Hidupnya tiada berharga.
Setelah hidup selama tujuh belas tahun, melewati berbagai macam siksaan dan penindasan; duka dan lara; jatuh, lantas bangkit hanya untuk dibuat hancur lebih parah; kini Sera benar-benar dibuat sadar bila hidupnya sama sekali tidak berharga.
"Apa gue coba lompat dari sini aja, ya?" Sera bergumam, memegang sisi jembatan lebih erat, mencondongkan tubuh ke depan, menatap ke bawah—tepat ke aliran sungai berarus deras dengan air coklat keruh.
Rambut hitam panjangnya menari-nari tertiup angin. Mata hitamnya yang redup menatap kosong. Wajahnya yang rupawan kehilangan rona. Dia benar-benar kehilangan semangat untuk hidup setelah terancam kehilangan pekerjaan, terusir dari kontrakan, dan dikeluarkan dari sekolah akibat ulah para orang kaya yang berkonflik dengannya.
"Tapi ...." Sera mundur selangkah. Melepaskan pegangan pada sisi jembatan. Tertawa hambar diikuti bahu yang meluruh perlahan. "Rasanya terlalu sayang buat mati karena mereka. Nyawa yang Ibu kasih terlalu berharga buat dibuang dengan sia-sia demi manusia-manusia gak guna kayak mereka."
Sera cukup tahu diri. Ibunya mati demi menyelamatkan Sera. Karenanya, walau hidupnya tidak berharga dan tidak diinginkan siapa pun, dia tidak boleh menyia-nyiakan nyawa yang diperoleh dengan merampas hidup ibunya sendiri seperti ini.
Dia harus hidup dengan baik dan mati ketika waktunya mati. Mau sekejam apa pun dunia padanya, Sera harus berjuang untuk tetap hidup. Itu bentuk terima kasih paling layak untuk ibunya yang rela mati demi Sera.
Terbiasa diabaikan dan tak didengar membuat Sera memiliki keyakinan bila dia tidak seberharga itu sampai-sampai memiliki hak untuk bersuara serta menentukan pilihan perihal hidupnya sendiri. Jadi, tak ada yang bisa Sera lakukan selain melanjutkan apa yang seharusnya dia lakukan—tetap hidup sebagaimana seharusnya.
Sera menghela napas panjang, menyisir rambut ke belakang dengan jemarinya, memandang lurus ke depan dengan senyuman yang perlahan terbit. "Ibu lihat, 'kan? Aku gak jadi mati. Aku memutuskan buat tetap hidup seperti keinginan Ibu. Jadi, jangan sedih dan khawatirin aku karena anak Ibu gak selemah itu."
Sera menatap arus sungai untuk terakhir kali sebelum berbalik dan melangkah menjauh. Namun, baru juga tiga langkah berjalan, tapi kaki Sera sudah dibuat berhenti akibat sepasang tangan asing yang mendarat di kepala dan menjambak rambut Sera penuh amarah.
Sera yang tidak memiliki waktu untuk mengelak, terpekik kaget hingga jatuh terduduk lantaran jambakan yang kuatnya bukan main. Dia meringis, lantas berusaha melepaskan diri meski hasilnya nihil.
Sera menyembur marah, "Lepasin! Gue belum buat ulah apa pun hari ini, jadi kenapa gue dijambak?!"
Sera berusaha melihat rupa pelaku di sela perjuangan membebaskan diri. Walau penampilannya seperti lelaki yang tidak ada feminim-feminimnya, Sera yakin yang menjambaknya ini perempuan tulen. Meski mengenakan kaos putih dibalut kemeja hitam kotak-kotak yang sengaja tidak dikancing, mengenakan tindik, rambut pendek sebahu, serta wajahnya yang terbilang tampan dibanding cantik, Sera tetap yakin bila orang ini adalah perempuan.
Terlepas dari itu semua, satu hal yang Sera yakini, dia tidak pernah sekali pun berurusan dengan gadis gila ini. "Gue gak pernah nyari masalah sama lo! Ngapain lo nganiaya gue?!" teriak Sera murka. "Lepas!"
"Dasar author sialan!" itu kalimat pertama yang terucap dari si gadis berambut pendek—setelah sekian lama mengatupkan bibir—dengan suara keras serta cempreng. Kian menguatkan jambakan hingga kulit kepala Sera panas seolah semua rambutnya dicabut paksa. "Kenapa lo bikin akhir kayak gitu?! Gue gak terima! Gue beneran gak terima Xenon gue mati dengan cara kayak gitu! Gue gak mau tau, lo harus bikin dia hidup lagi gimana pun caranya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Taming a Villain
Fantasy"Kamu milikku. Selamanya milikku. Karenanya, jangan pernah berpikir untuk pergi, sebab jika itu terjadi ... kamu akan melihatku mati." *** Seraphina Isolde Lenora tidak pernah mengira akan mati konyol sesaat setelah memutuskan untuk tetap hidup. Ent...