah karena sudah menghamili Daksa. Selain itu mereka juga masih duduk di bangku kelas 11. Tapi cepat atau lambat mereka akan tau.

"Tapi dokter tadi bilang dia cuma kecapekan dan banyak pikiran aja, Rel," ujar Vanko.

"Udah Rel, yakin Daksa gak bakal kenapa-napa. Mungkin dia kepikiran sama Abil. Dulu kan si Abil anaknya manis banget tuh, sekarang jadi bringas," sahut Iqbal.

Dikta menoleh ke ranjang sebelahnya yang kemarin malam ayahnya minta untuk tempat tidur Daksa yang kemarin pingsan.

"Asa..... " Suara panggilan Dikta membuat ke empat pria dewasa itu mengalihkan pandangannya. Carel yang melihat Daksa sudah sadar pun menghampirinya.

"Sa, gimana? Ada yang sakit?" Tanya Carel yang dibalas gelengan oleh Daksa.

"Mau duduk, gak?" Tawar Iqbal. Lagi-lagi Daksa menggeleng.

"Mau tidur di samping Dikta kayak Iden," pintanya.

"Gak muat kalau kamu ikutan tidur di sana, tangan kamu juga masih diinfus," ujar Carel membuat Daksa merengut.

"Ayo sarapan dulu." Iqbal mendekatkan nampan berisi nasi dan lauk pauk dari rumah sakit.

"Mau disuapin Dikta," pinta Daksa. Dikta yang mendengar itu pun tertawa.
Kemudian Dikta meminta tolong ayahnya agar ranjang mereka berdua disatukan, dengan itu Dikta bisa menyuapi Daksa tanpa harus turun dari ranjang.

D' DOMINANT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang