20

589 43 8
                                    

HAPPY READING!

❣️❣️❣️

16 hari yang lalu - Belleville of Chitran Residence.

"Mas Rara!" Rahadyan menoleh dan ia dapat melihat sosok perempuan feminim yang tengah tersenyum kepadanya.

Itu dua minggu yang lalu, disaat ibunya datang dan menyuruh agar dia mau melanjutkan hubungan kencannya dengan Erika, sepupu Ferdi. Rahadyan hanya dapat tersenyum tipis menanggapi sapaan itu.

"Udah lama nunggu? Maaf yah, persiapan ku memang agak terlambat," Ia berujar tak enak hati, namun Rahadyan tak mempermasalahkan itu, segera dia membuka pintu mobilnya di ikuti oleh Erika yang duduk tepat di sampingnya.

Mereka akan pergi berkencan, entah kemana, Rahadyan tidak terlalu memedulikan hal itu.

"Mas udah sarapan?"

"Iya."

"Aku belum, gimana kalo kita singgah di cafe? Setelah belokan nanti bakal ada cafe, Makanannya enak-enak loh, apa lagi kukisnya, mas harus coba!" Erika berujar antusias.

"Saya gak makan manis."

"Oh?! Kalo gitu gimana kalau kita makan di restoran depan aja? Ada sup jagung, gak manis kok, rasanya gurih, mas mungkin bakalan suka," Erika tersenyum begitu manis, sementara Rahadyan hanya mengangguk enggan. Ini benar-benar menyebalkan, bahkan sampai waktu makan malam berakhir, dia baru dapat menghembuskan nafas lega sebab itu merupakan agenda terakhir mereka.

Di perjalanan pulang, Rahadyan sebenarnya hendak mengunjungi rumah sakit, tapi dia belum mengumpulkan keberanian untuk berbicara kembali pada Tressa yang mungkin sudah benar-benar muak padanya. Apalagi dia sadar bahwa mungkin mamanya mengirim seseorang untuk mengawasi pun menjaga dirinya. Rahadyan menghela nafas panjang, dia lelah, dan besok akan ada agenda ke Inggris sebab adik sepupunya ; Rakyan, memiliki beberapa permasalahan dengan pihak sana terkait pembangunan mereka di Singapura.

Pria itu mendengus kesal, dia tidak tau mengapa para pimpinan di Chitran begitu memprioritaskan pembangunan tersebut hingga menyebabkan lahan konstruksi untuk proyek perumahannya menjadi terbengkalai.

Rahadyan membanting stir untuk segera pulang dan mengistirahatkan diri.

Dua minggu lebih, laki-laki itu benar-benar disibukkan oleh setumpuk pekerjaan, apalagi begitu ia mendapatkan desakan dari para anggota direksi mengenai proposal miliknya yang tak juga di realisasikan dengan cepat, sementara pihak pemasaran sudah terlanjur mempromosikan dan di setujui oleh pihak atasan mereka.

Dia benar-benar pusing, oleh karena itu malam ini Rahadyan duduk di sebuah kursi empuk yang begitu nyaman, kursi salah satu tempat makan dimana dia akan melakukan pertemuan dengan pihak Yoseph Soetedjo Group, perusahaan konstruksi saingan keluarganya yang tidak begitu di sukai oleh sang ayah. Rahadyan tau ini cukup berisiko tinggi, namun dia benar-benar sudah tak dapat menunda proposal proyeknya lebih lama lagi, lagi pula Rahadyan yakin bahwa meski ayahnya marah, orang tua itu tak akan berani untuk menentang proyek miliknya.

Rahadyan itu adalah satu-satunya harapan dari kedua orang tuanya untuk keberlangsungan penerus, mengingat dia adalah anak laki-laki tunggal dari pemilik perusahaan, sementara dua saudaranya yang lain sangat menentang dan menolak untuk mengabdikan diri di perusahaan sampai akhir hayat mereka, mereka tentunya ingin bebas dan tak ingin tersiksa akibat tuntutan penerus keluarga, dan hanya Rahadyan lah yang dapat menerima itu semua.

Walaupun sakit-sakitan, dia itu cukup tangguh.

"Bapak keliatan capek, bapak gak apa-apa?" Rahadyan menggeleng, "apa saya perlu panggililan dokter Tressa?"

Sound of HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang