Sera mati beberapa waktu lalu.
Sera yakin dia telah mati kala terjatuh dari jembatan dan tenggelam di sungai kotor nan bau. Sera pikir dia akan menghilang begitu nyawanya tercabut dari raga; tidak akan pernah membuka mata atau menarik napas lagi.
Namun, apa-apaan ini?
Sera masih hidup. Tubuhnya utuh tanpa kurang satu apa pun. Matanya bisa terbuka dan berkedip tanpa perlu bersusah-payah. Bisa bergerak sesuka hati. Dan yang lebih penting dari apa pun, tidak ada luka di tubuh yang terbalut gaun putih polos; dia juga tidak merasa sakit ataupun pegal.
Padahal secara logika, mengingat betapa kerasnya tubuh Sera terbawa arus dan membentur bebatuan besar, seharusnya Sera babak-belur dengan luka di mana-mana. Namun, apa ini? Jangankan luka, Sera malah merasa jauh lebih segar dari sebelumnya.
Aneh.
Sera tidak dapat mengerti. Kemudian, untuk memastikan pemikirannya tidaklah salah, Sera menaruh telunjuk di bawah hidung, lantas berkata, "Oh, ternyata gue beneran mati." Dia menurunkan tangannya kembali ketika tidak merasakan napas yang terembus dari lubang hidungnya. Bergumam, "Dengan arus sederas itu, adalah sebuah keajaiban kalau gue bisa tetep hidup."
Sera menatap kanan-kiri; atas-bawah; dan depan-belakang hanya untuk mendapati ruang putih besar tanpa ujung ditemani kesunyian yang memekakkan telinga. Sendirian. Tanpa ada satu pun sosok selain Sera di ruang serba putih ini yang secara perlahan membuatnya panik.
Sadar akan kesendiriannya, Sera berlari ke sana-kemari dengan harapan bisa keluar dari tempat ini. Sayangnya, sekeras dan secepat apa pun berlari, Sera hanya mendapatkan hasil jika dirinya tidak pergi ke mana-mana; masih terjebak di ruang putih yang perlahan membuatnya gila.
"Halo?!" Suara teriakan Sera bergema dan memantul dari segala penjuru. Kepalanya celingukan juga kakinya masih mengayun tanpa kenal lelah tatkala melanjutkan, "Apa ada orang di sini?!"
Selepas gema terakhir, ruangan kembali sunyi. Sangat sunyi hingga menyadarkan Sera jika dirinya benar-benar seorang diri. "Apa ini alam setelah kematian yang sering orang-orang bicarain?" Sera berjongkok, lantas memiringkan kepala kebingungan. "Tapi, ini gak mirip sama penggambaran surga atau neraka kayak yang mereka bilang."
"Sebab ini bukan keduanya."
Menyadari gumaman kecilnya mendapat balasan, Sera tercengang. Matanya membulat sempurna dengan mulut menganga. Lekas berdiri dengan kepala berputar ke sepenjuru ruang—mencari pemilik suara. "L–lo siapa?"
Tidak ada jawaban. Hanya terdengar jentikan jari sekali, lalu dengan tiba-tiba lantai yang Sera pijak berubah menjadi sulur-sulur hitam yang merayap naik ke tubuh tanpa bisa dilepas sekeras apa pun berusaha. Suara gemuruh terdengar, lalu retakan terlihat dari bawah kaki. Terus membesar seiring detik berterbangan.
Jantung Sera yang mati seolah berdebar kencang ketika sulur-sulur yang terasa dingin sekaligus menjijikan kian melilitnya dengan kegelapan. Matanya melotot horor, tidak menyangka akan menerima siksa atas semua perilaku buruk semasa hidupnya dulu secepat ini.
Semakin tubuhnya terselimuti kegelapan, semakin Sera sadar bila sewaktu hidup selalu bertindak seenaknya. Atas dasar hidupnya yang menyedihkan, Sera selalu melakukan hal-hal buruk dan bertindak kurang ajar. Dia menyesal tidak pernah berlaku baik pada orang-orang di sekitar.
Kalau kehidupan selanjutnya beneran ada, kalau yang namanya reinkarnasi itu nyata, dan kalau gue terlahir sebagai manusia, gue janji bakal jadi anak baik yang rendah hati dan suka menolong. Gue bakalan jadi sukarelawan setiap dibutuhin, gak bakal marah-marah terus, dan gak bakal kurang ajar lagi. Walau semasa hidup gue gak percaya sama keberadaan Tuhan, tapi di kehidupan selanjutnya, gue bakalan jadi hamba yang taat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taming a Villain
Fantasy"Kamu milikku. Selamanya milikku. Karenanya, jangan pernah berpikir untuk pergi, sebab jika itu terjadi ... kamu akan melihatku mati." *** Seraphina Isolde Lenora tidak pernah mengira akan mati konyol sesaat setelah memutuskan untuk tetap hidup. Ent...