01-2: Surat Permohonan

287 82 377
                                    

BYUN mendadak tidak berselera

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BYUN mendadak tidak berselera. Selama hampir sepuluh menit, Byun hanya membolak-balikkan daging sapi mentah di atas niku tare; nama lain dari saus berwijen. Byun mulai berhenti begitu mata sipitnya mendapati botol anggur di tangan Wendy. "Tunggu, bukankah itu harta karun favoritmu? Kau yakin ingin membukanya sekarang?"

"Untuk merayakan dirimu yang baru saja dipecat, kurasa tidak ada salahnya." Kemudian Wendy memilih satu-satunya tempat paling nyaman, duduk di samping Byun. Dengan karpet bulu sebagai alas. "Terlebih kau tidak menghabiskan wagyu A5 yang kubeli. Semangatmu saat memandangi daging-daging indah itu pun hilang entah ke mana. Atau dengan kata lain, kau sedang banyak pikiran."

Byun meletakkan sumpit ke tempat semula, sementara potongan tipis berlapis marbling dibiarkan tenggelam di mangkuk saus. Wendy benar. Saat ini Byun memang sedang banyak pikiran. Namun, kehilangan pekerjaan bukanlah penyebab dari Byun yang melamun di depan TV.

"Kalau kau punya pacar atau mungkin calon suami, apa manajer sialan itu akan berhenti mengganggumu?" ucap Byun pada akhirnya, dan tentu kata-kata Byun membuat Wendy terkejut.

"Maaf atas pertanyaan anehku." Byun cepat-cepat meluruskan. Rasanya sungguh malu mengatakan sesuatu yang 'mungkin' tidak perlu. "Sebenarnya aku sedang memperkirakan beberapa kemungkinan. Seperti jika aku memilih metode A, apa hasilnya akan memiliki sedikit risiko. Bagaimanapun, sebelum Jin-seok benar-benar lenyap dari pandanganmu, aku tidak bisa makan wagyu dengan tenang. Namun yang menjadi kendala, aku tidak terbiasa memakai cara lembut. Di otakku hanya ada 1001 cara menghilangkan nyawa."

"Meski begitu aku berjanji," Byun melanjutkan. Ditatapnya koki asal Kyoto itu lekat-lekat. "Sebisa mungkin aku akan menghilangkan rasa takutmu tanpa harus ...."

"Byun, kalau kau pikir aku takut pada Jin-seok, kau salah besar."

Ruangan di mana keduanya menghabiskan separuh malam, seketika diselimuti keheningan. Aliran waktu seolah berhenti di dalamnya. Begitu juga Byun yang tiba-tiba terpaku; otak Byun masih memproses kenyataan yang ada. Byun sama sekali tidak menyangka bahwa Wendy akan berkata sedemikian tenang. Keberadaan Jin-seok bahkan tidak dianggapnya sebagai ancaman.

Atau selama ini justru Byun yang salah paham tentang Wendy?

"Ta-tapi kau bilang manajermu itu bertingkah seperti seorang penguntit?"

"Level Jin-seok tidak ada apa-apanya," kata Wendy meremehkan. "Karena jauh sebelum mengenal dia, aku lebih dulu dekat dengan bahaya."

"Bahaya?"

Kedua sudut bibir Wendy tertarik ke atas. "Benar. Bahaya yang kumaksud adalah dirimu, Byun. Selama empat belas tahun, ah tidak, bahkan sampai detik ini aku masih berteman baik dengan seorang pembunuh bayaran."

Pembunuh bayaran, ya? Byun menyandarkan punggungnya pada sofa. Mendengar dua kata yang sudah dikuburnya berbulan-bulan lalu, membuat Byun tergelitik geli. Byun tak sanggup menahan tawa. "Setelah mengkhianati ayah angkatku dan organisasi, aku yang sekarang hanyalah pria biasa kau tahu? Tidak pernah lagi ...."

Kalimat Byun tiba-tiba tertahan. Begitu menoleh ke sisi kiri, Byun mendapati Wendy yang tengah menatapnya tajam; dan hal tersebut berhasil membuat Byun berhenti membual. "Oke, baiklah. Beberapa jam lalu aku memang menghilangkan nyawa orang. Tujuh lebih tepatnya. Tapi tidak ada yang membayarku, sungguh. Aku melakukannya dengan sukarela."

Berita baiknya, yang Byun habisi adalah para cecunguk kota. Wisatawan yang datang ke Seoul sering dibuat resah oleh ulah mereka.

"Oh ya ada hal yang harus kuluruskan," seru Wendy. Mencoba kembali ke topik awal. "Satu-satunya yang tidak bisa kuatasi di sini hanyalah rasa tidak nyamanku terhadap Jin-seok. Singkat kata, ketidaknyamanan yang kurasakan berbeda dengan definisi takut itu sendiri."

"Dan mungkin dengan melakukan aktivitas bersamamu, Byun, bisa mengalihkan ...." Di sela-sela keisengannya memainkan piring di meja, Wendy yang dikenal sering menutup-nutupi perasaan, tanpa sadar mengungkapkan isi hatinya di depan Byun.

Di balik masalah yang menimpa Wendy akhir-akhir ini, sejujurnya Wendy amat membutuhkan kehadiran Byun. Berharap pria dengan tinggi 179 cm itulah yang menemani Wendy sepanjang waktu, bukannya Jin-seok.

Namun, tiga hingga lima detik kemudian, Wendy menyadari ada yang salah dari ucapannya.

Melakukan aktivitas bersama Byun? Berdua? Malam-malam? Di apartemen?

Bodoh! Apa yang baru saja aku katakan?! Kenapa rasanya seperti aku sengaja memancing Byun untuk bercinta?

Untuk beberapa alasan, Wendy tidak berani menatap mata si lelaki. Wendy malah pura-pura menyibukkan diri, mengambil botol anggur lalu menuangkan isinya ke gelas. "Sepertinya aku terlalu banyak bicara. Bagaimana kalau kita mulai pestanya dan ...."

"Mau tidur bersama?"

"Byun, kau tahu ini belum terlalu ma ... ah tunggu, a-apa?"

Entah apa yang dipikirkan Byun sampai-sampai menawarkan 'solusi kurang ajar' pada Wendy, dan entah dari mana keberanian tersebut berasal, tetapi yang pasti Byun sudah mengikis jarak. Tangan Byun pula mulai bergerak, menyatu dengan jemari Wendy. "Sejujurnya aku tidak memiliki ide. Tapi dengar-dengar, tidur sambil dipeluk seseorang bisa membuat hati lebih tenang."

"Dalam kasusmu." Byun semakin mendekatkan wajah. "Pengaruh buruk Jin-seok akan hilang selamanya."

Mati-matian Wendy menelan ludah. Sikap Byun malam ini hampir membuat sang koki restoran kehilangan seluruh kewarasannya. Di saat bersamaan, sentuhan lembut Byun membangkitkan sesuatu di dalam diri Wendy. Wendy menyebutnya sisi memalukan yang tak seharusnya diperlihatkan; sebagai perempuan yang selalu dicap tomboi dan urakan, sebenarnya Wendy masih mendambakan cinta dari lawan jenis.

"Byun."

"Ya?"

"Bahkan jika kau melakukan hal lain, aku sama sekali tidak keberatan," ucap Wendy, yang pada akhirnya gagal memerangi keadaan.

Memasuki jam satu pagi, keduanya tenggelam dalam gairah. Melakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan selama 14 tahun berteman.

Dan di garis waktu yang sama, seseorang yang tak terlihat sedang menulis surat. Ia berada di tempat yang sulit dijangkau akal.

Meski begitu, surat yang ditulisnya ditujukan untuk Byun.

"Bagaimana? Apa kau sudah menentukan pilihan?"

"Su-sudah. Ini, si-silakan."

"Kau memilih manusia bernama Byun Liavin? Tapi, kenapa harus repot-repot menulis surat? Surat ini tidak akan sampai padanya kau tahu?"

"Hah? Ti-tidak akan sampai? Bu-bukankah ...."

"Sepertinya kau salah menerima informasi, tapi lupakan saja. Setidaknya dengan adanya surat ini, aku bisa memahami isi hatimu. Kalau begitu, permisi. Aku akan membacanya."

"Te-terima kasih, maaf merepotkan."

"Manusia penuh dosa sepertimu, yang menganggap nyawa sesamanya sebagai mainan, bisakah kau meneruskan kisah hidupku? Duniaku berada begitu kejam. Aku tidak sanggup melawan rasa kesepian ini lebih lama. Sendirian lebih menakutkan daripada mati."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
REVIVE: BUT MY AGE BECOME 14 YEARS YOUNGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang