"Kau bukan orang asli Lumina?" Itu yang Lysander katakan untuk pertama kali setelah berhasil menguasai tubuhnya—yang sempat mematung—kembali. Wajah yang awalnya dipenuhi ketegangan dan ketidakpercayaan ketika bibir Sera menyentuhnya dengan sangat kurang ajar berubah santai seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya.
Lysander meletakkan kedua lengan di sisi Sera, mengungkung si gadis agar tidak kabur dari kejaran lagi. Mata birunya yang bersinar di kegelapan memantulkan rasa penasaran teramat besar pada Sera, membuat Sera—lagi-lagi dan entah kenapa—dikuasai malu.
Seandainya Sera bisa berkomunikasi dua arah sedari tadi, dia tidak akan melakukan hal segila ini. Yah, meski Sera tidak bisa menyangkal bila karena tindakan tidak tahu malunya membuat Sera masih bisa hidup sampai detik ini.
"Ucapanmu belum fasih dan ada beberapa kata yang tidak aku mengerti."
Sera mengatupkan bibir rapat, enggan membalas pertanyaan-pertanyaan yang terus Lysander lontarkan. Memang sedari ciuman terlepas, Sera terus terdiam seolah kehilangan tenaga hingga untuk mengeluarkan sepatah kata pun tak sanggup. Bahkan ketika ada kesempatan untuk melarikan diri, Sera masih tetap mematung di tempat dengan pandangan kosong. Seakan kakinya dipaku pada aspal yang tertutup salju.
Selain itu, Sera juga baru sadar jika dirinya bisa mengerti dan berbicara dengan bahasa yang baru dia dengar untuk pertama kali—bahasa Lumina, bahasa asli kota ini. Meski awalnya terkejut, tapi Sera tidak penasaran. Dia hanya berpikir kemampuan berkomunikasi ini diberikan oleh malaikat yang dia temui sebelumnya.
Meski nyebelin, tapi gue maafin karena ngasih gue kemampuan buat berkomunikasi sama orang-orang di sini. Walau gue gak yakin apa kemampuan ini bisa gue pake atau enggak.
Seandainya sang malaikat tidak memberi kemampuan ini, sudah dapat dipastikan Sera akan mengutuknya tiap hari. Dan jika seandainya mereka bertemu kembali, Sera akan memukulinya sampai puas. Itu yang Sera pikirkan, tapi untunglah dia tidak perlu membuang tenaga untuk melakukan semua yang sempat dia bayangkan itu.
"Mendadak bisu, heh?" Lysander menarik sudut bibir ke atas, tersenyum sabar menghadapi Sera yang sedari tadi hanya diam dan menguji kesabarannya.
Sera mengerjap beberapa kali, lalu menatap bola mata biru Lysander yang mempesona dalam diam. Sadar bila kesabaran pemuda itu nyaris habis, Sera membuka suara. "Apa urusannya sama lo? Ke–kenapa lo mau bunuh gue?"
"Tolong gunakan bahasa Lumina," pintanya dengan suara halus yang mampu membuat seluruh tubuh Sera merinding hebat.
Sera masih diam. Dia malah menatap wajah Lysander dengan intens. Menilai seberapa banyak korban yang berhasil mengembuskan napas terakhir di tangannya. Dengan wajah setampan ini, Sera yakin banyak wanita yang melempar dirinya sendiri pada pelukan Lysander dan berakhir mati.
Memang bagi Sera sekalipun, Lysander sangat tampan. Badannya tinggi-tegap, rambutnya putih keperakan, mata birunya yang senantiasa menatap tajam begitu mempesona, kulitnya putih bersih, rahangnya tegas, hidungnya mancung. Tipikal wajah orang Eropa yang menggoda. Jika sedang tidak berada dalam situasi mengerikan, Sera yang anti-romantic sekali pun akan jatuh cinta pada pandangan pertama.
Namun, sayangnya, ketampanan yang begitu menyilaukan ini tiada berarti saat ini. Bahkan dengan wajah dan aura seperti malaikat pun, Sera masih dibuat ketakutan hanya dengan memandang wajahnya saja.
"Kenapa kau ingin membunuhku?" tanya Sera dengan suara pelan nyaris berbisik setelah sesaat terdiam. Suaranya parau dan putus asa. Wajahnya yang pucat memerah, sedangkan matanya mulai berkaca-kaca. "Kita tidak saling kenal d–dan ... kau tau sendiri ... membunuh adalah sebuah kejahatan," lanjutnya dengan bibir bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taming a Villain
Fantasy"Kamu milikku. Selamanya milikku. Karenanya, jangan pernah berpikir untuk pergi, sebab jika itu terjadi ... kamu akan melihatku mati." *** Seraphina Isolde Lenora tidak pernah mengira akan mati konyol sesaat setelah memutuskan untuk tetap hidup. Ent...